luthfi j kurniawan

Usai menjalankan ibadah salat Jumat di masjid yang berada di lingkungan kampung saya ingin segera cepat-cepat pulang karena di luar terlihat mendung semakin gelap dan dapat dipastikan akan segera turun hujan. Begitu keluar dari area dalam masjid menuju ke serambi untuk segera berjingkat pulang, apalah daya, hujan tak bisa dihindari. Dengan sangat pasti butiran air yang jatuh dari langit semakin cepat dan volumenya pun semakin banyak. Hujan deras turun saat akan pulang dari masjid.

Sembari menunggu hujan agak reda, kami membuat majelis kecil dengan pola melingkar sambil mengobrol berbagai hal. Mulai dari hal yang sangat serius tentang keberadaan negara, tentang perkembangan agama maupun tentang hal yang menyangkut kehidupan warga di kampung saat hujan. Apakah akan ada banjir di gang-gang kampung atau ada hal lain yang  akan mengganggu kenyaman warga di kampung? Hal-hal berat telah dibicarakan, hal-hal ringan juga tak luput dari pembicaraan majelis kecil para penunggu hujan reda setalah menunaikan salat Jumat itu. Hal ringan yang mengemuka adalah cerita para teman, tetangga di kampung yang hobi bergaurau seraya “menggojlok” antar peserta majelis.

Selain urusan bercanda dan “ngerasani” tetangga, ada topik yang menurut saya sangat menarik untuk diperbincangkan di masa musim hujan ini, yaitu perihal gorong-gorong. Kenapa dengan gorong-gorong? Marilah kita mulai bicarakan hal yang sangat sederhana ini: tentang gorong-gorong.

Pada suatu ketika, di saat mengantarkan anak pertama menuju ke sekolahnya di hari senin, jalanan sangat ramai dan menjadi sangat membahayakan karena tidak sedikit kendaraan yang melaju di jalan raya cenderung cepat dan sedikit “ugal-ugalan”. Keadaan ini semakin diperparah dengan kenyataan di kanan kiri sepanjang jalan terdapat gorong-gorong atau parit kecil yang telah dibongkar untuk diperbaiki. Pekerjaan ini sebenarnya cukup baik dan tentu menjadi kewajiban pemerintah untuk memperbaiki fasilitas umum yang akan digunakan oleh warga negaranya.

- Poster Iklan -

Dalam kamus Bahasa Indonesia gorong-gorong berarti saluran air di bawah tanah. Nah, karena gorong-gorong ini berkaitan dengan penggalian tanah, maka semestinya para pekerja yang memperbaiki gorong-gorong yang diselenggarakan oleh pemerintah mestinya betul-betul memperhatikan dampaknya terhadap kemacetan dan banjir atau penggenangan air karena dilakukan di musim hujan.

Namun demikian, persoalannya adalah bukan memperbaiki gorong-gorongnya. Ada pertanyaan besar yaitu kenapa untuk memperbaiki gorong-gorong musti dilakukan di saat musim hujan? Kenapa tidak dilakukan saat kemarau? Atau kenapa tidak dilakukan saat malam hari? Kenapa dikerjakan saat pagi hingga sore yang merupakan jam atau waktu yang sangat padat dengan aktifitas Warga? Dampaknya apa jika memperbaiki gorong-gorong dilakukan di waktu pagi-sore dan di jam sibuk serta dimusim hujan? Apa yang akan terjadi? Jawaban dari para peserta majelis di masjid itu seragam seolah terjadi kor jawaban yaitu jalanan akan macet.

Saya pun juga tidak tahu, kenapa pemerintah harus memperbaiki gorong-gorong di musim hujan dan pada jam-jam padat. Padahal sejatinya pemerintah itu bekerja untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya. Bukan malah membikin stress di pagi hari karena antar pengguna kendaraan harus bersautan klakson agar kendaraan di depannya bisa minggir memberikan jalan kepada kendaraan yang ada di belakangnya. Keadaan ini jadi riuh dan ramai di jalanan pagi hari saat mengantarkan anak pertama ke sekolah.

Hemat saya mestinya, perbaikan gorong-gorong ini dilakukan dengan perencanaan baik yang harus memperhatikan musim. Harus mempertimbangkan apakah daerah yang diperbaiki lalulintasnya padat atau sepi. Tentu saya mengabaikan ketersediaan dana proyeknya yang biasanya mulai tersedia di akhir dan bertumpu kepentingan untuk menyerap dan menghabiskan anggaran semata. Entahlah…

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here