Pernah kirim tulisan ke media, tapi ditolak? Rasanya pasti nyesek, ya. Sudah begadang, ngetik sampai subuh, eh… malah tidak dimuat. Tapi ingat, penolakan itu bukan akhir dunia. Justru bisa jadi pintu masuk menuju media lain yang lebih cocok dengan tulisan Anda.
Saya pernah mengalami hal serupa. Satu artikel saya pernah ditolak empat media sekaligus dalam waktu setahun. Mulai dari Jawa Pos (terbit di Surabaya), Surya (terbit di Surabaya), Pikiran Rakyat (terbit di Bandung), sampai Wawasan (terbit di Semarang) –semuanya menolak mentah-mentah. Tapi untung waktu itu saya tidak menyerah. Saya olah lagi tulisan itu, ganti sedikit gaya dan sudut pandangnya, lalu kirim ke Harian Terbit (terbit di Jakarta). Dan… dimuat!
Apakah Harian Terbit berarti lebih “rendah” kualitasnya dibanding tiga media sebelumnya? Tidak juga. Bisa jadi tulisan saya memang lebih cocok dengan selera redakturnya. Karena pada dasarnya, tiap media punya karakter dan “selera” sendiri.
Itu sebabnya, menyimpan file tulisan adalah hal penting buat penulis. Jangan buru-buru hapus atau buang draf yang ditolak. Siapa tahu nasibnya lebih baik di tempat lain. Saya sendiri dulu selalu menunggu kepastian penolakan sebelum mengirim ke media lain. Kalau belum ada kabar, biasanya saya tanyakan langsung ke redaktur atau bagian sekretariat redaksi.
Dulu, beberapa media bahkan mengembalikan naskah yang ditolak lewat pos tanpa lampiran perangko pengembakian. Jadi, kalau Anda ingin tahu nasib tulisanmu, tidak ada salahnya menyertakan perangko balasan saat mengirim. Lumayan, bisa dapat feedback kenapa naskahmu belum lolos.
Ingat itu zaman dulu. Zaman sekarang lebih enak. Penolakan lewat email. Bisa lewat media sosial. Semua gratis dan serba cepat. Ya, saya tidak bermaksud membandingkan zaman dahulu dengan sekarang. Tetapi zaman dulu saja dengan serba berbayar bisa apalagi sekarang yang gratis, bukan? Ini yang sebenarnya ingin saya tekankan.
Saya juga belajar satu hal penting; sabar dan gigih adalah kunci. Kalau dulu saya gampang putus asa, mungkin tulisan itu tidak akan pernah dimuat dimedia mana pun. Kadang bukan tulisannya yang buruk, tapi memang belum “klik” dengan redaksi tertentu. Bahkan dalam satu media pun, selera antarredaktur bisa beda. Ada yang suka artikel soal budaya, ada yang lebih suka opini sosial, ada pula yang “doyan” tulisan ringan dan menghibur.
Uniknya, ada juga media yang mempertimbangkan “siapa” penulisnya. Saya punya teman yang jengkel karena media langganannya cuma mau memuat tulisan dari orang bergelar akademik. Akhirnya dia nekat menulis pakai gelar palsu. Alumnus Queensland University, Australia. Padahal dia belum pernah ke sana. Hasilnya? Tulisan itu dimuat. Lucu, tapi sekaligus ironis. Kadang “nama besar” memang lebih dulu dilihat ketimbang isi tulisan.
Tapi yang paling penting jangan cepat menyerah. Saya pernah mengirim tulisan ke satu media sampai tiga kali baru dimuat. Ceritanya, media itu punya rubrik televisi mingguan. Saya kirim artikel, tidak ada kabar. Sebulan kemudian saya kirim lagi, tetap senyap. Dua bulan berikutnya saya ubah judul dan sedikit isi, lalu kirim ulang. Dan boom — akhirnya dimuat.
Dari situ saya belajar, kadang redaktur juga manusia. Mungkin naskahmu sebelumnya tenggelam di tumpukan email. Bisa juga topiknya mirip dengan tulisan orang lain, atau timing-nya belum pas. Jadi, jangan langsung berpikir tulisanmu jelek.
Kalau kamu menulis artikel non-aktual — misalnya opini, refleksi, atau topik abadi seperti budaya dan motivasi — kamu punya keuntungan ekstra. Artikel seperti itu bisa dikirim ulang kapan saja tanpa takut basi. Lain cerita kalau topiknya aktual, begitu peristiwanya lewat, ya sudah, susah diolah lagi.
Makanya, selalu simpan salinan tulisanmu. Jangan cuma di laptop, tapi juga di cloud atau email. Kalau suatu saat dimuat, kamu bisa bandingkan, apakah ada bagian yang diedit redaktur? Apakah judulnya diganti? Dari situ kamu bisa belajar banyak tentang gaya tiap media.
Karena percayalah, tiap koran punya gaya khas. Ada yang suka judul bombastis, ada yang lebih kalem. Ada yang suka tulisan mengalir, ada yang maunya padat dan lugas. Semakin kamu paham “selera” media, semakin besar peluang tulisanmu dimuat.
Menulis untuk media itu seperti proses jatuh-bangun. Kadang ditolak, kadang lolos. Kadang mujur, kadang zonk. Tapi semua penulis hebat pasti pernah melewati fase “ditolak-redaksi”. Bedanya, mereka tidak berhenti di situ. Mereka revisi, kirim lagi, dan terus belajar.
William James pernah bilang, “Penemuan terbesar generasi saya adalah bahwa manusia bisa mengubah hidupnya dengan mengubah sikapnya.” Kalau tulisanmu ditolak, ubah sikapmu juga. Bukan dengan menyerah, tapi dengan mengolahnya lagi.
Ditolak itu biasa, tapi menyerah itu pilihan. Dunia kepenulisan penuh peluang bagi mereka yang mau berproses. Setiap naskah yang ditolak bisa jadi batu loncatan menuju kesempatan berikutnya. Jadi, kalau tulisan Anda dikembalikan redaksi, jangan baper (bawa perasaan). Buka file-nya, baca ulang, poles sedikit, dan kirim lagi. Siapa tahu kali ini dimuat. Siapa tahu dari situ langkahmu sebagai penulis justru dimulai.