Antonio Gramschi seorang intelektual dan politiskus Italia pernah mengenalkan teori hegemoni. Teori itu menyebutkan  bahwa kekuasaan budaya bukan hanya soal siapa yang punya kekuatan politik atau ekonomi, tapi siapa yang mampu menjadikan nilai-nilai, gaya hidup, dan estetika mereka sebagai norma umum.

Pendiri Partai Komunis Italia itu menyakini bahwa budaya dominan akan   memengaruhi kesadaran massa, memengaruhi selera, keinginan, dan hingga identitas.  Kelompok dominan bisa menguasai kelompok lain dengan cara membuat pandangan baru, nilai atau gaya hidup mereka diterima seolah-olah sesuatu yang alami dan wajar.

Hegemoni dalam perkembangannya mengalami peningkatan dan perubahan kajian. Era digital sekarang ini untuk menciptakan hegemoni bisa melalui; pertama,  media sosial dan budaya popular. Platform media sosial bukan hanya tempat hiburan tapi bisa menjadi arena hegemoni. Misalnya hegemoni standar kecantikan, gaya hidup konsumtif, atau tren tertentu yang disersepsikan sebagai sesuatu “yang normal”. Budaya popular global seperti K-Pop, Hollywood bisa menjadi contoh munculnya hegemoni kulural lintas negara. Banyak orang mengadopsi gaya hidup, Bahasa, pola pikir yang disebarkan lewat industri hiburan.

Kedua, ekonomi digital dan konsumerisme. Merek besar atau platform ecommerce membentuk kebiasaan belanja masyarakat. Diskon, dan flash sale membuat orang merasa wajar untuk hidup konsumtif, padahal ada kepentingan ekonomi kapitalis di baliknya.

- Poster Iklan -

Lalu bagaimana dengan fenomena global seperti K-Pop asal Korea Selatan (Korsel)? Apa pual kaitan dengan budaya populer Jepang seperti K-Pop? Membahas K-Pop dan J-Pop menarik karena kedua negara pernah berseteru selama 35 tahun. Jepang menjajah Korea  tahun 1910-1945.

J-Pop dan Tradisi yang Bertahan

J-Pop sejak lama sudah menjadi bagian integral dari budaya populer Jepang. Ada sistem budaya idol. Konsep “idols you can meet” (misalnya AKB48) menekankan kedekatan dengan penggemar lewat acara tatap muka, handshake event, pertunjukan rutin, dan sebagainya.

J-Pop juga masih kuat di pasar fisik (CD, penjualan langsung), media tradisional (TV musik, variety show), dan melalui hubungan erat dengan anime, drama, budaya lokal. Ini semua memperkuat loyalitas penggemar lokal terhadap J-Pop. Walau streaming dan digital semakin penting, banyak artis J-Pop masih mengandalkan basis penggemar domestik dan praktik budaya yang sudah lama berjalan.

Di Jepang, ada pertarungan antara K-Pop dan J-Pop. Itu bisa dikaitkan dengan pertarungan hegemoni. Dalam beberapa tahun terakhir, K-Pop menunjukkan pertumbuhan pesat di pasar Jepang. Pada 2024, Jepang adalah tujuan ekspor album K-Pop terbesar dengan nilai sekitar US$89,8 juta. Jumlah tersebut  melewati Amerika Serikat dan China dalam hal ekspor album K-Pop.

Bahkan sebuah studi di Jepang menemukan bahwa 39% perempuan Gen Z di Jepang mendengarkan musik Korea.  Di tangga album Jepang milik Oricon (2023), hampir 41 dari 100 album terlaris adalah album K-Pop. Grup seperti SEVENTEEN dan Stray Kids misalnya berhasil menembus Top 10.

Sementara itu, persentase pasar album-K-Pop di Jepang tahun 2024 mendekati 44,7%. Artinya, naik dari 31,3% dari beberapa tahun sebelumnya. Semua data ini menunjukkan bahwa K-Pop semakin “menguasai ruang budaya pop” di Jepang, terutama di kalangan muda.

Fakta yang terjadi, ada contoh  konkret interaksi atau bisa dikatakan persaingan  K-Pop dan J-Pop; pertama, SEVENTEEN dan Stray Kids pernah menempati posisi Top 10 di ranking Oricon Album Jepang tahun 2023. Ini berarti mereka tidak hanya diimpor sebagai produk asing, tapi diakui di pasar musik Jepang yang biasanya sangat protektif terhadap produk lokal. Kedua,  grup J-Pop seperti AKB48 tetap menjadi fenomena besar di Jepang. AKB48 menekankan identitas lokal, kehadiran fisik, interaksi langsung dengan penggemar, dan variasi anggota melalui sistem “graduation”. Ketiga, grup seperti INI yang disebut sebagai grup yang mencoba mengombinasikan unsur J-Pop dan K-Pop. Itu bisa dilihat dari vokalis, produksi, gaya performance, estetika visual. Ini bisa dilihat sebagai respons terhadap tekanan kompetitif dari K-Pop, dan usaha “meniru sekaligus mempertahankan yang lokal”.

Saling Bersentuhan

Apa kaitan antara J-Pop dengan K-Pop jika dikaitkan dengan hegemoni? Menurut Gramschi, hegemoni tidak terjadi dengan paksaan, melainkan melalui “persetujuan” budaya  — orang menganggap budaya dominan itu alami, keren, layak diikuti. K-Pop berhasil membuat banyak masyarakat Jepang muda menyerap gaya, bahasa (bahkan ada lirik Jepang dalam lagu-K-Pop), fashion, cara menari, bahkan standar estetika penampilan  yang sangat tinggi.

K-Pop juga  memanfaatkan kekuatan digital seperti  YouTube, TikTok, streaming, media sosial, visual berkualitas tinggi, koreografi yang kompleks dan rapi. Semua itu memenuhi keinginan generasi muda yang lebih global, yang ingin konten selain hanya lokal. Sementara J-Pop sering lebih lambat dalam mengakomodasi perubahan estetika global, atau mempertahankan bentuk tradisionalnya.

Tapi hegemoni tentu tidak mutlak. Ada resistensi dan penyesuaian. Beberapa artis J-Pop mulai mengadopsi elemen K-Pop (konsep produksi, estetika visual, kolaborasi lintas negara). Juga penggemar lokal yang tetap mencari otentisitas (vokal natural, lirik Jepang yang kuat, koneksi budaya lokal). Banyak penggemar J-Pop tetap bangga dengan identitas mereka, dan memilih artis lokal sebagai “favorit”.

Pertarungan ini bukan hanya soal musik. Ia menyentuh identitas, bahasa dan gaya hidup. Anak muda Jepang bisa jadi lebih mengonsumsi budaya Korea, mengikuti style, make up, tari-tarian, bahasa Korea yang masuk ke dalam pengajaran tidak formal. Ini bisa menggeser rasa “lokalitas”.

Di sisi lain, ada peluang  kolaborasi dan inovasi. Seni musik dapat menjadi titik temu antara J-Pop dan K-Pop. Produksi lokal bisa mengambil pelajaran dari metode produksi K-Pop, tapi tetap memasukkan identitas Jepang.

Implikasi Hegemoni

K-Pop saat ini sedang dalam fase hegemonik di Jepang, terutama di kalangan generasi muda. Ia menguasai ruang budaya pop melalui kombinasi antara estetika global, pemasaran agresif, media digital, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan selera internasional.

Namun J-Pop belum mati. Ia masih memiliki basis kuat dalam budaya lokal, loyalitas penggemar, serta nilai-nilai budaya yang tetap penting. Pertarungan hegemoni ini terus berlangsung, tidak hanya sebagai kompetisi pasar musik, tapi sebagai dialog budaya. Misalnya, bagaimana Jepang mempertahankan identitasnya dalam arus globalisasi, sementara juga menyerap budaya asing.

Yang jelas dan pasti saling sikut antar kedua budaya pop terus terjadi. K-Pop melakukan ekspansi ke Jepang. Sementara itu, J-Pop berusaha bertahan. Jika tidak “hati-hati” bisa jadi J-Pop akan kalah bersaing di negeri sendiri. Budaya Korsel akan masuk, bahkan secara tidak disengaja diterima oleh masyarakat Jepang. Dari posisi inilah hegemoni Korsel (negara yang pernah dijajah) atas jepang bisa terjadi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here