Di zaman ketika semuanya bergerak sangat cepat layaknya berselancar di media sosial, tren dan budaya populer datang saling bergantian umpama gelombang. Salah satu gelombang yang belakangan ini menyesaki beranda sosial media Indonesia adalah trend “Sound Horeg”—nama yang semula terdengar jenaka dan sederhana, tapi nyatanya membawa tema diskusi yang cukup relevan untuk dibahas di ruang digital.
Bukan sekedar aransemen ulang audio, Sound Horeg adalah denyut cepat yang telah menjadi latar suara pengisi dari beragam video pengguna di TikTok atau Reels—melalui ritme yang berulang-ulang, tempo dan suara bass yang menghentak hingga tata visual yang kadang terlalu ramai untuk dipandang. Di balik tawa dan tarian sejumlah muda-mudi yang seragam, terdapat lapisan persoalan yang lebih mendalam, menanti untuk dicerna, bukan hanya ditonton lalu dilupakan.
Bagi sebagian orang, khususnya mereka yang berada di Jawa, fenomena ini bukanlah hal baru. Ia telah tumbuh dari tanah tradisi, menjelma serupa karnaval jalanan, lengkap dengan truk besar yang membawa speaker raksasa mengelilingi setiap jengkal jalanan di desa.
Seperti halnya pesta, tidak semua tamu bisa menikmati suguhan yang serupa. Ada yang melihat Sound Horeg sebagai bentuk kreativitas lokal, tapi tak sedikit pula yang merasa terganggu karena suara keras yang dirasa membisingkan. Karena memang, tidak semua yang keras itu dapat didengar dengan baik.
Menggali Asal-Usul Sound Horeg
Sampai saat ini, belum diperoleh informasi yang komprehensif mengenai kapan tepatnya tradisi Sound Horeg mulai tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Meski demikian, fenomena ini terbilang masih baru dalam kemunculannya.
Merujuk Kamus Bahasa Jawa-Indonesia yang diterbitkan Kemendikbud, kata ‘Horeg’ diterjemahkan sebagai ‘bergerak’ atau ‘bergetar’. Sementara itu, dalam jurnal bertajuk Jogja Horeg: Proses Penciptaan Komposisi Berdasarkan Penerapan Improvisasi Tekstual pada Gaya Musik Free Jazz karya Harly Yoga Pradana, dikatakan bahwa Horeg berasal dari bahasa Jawa kuno dan mempunyai makna ‘gempa’ atau ‘guncangan’.
Sedangkan pengertian Sound Horeg secara detail juga telah dikemukakan dalam sebuah jurnal Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Sound System yang Melebihi Batas (Sound Horeg) (Studi Kasus Wilayah Hukum Kecamatan Karangploso) karya Sinta Della Lesgasevia bahwa Sound Horeg merupakan sebuah fenomena yang berkembang di kehidupan masyarakat dengan memanfaatkan alat penghasil suara dengan volume yang cenderung tinggi.
Istilah “masyarakat horeg” pun mulai berkembang dan dikenal, merujuk pada sekelompok orang yang gemar mempergunakan sound system berdaya besar, dengan getaran suara yang mampu mengguncang lingkungan sekitar. Tradisi adu sound ini telah berkembang menjadi sebuah fenomena dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di beberapa wilayah Banyuwangi, Sidoarjo, Malang, Surabaya, dan daerah lain di Jawa.
Pada awalnya, tradisi adu sound hanya diperuntukan menjelang malam Takbiran, baik Idul Adha maupun Idul Fitri. Namun seiring waktu, fenomena ini berkembang dan kini telah menjadi bagian dari berbagai acara karnaval serta acara hiburan yang rutin diselenggarakan di tengah masyarakat.
Di Jawa Timur sendiri, terdapat setidaknya dua jenis Sound Horeg yang kini dikenal luas, yakni tipe menetap dan tipe karnaval. Tipe menetap biasanya digelar di lapangan terbuka, meski tak jarang pula dilangsungkan di ruas jalan desa dalam rangkaian acara tertentu.
Sementara itu, pada tipe karnaval, perangkat Sound System dipasang di atas truk khusus yang kemudian diarak berkeliling desa, menciptakan suasana meriah dan hingar-bingar yang menyatu dengan keramaian sambutan warga.
Perangkat utama dalam rangkaian Sound Horeg adalah pengeras suara bertipe subwoofer, yang dikenal mampu memproduksi dentuman bass yang menggebrak. Dalam satu truk, vendor umumnya merangkai hingga 12 unit subwoofer, dengan daya pasok listrik yang disuplai dari mesin genset. Truk-truk ini kemudian di dekorasi dengan beragam jenis lampu untuk penerangang, terutama ketika karnaval berlangsung pada malam hari.
Fenomena ini pun membuahkan berbagai komunitas pecinta Sound Horeg yang aktif menggelar karnaval dan adu suara. Lantas apa tujuannya? Menunjukan siapa yang paling gahar dalam meracik sound. Dari sinilah industri Sound Horeg kian tumbuh pesat, membuka peluang di sektor hiburan dan teknologi audio.
Di Malang, misalnya, fenomena ini bahkan semakin meriah. Sebagai kota yang identik dengan kreativitas anak muda, tak mengherankan jika Sound Horeg seringkali tampil dalam berbagai acara komunitas dan festival musik.
Alhasil, lebih dari sebatas hiburan, geliat ini juga memantik peluang bisnis baru. Tak sedikit para pengusaha lokal terjun ke bisnis penyewaan sound system, hingga membuka bengkel khusus untuk memodifikasi unit truk sound horeg, lengkap dengan sistem suara bertenaga tinggi dalam gemerlap lampu LED yang mencuri perhatian.
Sound Horeg sebagai Kreativitas Lokal?
Tak dapat dipungkiri, Sound Horeg telah menjadi medium berekspresi baru bagi generasi muda. Dengan memanfaatkan teknologi digital, mereka mampu mendesain, memproduksi dan menyebarluaskan musik dengan cara-cara yang pernah dikenal sebelumnya. Kreativitas mereka tercermin dalam karya musik remix yang unik, koreografi yang senada dengan dentuman bass, hingga penggunaan visual menarik yang menantang standar budaya pop arus utama.
Dalam konteks inilah, Sound Horeg dapat disaksikan sebagai bentuk demokratisasi budaya—sebuah ruang inklusif di mana semua orang dapat mencipta, berekspresi dan menjadi “seniman”, tanpa harus melewati pintu seleksi di industri konvensional.
Di tengah popularitasnya yang terus meningkat, fenomena Sound Horeg kini mulai dilirik sebagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Alasannya, dentuman suara yang gerap menggetarkan kaca dan dinding rumah itu dianggap sebagai salah bentuk karya otentik anak bangsa.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Timur, Harris Sukamto, mengungkapkan ketertarikannya terhadap Sound Horeg, yang menurutnya merupakan hasil kreativitas anak bangsa yang patut diapresiasi. Ia pun tengah membuka peluang untuk mengajukan Sound Horeg sebagai kekayaan intelektual.
Lebih dari itu, sejumlah kelompok yang andil dalam pengembangan Sound Horeg semestinya memperoleh apresiasi atas ide dan kreativitas mereka, khususnya dalam menciptakan sistem suara, desain perangkat hingga berbagai komponen teknis yang kerap mereka desain sendiri.
Menyikapi adanya perdebatan di masyarakat perihal fenomena ini, ia juga menegaskan bahwa pihaknya hanya berupaya memberikan proteksi terhadap hasil karya dan inovasi yang telah dilahirkan dari kreativitas lokal. Menurutnya, Sound Horeg bukan sekedar hiburan, melainkan juga representasi dari semangat berkarya yang layak memperoleh atensi dan support dari pemerintah.
Dampak dari semakin memuncaknya popularitas Sound Horeg membuat para penyedia jasa sound system tengah kebanjiran pesanan. Tarif sewanya pun tak main-main bahkan bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya untuk satu acara.
Tak hanya itu, para teknisi audio juga terdampak berkahnya. Tak sedikit dari pengusaha sound system yang memerlukan jasa perawatan hingga peningkatan kualitas perangkat mereka demi memproduksi suara yang semakin “menggelegar”.
Berbagai acara dengan Sound Horeg selalu mampu menjadi daya tarik kerumunan penonton berdatangan. Hal ini secara langsung memberikan dampak positif bagi para pelaku usaha kecil di sekitar lokasi, seperti pedagang minuman dan makanan, hingga penjual souvenir yang ikut memperoleh untung dari acara tersebut.
Bahkan kendaraan jenis truk yang telah dimodifikasi khusus untuk mengangkut sound horeg pun telah memunculkan trend baru dalam dunia otomotif. Sejumlah bengkel mulai membuka jasa modifikasi kendaraan agar mampu menampung secara optimal dan aman sound sistem berskala besar. Jadi tak heran jika komunitas otomotif pun kini mulai aktif dalam kegiatan Sound Horeg, melahirkan kolaborasi unik dan otentik antara penggemar musik dan pecinta kendaraan.
Sound Horeg Mengguncang Perdebatan
Meski awalnya kehadirannya untuk memeriahkan acara masyarakat, namun penggunaan Sound Horeg mengalami transformasi fungsi seiring waktu. Fenomena ini kini dianggap semakin sulit dikendalikan, dan bahkan menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungan sosial.
Kebisingan yang ditimbulkan menjadi persoalan utama yang mengemuka. Tak jarang, Sound Horeg digunakan pada waktu yang kurang tepat, misalnya larut malam atau dini hari. Sehingga ini akan sangat mengganggu waktu istirahat dan ketenangan warga sekitar. Suara yang ekstrim bahkan dilaporkan sampai mengguncang kaca jendela rumah dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Lebih jauh, polusi suara akibat dentuman bass yang berlebihan memicu polemik yang berkepanjangan. Sejumlah warga melaporkan kerusakan fisik pada bangunan, seperti retaknya dinding, kaca jendela yang pecah, hingga genting rumah yang berjatuhan.
Bahkan, dalam sejumlah kasus, infrastruktur publik dan properti pribadi pun turut menjadi korban. Misalnya, atap warung, pembatas jalan, hingga lampu penerapan jalan pun dipaksa dirusak untuk memberi akses bagi truk-truk modifikasi membawa sound system melenggang.
Hal serupa juga terjadi pada April 2024, dimana Polres Demak telah menangkap sembilan orang yang diduga terlibat dalam aksi perusakan jembatan. Peristiwa itu menyita atensi publik luas setelah rekaman proses perusakan viral di media sosial.
Selain kerugian fisik, kerentanan gangguan kesehatan juga menjadi sorotan. Suara bising yang terus-menerus beresiko merusak sistem pendengaran, khususnya pada anak-anak dan lansia yang mempunyai tingkat kerentanan yang lebih berbahaya akibat suara yang tinggi.
Merujuk laporan Kompas, tingkat kebisingan yang dihasilkan sound horeg bisa mencapai 135 desibel—jauh melampaui standar batas aman yang telah direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dampaknya tidak hanya terbatas pada aspek fisiologis, tapi juga melintas ke aspek psikologis. Kebisingan yang berlebihan dapat memicu meningkatnya resiko stress, kecemasan, gangguan terhadap konsentrasi hingga iritabilitas atau mudah emosi.
Jika kondisi ini dibiarkan maka akan memicu konflik yang tak bisa dikesampingkan. Salah satu contohnya yang terjadi pada Minggu, 11 Agustus 2024, ketika seorang ibu nyaris menjadi korban pengeroyokan setelah ia menegur iring-iringan Sound Horeg di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kejadian ini, dilaporkan oleh Kompas.com (14/8/2024), memperlihatkan bagaimana kurangnya tata kelola regulasi dan kontrol atas penggunaan Sound Horeg yang tidak dikelola secara bijak dapat memicu gesekan sosial di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, ketika hiburan digelar tanpa mempertimbangkan kenyamanan dan hak publik, yang terjadi bukan lagi euforia, melainkan ketegangan yang terus menganga. Maka, tantangan yang kita hadapi saat ini bukan hanya bagaimana Sound Horeg tetap eksis sebagai bentuk budaya dan kreativitas lokal, tetapi juga bagaimana ia tumbuh selaras dengan nilai-nilai etika dan ketertiban sosial.