“Tugas kalian adalah mengusir pengungsi Arab dari desa-desa itu dan hancurkan desa-desa itu supaya mereka tidak kembali.”
“Masukkan mereka ke kendaraan dan usir mereka menuju Gaza.”
“Bakar desa-desa itu dan hancurkan batu-batu pondasinya.”
Itulah penggalan perintah dalam dokumen Order Number 40. Mengutip tulisan Ilan Pappe, dalam “An Indicative Archive: Salvaging Nakba Documents”, dokumen itu dirilis oleh Israel Central Commander pada tanggal 25 November 1948, sebagai bagian dari misi pembersihan etnis terhadap di 9 desa terakhir di Palestina dalam rangkaian Nakba.
Dari Gaza Menjadi Jalur Gaza
Gaza. Mereka memerintahkan untuk memindahkan semua orang yang tersisa di wilayah Palestina ke Gaza. Menurut sejarawan Israel, Ilan Pappe, Jalur Gaza tidak eksis sebelum 1948, tahun yang sama dengan Nakba, tahun yang sama dengan deklarasi terbentuknya “negara” Israel.
Gaza mulanya adalah kota metropolitan di Via Maris, rute dari Alexandria, Mesir, menuju Alexandretta (Iskanderun), Turki. Karena lokasinya merupakan jalur laut, banyak orang dari berbagai negara melintasi Gaza dan membuatnya menjadi kota paling metropolitan setidaknya sampai sebelum 1948. Gaza pada waktu itu merupakan tempat yang damai bagi umat Muslim, Kristiani, dan Yahudi untuk hidup berdampingan. Hingga Nakba berlangsung, di tahun 1948, Israel mulai mengubah Gaza menjadi Gaza Strip atau Jalur Gaza.
Tidak seperti wilayah Palestina lain yang berbatasan dengan negara-negara yang bersedia menerima ratusan ribu pengungsi Palestina—Suriah, Yordania, dan Lebanon—Gaza berbatasan dengan Mesir yang tidak bersedia menerima satupun pengungsi Palestina. Hal ini membuat David Ben Gurion, pemimpin Israel kala itu, otak dari peristiwa Nakba, memutuskan akan memberikan 2% wilayah historis Palestina untuk dijadikan kamp pengungsi terbesar di dunia, yakni Gaza.
Gaza kemudian dikenal dengan Gaza Strip atau Jalur Gaza, dikarenakan bentuk wilayahnya yang menyerupai suatu jalur. Kata “strip” atau jalur menandakan ukurannya yang menyempit akibat okupasi, dengan panjang sekitar 40 km (25 mil) dan lebar 6-8 km (4-5 mil). Jalur Gaza memiliki luas sebesar 365 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 2,3 juta jiwa membuatnya menjadi salah satu tempat dengan populasi terpadat di dunia. Gaza ditinggali oleh 5.500 orang per km2, sementara wilayah yang kini dinamai Israel ditinggali sebanyak 400 orang km2.
Transformasi Jalur Gaza menjadi Penjara Terbuka Terbesar di Dunia
Jalur Gaza terkepung secara geografi. Di bagian timur dan utara berbatasan dengan wilayah Palestina yang kini dikuasai Israel, di bagian tenggara berbatasan dengan Mesir yang tidak mau membuka gerbang untuk warga Palestina, dan sisanya, Gaza berbatasan dengan Laut Tengah (Laut Mediterania).
Tahun 1949 hingga 1956 Gaza berada di bawah penguasaan militer Mesir. Saat itu Gaza mengalami masalah sosioekonomi yang pelik akibat padatnya pengungsi dikarenakan pemerintah Mesir tidak mengizinkan satu orangpun untuk mengungsi ke Mesir, sementara Israel melarang mereka untuk kembali ke rumah lama mereka. Di tahun 1956 terjadi Krisis Suez yang membuat Gaza jatuh ke pemerintahan Israel. Namun, tekanan internasional membuat Gaza kembali ke tangan Mesir di tahun 1957.
Tahun 1967, terjadi Perang Enam Hari, zionis menduduki wilayah Gaza, Tepi Barat, Dataran Golan, dan Bukit Sinai. Hal ini menyebabkan Gaza berpindah tangan ke pemerintahan Israel. Di tahun 1987, perlawanan rakyat Gaza secara terang-terangan dimulai atau lebih dikenal dengan “Intifada”. Intifada pertama dimulai dari kamp pengungsi Jabaliya di Gaza dan menyebar ke Tepi Barat hingga Yerusalem Timur, dan berakhir pada tahun 1992. Selama intifada pertama, di tahun 1991 Israel mulai menerapkan sistem perizinan bagi warga Palestina untuk keluar-masuk Gaza.
Pada tahun 1993, terbit Perjanjian Oslo, antara Palestinian Liberation Organization (PLO) dan Israel, yang mengatur bahwa Israel harus mengakhiri pendudukannya di Palestina dan menyerahkan pemerintahan kepada Palestinian Authority (PA) serta mengembalikan beberapa sektor ke warga Palestina termasuk perbatasan Rafah.
Tahun 1994, Israel merespon Perjanjian Oslo dengan membangun pagar besi di perbatasan antara Gaza dengan wilayah okupasi Israel. Di tahun 1995, Israel membangun pagar listrik dan tembok beton yang mengelilingi Jalur Gaza. Hal ini bertujuan untuk membatasi pergerakan warga Palestina di Gaza.
Ketika Intifada kedua pecah di tahun 2000, Israel membatalkan izin perjalanan dan izin kerja banyak warga Gaza. Di tahun 2005, Israel menarik militer dan ribuan pemukim Yahudi ilegal dari Gaza. Belen Fernandes, kolumnis Al Jazeera, menilai penarikan itu hanyalah upaya untuk terus menguasai Gaza, sebab di tahun 2006, Israel meluncurkan Operation Summer Rains yang disebut akademisi Noam Chomsky dan Ilan Pappe sebagai serangan paling brutal di Gaza sejak 1967.
Tahun 2006, Hamas memenangkan pemilu perdana di Palestina, yang mendapat kecaman keras dari pesaingnya Fatah, karena dinilai korup. Kemenangan itu juga menuai protes dari pemerintah Israel, AS, dan Uni Eropa karena Hamas dianggap sebagai organisasi teroris. Meskipun Hamas secara demokratis berhasil mengambil alih Gaza dan militer Israel telah undur diri dari Gaza, Israel tetap mengontrol wilayah udara, darat, laut, dan aktivitas sosioekonomi warga Gaza.
Di tahun 2007, Israel memperketat blokade Gaza melalui sejumlah kebijakan.
Israel mengebom pembangkit energi, melarang perjalanan, membatasi aktivitas ekspor-impor, memaksa pemberhentian pabrik-pabrik di Gaza, membatasi area memancing, mengurangi suplai bahan bakar, membatasi suplai medis hingga material bangunan, menghancurkan sistem perairan Gaza, serta membatasi konsumsi kalori harian warga Gaza.
Israel juga secara bertahap mengembangkan teknologi sistem pengawasan pada pagar buatannya. Pagar yang disebut iron wall itu memiliki tinggi lebih dari 6 meter, membentang sepanjang 65 km, dan dibangun atas 140.000 ton besi dan baja.
Iron wall dilengkapi instalasi radar, ratusan kamera pengawas, iron dome, dan pendeteksi drone. Di tahun 2021, Israel menyelesaikan pembangunan pagar bawah tanah lengkap dengan sensor bawah tanah, sistem radar, sensor maritim, ruang komando, dan ruang kendali. Hal itu dilakukan atas respon terhadap pengusiran tentara Israel oleh Hamas yang menggunakan terowongan-terowongan di tahun 2014.
Blokade jalur darat di Gaza bukan hanya melalui berdirinya tembok raksasa, Israel bahkan menutup hampir semua perbatasan yang biasa digunakan warga untuk berbagai keperluan, seperti jual-beli, berobat, distribusi logistik, atau menempuh perjalanan. Dilansir dari Al Jazeera, berikut 4 perbatasan Gaza yang ditutup oleh Israel:
- Perbatasan al-Karara, berlokasi di Khan Yunis dan Deir al-Balah, ditutup pada tahun 2005 dan kini digunakan sebagai titik masuk kendaraan militer tentara Israel.
- Perbatasan al-Awdah, berlokasi di Rafah timur, awalnya digunakan untuk transit material konstruksi, ditutup pada tahun 2008.
- Perbatasan al-Shujaiyah direncanakan untuk transportasi bahan bakar ke Gaza melalui pipa bawah tanah, ditutup pada tahun 2010.
- Perbatasan al-Muntar, berlokasi di barat laut Gaza, digunakan untuk pertukaran barang dari Gaza ke Israel, ditutup pada tahun 2011.
Warga Palestina di Gaza kini hanya mengandalkan 3 perbatasan: perbatasan Rafah di Mesir, perbatasan Karem Abu Salem di batas wilayah Mesir, Gaza, Israel, dan perbatasan Erez di Beit Hanoun, Israel.
Israel juga memblokade wilayah udara Gaza, bermula sejak mereka mengebom bandara Gaza di tahun 2001. Hal ini menunjukkan larangan bagi penduduk untuk keluar-masuk Gaza, serta penutupan akses dunia internasional terhadap Gaza. Israel gencar melancarkan serangan-serangan ke Gaza di tahun 2008, 2009, 2012, 2014, 2018, 2019, 2021, 2023, hingga kini dan telah menewaskan puluhan ribu orang. Langit Gaza dikuasai oleh Israel menggunakan rudal, misil, atau drone bersenjata buatan mereka.
Selain blokade wilayah darat dan udara, Israel juga melakukan blokade laut di Jalur Gaza. Di tahun 2019, Israel mengurangi jarak penangkapan ikan dari 10 mil menjadi 6 mil di Jalur Gaza. Hal ini melanggar Perjanjian Oslo yang menyatakan bahwa warga Palestina berhak untuk berburu ikan hingga 20 mil jauhnya. Angkatan Laut Israel juga kerap kali menyerang nelayan-nelayan Palestina ketika menangkap ikan, termasuk, merusak peralatan memancing, merusak kapal, hingga membunuh para nelayan.
Forensic Architecture melaporkan bahwa Israel melakukan penyerangan terhadap pelabuhan Gaza pada Oktober 2023 hingga Januari 2024 dan menyebabkan 40% kapal tidak bisa digunakan. Israel bahkan melarang warga Gaza untuk mendekati pantai ataupun laut. Padahal kini, pantai di tepi Laut Tengah telah menjelma menjadi pengungsian bagi warga yang rumahnya dihancurkan oleh Israel, seperti Maha Al Sharafi.
Maha Al Sharafi, seorang ibu dari 3 orang anak yang rumahnya di Jabaliya hancur, mengatakan, “Dulu pantai adalah tempatku merayakan ulang tahun dan liburan. Kini pantai adalah tempat anak-anakku menangis dan tertidur beralaskan plastik sobek. Laut memberikan kami air untuk mencuci baju, udara bersih untuk bernafas, dan sedikit rasa aman.”
Ketika perang pecah pada 7 Oktober 2023, Yoav Gallant, Menteri Pertahanan Israel periode 2022-2024 mengungkapkan akan melakukan blokade total terhadap wilayah Gaza, tidak ada makanan, air, listrik, dan warga Gaza akan diperangi bagai binatang. Hal ini makin menegaskan posisi Gaza sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.
Kehidupan Dibalik Tembok
Gaza berada dalam blokade sejak 2007, dengan restriksi kebutuhan dasar dan larangan untuk keluar-masuk teritori. Restriksi itu tak lepas dari keharmonisan hubungan pemerintah Mesir dengan Israel. Sejak Hamas berkuasa di Gaza, Mesir membuat perjanjian dengan Israel untuk menutup perbatasan Rafah dan memberikan kuasa arus suplai logistik ke Gaza kepada Israel. Mesir bahkan menutup perbatasan Rafah selama Israel membombardir Gaza di tahun 2008, 2014, dan 2021.
Menurut Israel, blokade Gaza bertujuan untuk membatasi ruang gerak Hamas. Kenyataannya, blokade paling berdampak terhadap 2,3 juta warga Gaza. Di tahun 2010, Israel mengebom satu-satunya pembangkit listrik di Gaza, sehingga warga Gaza rata-rata hanya merasakan 4 jam listrik menyala tiap harinya. Penurunan suplai bahan bakar memaksa warga menggunakan minyak goreng untuk bahan bakar kendaraan. 97% air di Gaza terkontaminasi, tidak bisa diminum, dan merusak lahan pertanian. Ketiadaan listrik, bahan bakar, dan air, menyebabkan roda-roda industri dan aktivitas domestik di Gaza tersendat bahkan berhenti.
Selain melalui larangan produksi makanan dan kebutuhan rumah tangga, Israel juga melumpuhkan ekonomi Gaza dengan menargetkan pabrik-pabrik di Gaza. Seperti di tahun 2021, Israel menargetkan pabrik es krim Al-Jalil, Hamada Ceramic Company, pabrik keripik kentang Al-harir, pabrik matras FOMCO, pabrik plastik Abu Iskandar, dan sejumlah toko. Menurut Euro-Med, serangan udara Israel telah merusak lebih dari 525 bangunan ekonomi, termasuk 50 pabrik, puluhan toko, dan fasilitas lain. Kerusakan-kerusakan itu sulit diperbaiki sebab Israel juga membatasi impor material konstruksi seperti besi, baja, semen, dan kayu.
Lebih parah lagi, Israel melarang beberapa barang masuk Gaza. Pupuk dilarang sebab bisa menyebabkan ledakan. Barang penunjang pendidikan seperti kertas A4, krayon, dan buku catatan. Barang untuk keperluan ekonomi seperti mesin jahit, kain untuk pakaian, material untuk alat pengolahan limbah, purifikasi air, hingga onderdil mesin. Sarana penunjang hobi seperti mainan dan alat musik. Bahkan, pembatasan kalori warga Gaza dijalankan dengan pelarangan masuk berbagai bahan makanan seperti pasta, saus tomat, lentil, bumbu-bumbu —ketumbar, jahe, pala, dan kunyit—, biskuit, gula-gula, dan keripik kentang. Israel justru mengizinkan masuknya bahan makanan sejenis yogurt diet dan teh herbal.
Tahun 2018, lebih dari 1.000 kebutuhan dasar dilarang masuk Gaza—termasuk gaun pengantin, spons pembersih, botol susu bayi, dan popok— ditambah bahan bakar dan gas. CNN melaporkan beberapa barang yang sering dilarang masuk ke Gaza meliputi: kurma, kantung tidur, obat-obatan kanker, tablet pemurnian air, perlengkapan persalinan, anestesi, ventilator, silinder oksigen, sistem filter air, mesin X-ray, kruk dan alat prostetik lainnya. Kurma dilarang sebab bijinya tampak mencurigakan ketika dipindai dengan mesin X-ray, kantung tidur dilarang sebab berwarna hijau, bagi militer Israel warna hijau adalah warna militer.
Laporan UNRWA di tahun 2022 menunjukkan dampak signifikan blokade terhadap kehidupan warga Gaza, diantaranya:
- 8 dari 10 warga Gaza teregistrasi sebagai pengungsi Palestina dan hidup dalam garis kemiskinan
- 64% penduduk mengalami kerawanan pangan
- GDP Gaza 4 kali lebih rendah dari Tepi Barat ataupun Yordania
- 80% populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan
- Tingkat pengangguran mencapai 47%, dengan tingkat pengangguran usia muda (15-29 tahun) mencapai 64%
- 1,1 juta penduduk menerima bantuan dari UNRWA. Angka ini meningkat sebanyak 1.324% dari tahun 2000 yang jumlah penerima bantuan hanya 80.000 orang.
- 292 sumur air untuk kebutuhan domestik dan pertanian rusak akibat serangan Israel.
- 81% air yang diekstrak dari akuifer Gaza tercemar
Krisis membuat warga Gaza memanfaatkan terowongan-terowongan untuk distribusi barang dari Mesir. Menurut National Geographic, terowongan di Rafah sudah ada sejak 1982. Setelah blokade Gaza dimulai, warga Gaza mulai menggali lagi dan menyelundupkan berbagai barang dari Mesir, termasuk material bangunan, makanan, obat-obatan, pakaian, bahan bakar, komputer, hewan ternak, hingga mobil. Dua pertiga barang di Gaza bisa dibilang berasal dari “terowongan”.
Meskipun mengancam nyawa, pilihan menggunakan terowongan adalah satu-satunya harapan agar warga Gaza bisa hidup secara “normal”, layaknya warga dunia lain. Anak-anak bisa mendapat baju, alat tulis, hingga pengobatan di rumah sakit terdekat. Semua orang bisa belajar atau menonton televisi di malam hari. Bangunan-bangunan hancur bisa dibangun kembali. Warga bisa menyambung hidup lewat pertanian, berdagang, bersekolah, dan lain-lain.
Gaza: Laboratorium Kekerasan Sekaligus Lahan Basah Penuh Darah Israel
Israel melakukan kebijakan blokade di Gaza dengan penuh perhitungan. Seperti ide untuk membuat warga Gaza diet tanpa mati kelaparan di tahun 2008, dilakukan berdasarkan studi oleh Kementerian Kesehatan Israel, dalam dokumen berjudul “Food Consumption in the Gaza Strip — The Red Lines”. Mereka berdalih bahwa studi itu bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal guna mencegah malnutrisi di Gaza. Dokumen tersebut berisi detail perhitungan kalori yang dibutuhkan warga Palestina berdasarkan gender dan usia, estimasi produksi pangan di Gaza, perkiraan jumlah truk logistik yang diizinkan masuk, hingga porsi bantuan kemanusiaan per hari untuk makanan, obat-obatan, dan produk lain.
Studi yang dilakukan Israel untuk mengelola Palestina bukan hanya terkait perut orang Gaza. Lokasi Gaza yang padat penduduk, terkontrol, dan penduduk sipil yang tidak bersenjata, menjadikan Gaza layaknya rumah kaca untuk Israel bereksperimen sekaligus menjadi sumber penghasilan, seperti yang dilakukan militer dan perusahaan-perusahaan besar di baliknya.
Salah satu berita yang kurang mendapat sorotan selama perang Israel-Hamas sejak 7 Oktober 2023 berlangsung adalah peningkatan nilai ekspor senjata Israel yang mencapai rekor tertinggi di tahun 2024, sebesar 14,7 miliar dolar AS. Hal ini juga dipertegas oleh Kementerian Pertahanan Israel bahwa mereka telah menandatangani ratusan kontrak pertahanan dengan berbagai negara dan 58% diantaranya adalah kontrak besar yang masing-masing bernilai lebih dari 100 juta dolar AS. Di tahun 2024, 54% importir senjata dari Israel adalah negara-negara Eropa. Roket, rudal, dan sistem pertahanan udara adalah tiga item paling laris yang dijual oleh Israel, yang menyumbang 48% dari total ekspor.
Bukankah menakjubkan bila suatu “negara” yang sedang berperang justru laris manis berdagang senjata hingga mencapai rekor tertinggi? Atau justru mencurigakan?
Dilansir dari situs Statista, Israel merupakan eksportir senjata terbesar ke–8 di dunia pada tahun 2022 hingga 2024. Tiga perusahaan senjata Israel, Elbit System, Israel Aerospace Industry (IAI), dan Rafael, termasuk dalam 50 besar perusahaan teratas secara global. Ketiganya mengalami pertumbuhan sebesar 2 digit di tahun 2024, tahun ketika perang di Gaza sedang berlangsung.
Hal tersebut bukan hal baru. Di tahun 2008-2009, selama Operation Cast Lead, Israel menggunakan Drone Heron UAV (unmanned aerial vehicle) “Eitan” untuk pertama kali dan digunakan untuk menyerang penduduk sipil. Berdasarkan Defense for Children International, 353 anak terbunuh dan 860 luka-luka, dan 116 korban meninggal dikarenakan misil yang dijatuhkan drone. Setelah perang, setidaknya 10 negara, di tahun 2008-2011, melakukan pemesanan drone Heron di perusahaan IAI.
Pascaperang Gaza tahun 2014, Elbit System mengalami peningkatan penjualan drone. Mereka mempromosikan kendaraan udara nirawak, Hermes UAV, yang dilabeli “combat-proven” atau “telah teruji di medan perang” dan “senjata utama IDF dalam operasi melawan teror”. Label-label itulah yang menjadi daya jual senjata-senjata buatan Israel.
Antony Loewenstein, seorang Yahudi berkebangsaan Australia, jurnalis dan penulis, mengungkapkan, “Banyak negara yang menjual senjata, namun yang membuat industri senjata Israel unik adalah perpaduan senjata, teknologi pengawasan, dan teknik arsitektur yang dikombinasikan untuk membuat sistem komprehensif untuk mengontrol populasi dan didasari pengalaman bertahun-tahun di Palestina.”
Loewenstein melakukan investigasi di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza untuk menelusuri bagaimana Israel memanen keuntungan melalui teknologi pengawasan dan menjadikan wilayah Palestina yang diduduki sebagai tempat uji coba. Israel terus mengembangkan serangkaian alat dan teknologi untuk mempertahankan okupasi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur serta blokade di Gaza. Hal ini menjadikan Israel berhasil menjadi pengekspor spyware dan alat forensik digital ternama di seluruh dunia.
Loewenstein juga mengungkapkan bahwa Israel turut memasok senjata bagi negara-negara yang dipimpin diktator. Rezim-rezim represif dan pemerintahan populis sayap kanan di seluruh dunia mengantri untuk membeli teknologi yang sudah teruji di medan perang dari Israel. Berikut beberapa peranan Israel dalam peperangan di dunia dilansir dari Al Jazeera:
- Israel menjual senjata ke pemerintahan aparteid Afrika Selatan di tahun 1975.
- Israel menyuplai napalm (bom) dan senjata lain ke El Salvador selama perang pemberantasan pemberontakan di tahun 1980-1992 yang menewaskan lebih dari 75.000 warga sipil.
- Israel memasok senjata kepada tentara Serbia selama perang dengan Bosnia di tahun 1992-1995. Di tahun 1995, tentara Serbia membunuh 8.000 laki-laki muslim Bosnia.
- Terdapat dugaan bahwa peluru, senapan, dan granat buatan Israel digunakan dalam genosida Rwanda yang membunuh setidaknya 800.000 orang pada tahun 1994.
- Di tahun 2022 perusahaan senjata Israel menjual senjata ke tentara militer Myanmar. Tentara yang berperan dalam pembunuhan massal hingga pengusiran muslim Rohingya.
Palestina: Laboratorium Pendudukan Digital
Pendudukan Israel di Palestina bukan hanya tentang mencaplok tanah dan sumber daya alam, namun mereka juga mencaplok data-data penduduk Palestina. Mona Shtaya, seorang pejuang hak digital, menyebut hal ini sebagai pendudukan digital.
Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, militer Israel mewajibkan penduduk Palestina melewati gerbang-gerbang checkpoint yang harus menampilkan informasi pribadi, termasuk dokumen, nomor ponsel, wajah, suara, hingga ciri fisik, di Gaza penduduk yang hendak keluar gerbang perbatasan harus melakukan hal yang sama. Di berbagai sudut di Palestina, Israel memasang kamera untuk mengawasi gerak-gerik setiap penduduk. Hal ini menjelaskan bahwa Israel mengumpulkan data semua penduduk Palestina menggunakan teknologi pengawasan yang mereka kembangkan selama bertahun-tahun.
Loewenstein, dalam investigasinya di Israel, mengungkapkan bahwa engineer militer Israel Unit 8200 mengembangkan teknologi A.I. (Artificial Intelligence) untuk melancarkan serangan-serangan di Gaza. Hal ini senada dengan temuan The New York Times mengenai bagaimana Israel membunuh pemimpin Hamas, Ibrahim Briari, pada 31 Oktober 2023.
Teknologi A.I. belum pernah digunakan dalam perang, hingga tentara Israel berhasil mendengarkan suara Briari ketika melakukan panggilan, mereka kemudian melacak lokasinya menggunakan perangkat audio A.I. dan melancarkan serangan udara ke lokasi tersebut. Lebih dari 125 warga sipil tewas dalam serangan di Jabaliya itu.
Selama perang berlangsung, Israel terus memadukan A.I. dengan berbagai software untuk mengidentifikasi target. Seperti face recognition, identifikasi suara, hingga membuat simulasi A.I. terkait kata-kata dan kebiasaan target. Meron Rapoport, jurnalis dan penulis asal Israel, mengungkapkan bahwa dengan A.I., militer Israel bisa membuat daftar target dengan sekali duduk. Menurut Loewenstein, hal ini mungkin terjadi karena Israel memiliki rekaman berbagai data penduduk termasuk data biometrik dan hal sedetail gerak-gerik sehari-hari. Israel membuat sistem akumulasi target bernama Gospel (hasbora), terdiri atas infrastruktur sipil, sekolah, rumah sakit, dan perkiraan lokasi terowongan Hamas.
Gospel kemudian digunakan tentara Israel untuk menyerang infrastruktur sipil, rumah sakit atau sekolah, dengan alasan mereka menargetkan anggota Hamas atau menduga ada terowongan Hamas di tempat tersebut. Menurut Rapoport, hal ini karena perangkat A.I. yang digunakan militer Israel bekerja dengan mengandalkan probabilitas target mereka adalah anggota Hamas berdasarkan data penduduk yang mereka miliki, termasuk nomor ponsel, wajah, postur tubuh, suara, hingga teknik berbicara. Ketika target adalah anggota Hamas junior, serangan bisa menewaskan 15-20 orang di sekitar area tersebut, jika target adalah anggota Hamas senior maka serangan bisa menewaskan 200-300 orang di sekitarnya.
Teknologi A.I. memiliki kemungkinan kesalahan dalam mengidentifikasi target, akibatnya serangan-serangan yang tidak tepat sasaran hanya menimbulkan kerusakan masif sana-sini. Selain itu, Israel juga secara sepihak melabeli jurnalis, dokter, ataupun warga sipil sebagai anggota Hamas atau fasilitas sipil sebagai markas Hamas. Sehingga mereka juga turut menjadi target. Seperti jurnalis Anas Al Sharif dan Ismail Al Ghoul, menjadi martir setelah ditargetkan oleh IDF karena dianggap bagian dari Hamas yang menyamar menjadi koresponden Al Jazeera. Serta rumah sakit Al Shifa yang dikepung, dibakar, dan dibom karena dianggap tempat persembunyian Hamas.
Hingga saat ini, korban meninggal di Gaza mencapai lebih dari 61.000 orang, 237 di antaranya adalah jurnalis dan 18.500 anak-anak, 94% rumah sakit di Gaza rusak, dan 95% lahan pertanian rusak.
Sejak 2021, pemerintah Israel dan dua perusahaan teknologi besar dunia, Google dan Amazon, berkolaborasi dalam Project Nimbus, untuk memasok teknologi canggih yang mendukung militer Israel. Google dan Amazon menyediakan layanan Cloud dan pusat data untuk penyimpanan informasi penduduk yang dimanfaatkan untuk melacak suara, mendeteksi objek, mengenali warga lewat tulisan, gerak tubuh, hingga gaya bicara. Data-data tersebut kemudian digunakan untuk menyerang warga sipil.
Jadi, yang saat ini terjadi adalah perusahaan-perusahaan teknologi dunia tengah melakukan percobaan untuk mengembangkan teknologi yang akan dijual ke seluruh dunia, dan Israellah yang menyediakan laboratorium terbaik, yakni Palestina.
“Panen” Organ Jenazah Warga Gaza
Penargetan bukan hanya dialami oleh warga Gaza yang masih hidup, jenazah para martir juga tak lepas dari kekerasan dan dijadikan sumber cuan oleh Israel. Di tahun 2014, dalam acara televisi Israel, seorang pejabat senior mengaku bahwa mereka mengambil kulit dari jenazah pekerja Palestina dan Afrika, untuk perawatan luka bakar tentara Israel. Israel terkenal memiliki Skin Bank terbesar di dunia, fasilitas yang mengumpulkan kulit dari donor yang sudah meninggal, yang kemudian diproses dan disimpan untuk digunakan ketika diperlukan. Selain kulit, Israel juga mencuri organ-organ tubuh jenazah warga Palestina.
Israel terkenal dengan penjualan organ ilegal sejak puluhan tahun. Pada Intifada pertama, akhir 1980-an hingga awal 1990-an, banyak keluarga Palestina yang mengaku bahwa tubuh anggota keluarga mereka yang meninggal dalam operasi yang dilakukan oleh pasukan Israel, dikembalikan dalam kondisi kehilangan berbagai organ. Laporan European Parliament pada tahun 2015, “Trafficking in Humans Organs”, memasukkan Israel dalam daftar salah satu negara utama yang terlibat dalam perdagangan organ, termasuk sebagai importir dan konsumen.
Media TRT World menemukan bahwa kata kunci di mesin pencari Google yang berkaitan dengan “transplantasi organ di rumah sakit Israel” meningkat di Amerika sejak perang di Gaza pada 7 Oktober 2023. Seperti, “ginjal di Israel” dan nama-nama rumah sakit yang melayani transplantasi organ seperti, Sheba Medical Centre dan Ramba Health Campus, meningkat dari 0 ke 100 kali pencarian pada Oktober 2023. Sementara, rumah sakit yang tidak memiliki unit transplantasi organ, seperti Lis Maternity Hospital tidak mengalami kenaikan pada Google Trend.
Pada November 2023, Euro-Med melaporkan bahwa tentara Israel menyita puluhan jenazah dari Kompleks Medis Al-Shifa dan Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Mereka juga menggali dan menyita tubuh dari kuburan massal di halaman Kompleks Medis Al-Shifa yang telah dikubur lebih dari 10 hari. Setelah beberapa jenazah dikembalikan, tim medis menemukan bahwa beberapa jenazah kehilangan berbagai organ, mulai dari koklea, kornea, liner, ginjal, dan jantung.
Euro-Med juga menemukan bahwa Israel adalah satu-satunya negara yang secara sistematis menyimpan jasad orang yang dibunuhnya. Mereka menyimpan jenazah di bawah titik beku—di bawah 40 derajat celsius—untuk memastikan jenazah tersebut tidak menganggu dan menyembunyikan bukti pencurian organ. Meira Wess, doktor dan antropologis yang bekerja untuk Institut Forensik Israel (1988-2004), dalam bukunya “Over Their Dead Bodies (2002), menuliskan detail pemanenan organ dari jasad warga Palestina yang digunakan untuk kepentingan riset medis di universitas di Israel dan ditransplantasikan ke pasien-pasien Israel.
Penutup
Hal terpenting dari rumah kaca adalah lingkungan yang terkontrol. Israel melakukan hal tersebut di Palestina, terutama di Gaza. Israel meletakkan Gaza dalam blokade, agar leluasa mengatur hal-hal yang keluar-masuk dari Gaza dan bisa menciptakan kondisi yang mereka inginkan. Mereka kemudian melakukan berbagai eksperimen dan menghasilkan uang.
Dunia internasional harus segera sadar bahwa kejahatan besar dan sistematis yang didukung oleh kekuatan besar tengah berlangsung dan tertutup oleh tembok raksasa. Sebab, sangat besar kemungkinan kenyamanan teknologi yang kini kita rasakan adalah produk dari rumah kaca itu. Dari tangis anak-anak Gaza yang kelaparan, yang kehilangan orang tuanya, yang menggali pasir dengan sendok untuk mengeluarkan harapan.