Ada satu adegan dalam Gowok Kamasutra Jawa yang membuat saya diam cukup lama. Bukan karena visualnya vulgar atau narasinya mencengangkan, tapi karena berhasil menghadirkan percakapan yang nyaris tak pernah kita bicarakan dalam terang—tentang tubuh, kenikmatan, dan peran perempuan dalam budaya Jawa yang terbungkus adat dan tabu.
Disutradarai oleh Hanung Bramantyo, film ini terasa seperti pernyataan berani di tengah industri perfilman Indonesia yang cenderung bermain aman. Diangkat dari riset budaya tentang eksistensi gowok, sebuah tradisi kuno di masyarakat Jawa di mana seorang perempuan dewasa membimbing laki-laki dalam mempersiapkan kehidupan rumah tangga, termasuk soal keintiman. Film ini membuka ruang diskusi yang jarang disentuh layar lebar.
Film ini berpusat pada Ratri, seorang perempuan yang mewarisi pengetahuan dan peran sebagai gowok dari keluarganya. Profesi ini membuatnya berada di antara garis halus antara pengabdian tradisi dan stigma modern. Konflik memuncak ketika ia harus membimbing Bagas, calon pengantin pria yang ternyata adalah anak dari mantan kekasihnya di masa lalu.
Dari awal, kita sudah diajak masuk ke dalam dilema personal Ratri. Bagaimana ia berdamai dengan masa lalu, menerima takdir sebagai pewaris ilmu kuno, dan menavigasi eksistensinya di tengah masyarakat modern yang kerap menuduh tanpa memahami. Di balik tubuh yang ia ajari, ada luka, keraguan, dan perasaan yang belum selesai.
Bagas, yang awalnya datang dengan sikap sinis dan sok tahu, perlahan menunjukkan sisi manusiawinya. Ia bukan hanya karakter pelengkap, tapi juga cermin dari generasi muda yang tercerabut dari akar budaya sendiri. Lewat hubungan mereka yang ambigu antara guru dan murid, antara masa lalu dan masa kini, kita seperti diingatkan bahwa cinta dan keintiman adalah sesuatu yang bisa hadir dalam bentuk yang tak selalu hitam putih.
Yang menarik, film ini tidak pernah menjadi erotik murahan. Adegan-adegan keintiman disusun dengan sangat hati-hati, lebih bersifat simbolik ketimbang eksplisit. Ada sentuhan artistik dalam setiap pergerakan tubuh, sorot mata, bahkan dalam diam yang diisi kegamangan. Hanung tampaknya sangat sadar bahwa film ini bukan tentang seksualitas semata, melainkan tentang kuasa, trauma, dan pemulihan.
Secara visual, Gowok sangat indah. Penggunaan warna-warna bumi, tekstur batik, ornamen tradisional, dan pencahayaan temaram menciptakan nuansa yang intim dan sakral. Rumah tua tempat Ratri tinggal seolah menjadi karakter tersendiri—menyimpan cerita, menyuarakan kenangan, dan menjadi ruang di mana tubuh dan tradisi bertemu tanpa penghakiman.
Yang juga mencuri perhatian saya adalah dialog-dialog dalam bahasa Jawa halus yang diselipkan dalam beberapa adegan. Ini bukan hanya usaha mempertahankan otentisitas, tapi juga penghormatan pada bahasa sebagai medium pengajaran nilai. Bahkan ketika membahas kenikmatan tubuh, dialognya tidak pernah terasa cabul, justru puitis dan penuh makna.
Musik latar dalam film ini juga patut diapresiasi. Komposisi gamelan pelan yang disandingkan dengan sentuhan ambient modern menghasilkan atmosfer magis. Ada saat-saat di mana saya merasa seolah mendengar suara sesepuh di kampung yang menembangkan kidung untuk para pengantin, sekaligus suara dalam diri yang mengajak untuk berdamai dengan tubuh sendiri.
Namun, yang membuat Gowok benar-benar istimewa adalah keberaniannya menyuarakan sesuatu yang lama dibungkam. Dalam budaya kita, pembicaraan soal seks seringkali dipenuhi rasa malu, tabu, atau malah dianggap dosa. Padahal, justru lewat pemahaman yang jernih dan berbasis budaya seperti ini, kita bisa lebih dewasa sebagai manusia.
Ratri adalah representasi perempuan yang kompleks. Ia bukan tokoh sempurna, tapi ia kuat, terluka, dan mencintai dalam diam. Perjalanan emosionalnya dari penyangkal menjadi penerima takdir adalah refleksi dari banyak perempuan yang mencoba berdiri di antara kemajuan dan akar tradisi. Ia bukan korban, bukan juga pemberontak. Ia hanya ingin didengar.
Bagi saya, Gowok Kamasutra Jawa adalah lebih dari sekadar film drama romantis. Ia adalah pengingat bahwa budaya kita memiliki cara-cara sendiri untuk memahami kehidupan, termasuk hal-hal yang dianggap terlalu pribadi. Dan bahwa dalam tubuh, kita menyimpan banyak hal: trauma, pengetahuan, cinta, bahkan warisan tak kasat mata dari generasi sebelumnya.
Film ini mungkin akan menimbulkan perdebatan. Tapi justru di sanalah kekuatannya. Ia memaksa kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan bertanya ulang: apakah kita benar-benar memahami tubuh kita sendiri? Dan seberapa jauh kita sudah meninggalkan cara-cara bijak nenek moyang dalam menyikapi hal-hal paling manusiawi?