Draf yang Tak Pernah Rampung
Tidak ada satu pun kehidupan yang dicetak rapi. Kita semua hidup di atas kertas yang kusut, menulis dengan tinta yang sering luntur, di bawah cahaya yang kadang redup. Setiap langkah, setiap keputusan, selalu meninggalkan jejak revisi. Tidak ada garis lurus yang mengantar manusia menuju makna. Semuanya bergelombang, berpindah, terkadang menghapus dirinya sendiri.
Hidup adalah naskah yang tak pernah rampung. Di sudut-sudutnya ada catatan kecil: “akan diperbaiki nanti”, “belum selesai”, “masih ragu”. Tapi bukankah di situlah daya hidup itu muncul—di tengah ketidaktuntasan, di sela antara ingin menyerah dan tetap mencoba?
Retakan bukan sekadar tanda rapuh. Ia adalah bukti bahwa sesuatu pernah berdiri, pernah melawan waktu, pernah berani menanggung beban. Lihatlah tembok tua di gang sempit kota kecil: catnya mengelupas, plesterannya retak, namun di sana ada keindahan yang tak bisa diciptakan oleh bangunan baru. Di sana ada sejarah, kesabaran, dan keteguhan yang diam. Begitu juga dengan diri manusia.
Lembar Putih: Teror Kesempurnaan yang Hampa
Sejak kecil, kita diajari bahwa kesempurnaan adalah tujuan, sementara kegagalan adalah aib yang harus disembunyikan. Paradigma inilah yang menciptakan teror lembar pertama: ketakutan untuk memulai karena takut menodai kemurnian, takut membuat kesalahan yang tak terhapuskan.
Namun, marilah kita jujur pada proses. Apakah hidup pernah benar-benar berjalan dalam garis lurus yang steril? Tidakkah ia lebih serupa dengan coretan? Sebuah kegelisahan yang jujur dan tak terstruktur, penuh warna yang berani, kadang melampaui batas, namun justru di sanalah vitalitas sejati bersemayam. Di titik ini, kita harus mundur dari pemujaan kesempurnaan yang hampa dan memulai sebuah pembelaan: bahwa esensi terdalam dari eksistensi manusia terletak bukan pada kebersihan naskahnya, melainkan pada kedalaman dan keunikan yang lahir justru dari retakan, coretan, dan kesalahan yang kita anggap ‘cacat’.
Kita hidup di zaman yang menyanjung kesempurnaan, seolah setiap hal harus tampak mulus dan tak bercela. Layar-layar kecil di genggaman kita memantulkan versi terbaik dari semua orang: wajah yang disunting, tawa yang disusun, kata yang dikurasi. Di dunia yang terlalu bersih ini, kesalahan menjadi tabu. Gagal berarti malu. Salah berarti kalah.
Orang-orang menghapus unggahan karena tidak estetik. Menghapus kalimat karena takut salah dikutip. Menghapus diri karena tak sesuai standar. Padahal manusia tak pernah dimaksudkan untuk sempurna; ia dimaksudkan untuk belajar, berantakan, lalu tumbuh.
Ketika segalanya harus “benar”, ruang untuk menjadi manusia pun mengerut. Kita belajar hidup sebagai citra, bukan pengalaman. Semua harus tampak baik, meski hati sedang remuk. Semua harus terasa ringan, meski pundak nyaris patah. Kita membangun panggung dari kerapian, lalu kehilangan keberanian untuk menjadi jujur.
Padahal keindahan sejati lahir dari gesekan, dari keberanian untuk kotor, dari proses yang kadang tak menentu. Hidup bukan ruang pameran. Hidup adalah bengkel: bising, berdebu, tapi di situlah sesuatu diperbaiki.
Seni Menyunting Luka
Ada filosofi kuno dari Jepang yang disebut kintsugi—seni menyambung keramik yang pecah dengan bubuk emas. Retakan tidak disembunyikan, melainkan dipertegas. Nilai benda itu justru meningkat karena ia pernah hancur. Itulah estetika retakan: keindahan yang muncul dari keberanian mengakui patah.
Dalam kehidupan, prinsip itu juga berlaku. Yang pernah gagal, biasanya lebih sabar. Yang pernah jatuh, biasanya lebih lembut. Yang pernah salah, biasanya lebih berhati-hati dalam menilai orang lain. Kesempurnaan sering membuat manusia sombong, sementara kesalahan mengajarkan kerendahan hati.
Retakan membuat kita belajar menunduk, mendengar, dan memahami bahwa hidup bukan tentang menjadi utuh, tapi tentang terus berusaha menyatukan diri, meski dengan sambungan yang tidak selalu rapi.
Menjadi manusia adalah menerima bahwa kadang kita pecah, dan itu tidak apa-apa. Bahwa ada hari-hari ketika tidak semua bisa diperbaiki, tapi semuanya bisa diterima. Kita tidak selalu mampu menulis kalimat sempurna, tapi kita bisa berusaha agar setiap kata mengandung makna.
Mungkin menyunting hidup bukan berarti menghapus kesalahan, tapi belajar mengucapkannya dengan lebih pelan.
Merayakan Ketidaksempurnaan
Hidup tidak butuh editor. Ia hanya butuh pembaca yang mau memahami, bahwa di balik kalimat yang terpotong dan metafora yang salah arah, selalu ada maksud yang tulus. Kesalahan bukan noda yang harus dihapus, melainkan warna yang membuat lukisan hidup menjadi lebih dalam.
Lihatlah langit setelah hujan—tidak selalu biru, kadang kelabu, tapi justru di situlah pelangi muncul. Lihatlah wajah orang tua yang penuh garis; setiap kerutan adalah catatan waktu, setiap retakan adalah kisah cinta dan kehilangan yang tak mungkin diganti kesempurnaan.
Kesalahan membuat manusia hidup. Karena di sanalah kita belajar untuk memaafkan, memahami, dan mulai lagi. Retakan bukan bukti kegagalan, melainkan tanda bahwa kita pernah berani berdiri di bawah beban. Estetika itu ada pada keberanian untuk melanjutkan kalimat, meski pena sudah hampir kehabisan tinta.
Dan di setiap retakan, kita menemukan pantulan diri yang lebih jujur: rapuh tapi berani, sederhana tapi berarti.
Maka biarkan hidup tetap menjadi draf. Biarkan tinta kadang tumpah, kata kadang salah ejaan, arah kadang melenceng. Karena di situlah keindahannya—dalam perjalanan yang tak pasti, dalam keberanian untuk tetap menulis, meski halaman berikutnya belum terlihat.



















