Paling tidak ini pandangan subjektif saya saat sekolah. Guru sering diposisikan sebagai pusat pengetahuan. Lihat saja saat ia berdiri di depan kelas. Menjelaskan materi, menulis di papan, lalu memberi tugas. Pola ini sudah berlangsung lama dan terasa normal.
Namun di era perubahan cepat seperti sekarang, peran guru tidak lagi cukup hanya menyampaikan pelajaran. Guru juga bertugas membentuk kebiasaan belajar. Salah satu yang paling penting adalah mendorong murid untuk membaca.
Membaca bukan sekadar aktivitas tambahan dalam dunia pendidikan. Ia bukan pelengkap, apalagi hukuman. Saat saya sekolah ada teman yang dihukum membaca saat melakukan kesalahan. Membaca lebih dari soal hukuman. Membaca adalah pintu masuk menuju pemahaman yang lebih luas tentang dunia. Dari membaca, murid belajar berpikir, menimbang, dan memahami berbagai sudut pandang. Tanpa kebiasaan membaca, pelajaran mudah dilupakan dan pengetahuan menjadi dangkal.
Sayangnya, budaya membaca belum benar-benar mengakar kuat, terutama di kalangan generasi muda. UNESCO (organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB) bahkan menyebut Indonesia menempati ranking 60 dari 61 negara dalam budaya baca. Terlepas dari perdebatan soal angka, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa membaca memang belum menjadi kebiasaan harian bagi banyak pelajar.
Di titik inilah peran guru menjadi sangat penting. Mengapa? Karena guru adalah sosok yang paling sering berinteraksi dengan murid. Guru memiliki otoritas sekaligus pengaruh emosional. Murid mungkin lupa rumus atau definisi, tetapi mereka hampir tidak pernah lupa pada guru yang menginspirasi dan memberi dampak dalam hidupnya.
Guru yang gemar membaca biasanya mudah dikenali. Ia kaya contoh, luas referensi, dan mampu mengaitkan pelajaran dengan konteks nyata. Seorang guru sejarah, misalnya, tidak hanya terpaku pada buku teks. Ia bisa bercerita tentang tokoh dari buku biografi, mengutip novel sejarah, lalu menyarankan murid untuk mencari bacaan lanjutan. Saran sederhana ini sering kali menjadi pemicu rasa ingin tahu.
Hal serupa bisa dilakukan oleh guru bahasa atau guru mata pelajaran lain. Membuka kelas dengan membacakan satu paragraf cerpen dari media online. Lalu menghentikannya di bagian menarik, adalah cara efektif membangkitkan minat. Ketika guru berkata, “Lanjutannya coba kamu baca sendiri di rumah”. Bisa jadi sebagian murid terdorong membaca bukan karena perintah, melainkan karena penasaran.
Mendorong murid membaca tidak selalu harus lewat tugas berat seperti rangkuman atau resensi panjang. Kebiasaan ini justru lebih mudah tumbuh melalui hal-hal kecil yang konsisten. Sudut baca di kelas, lima menit membaca sebelum pelajaran dimulai, atau satu rekomendasi bacaan setiap minggu bisa menjadi awal yang sederhana namun bermakna.
Pertanyaan ringan seperti, “Kamu sedang baca apa sekarang?” juga punya kekuatan besar. Pertanyaan itu memberi pesan bahwa membaca adalah hal yang wajar dan bernilai. Murid merasa aktivitas membacanya dihargai, bukan dianggap aneh atau membosankan.
Guru juga perlu memahami dunia murid hari ini yang sangat dekat dengan gawai dan media digital. Membaca tidak harus selalu buku tebal. Artikel populer, esai singkat, atau cerita pendek di platform online bisa menjadi pintu masuk yang lebih relevan. Generasi muda sebenarnya membaca cukup banyak, tetapi sering kali hanya berupa potongan informasi singkat yang tidak mendalam.
Dalam hal itu, guru bisa mengarahkannya. Misalnya, guru meminta murid membaca satu artikel opini lalu mendiskusikannya di kelas. Bukan untuk mencari jawaban benar atau salah, tetapi untuk melatih berpikir kritis. Apa pendapat penulisnya? Apakah murid setuju? Mengapa? Di sini membaca menjadi proses dialog, bukan sekadar menerima informasi.
Contoh inspiratif datang dari beberapa sekolah yang mencoba pendekatan kreatif. Kita bisa mengambil contoh dari SD 1 Garung, Wonosobo, Jawa Tengah. Ada info layanan SAGUSATABA (Satu Minggu Satu Cerita Baik). Program ini melibatkan guru, siswa dan orang tua. Murid hanya diminta menceritakan kembali secara singkat di depan kelas. Hasilnya, kelas menjadi lebih hidup dan murid yang biasanya pasif mulai berani berbicara. Program membaca yang bernama SANGU SABU (Satu Minggu, Satu Buku) di SDN Ngudirejo 1, Diwek, Jombang, Jawa Timur juga bisa dijadikan rujukan.
Guru bisa menyarankan murid memilih bacaan apa pun. Dari cerpen hingga kisah inspiratif. Tidak ada nilai angka, tidak ada ujian tertulis. Kebiasaan membaca akan berpengaruh besar terhadap kemampuan berpikir, empati, dan daya analisis murid. Murid yang terbiasa membaca cenderung memiliki kosakata lebih kaya, lebih percaya diri menyampaikan pendapat, dan lebih siap menghadapi perubahan. Namun semua manfaat itu tidak akan muncul jika membaca hanya diperlakukan sebagai kewajiban. Ya tidak apa-apa awalnya dipaksa, siapa tahu tercipta kegemaran membaca.
Memang, guru tidak bisa bekerja sendirian. Perpustakaan sekolah harus dihidupkan. Kurikulum perlu memberi ruang. Orang tua perlu mendukung dari rumah. Namun sering kali, pemantik pertama tetap datang dari guru. Dari satu rekomendasi sederhana, satu cerita di kelas, atau satu kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten.
Mendorong murid membaca adalah investasi jangka panjang. Bukan hanya untuk nilai akademik, tetapi untuk membentuk manusia yang mampu memahami dunia, berpikir kritis, dan tidak mudah terjebak informasi menyesatkan. Di tengah banjir informasi seperti sekarang, membaca ibarat “jala penangkap ikan”.
Jadi, guru bukan hanya pengajar materi, tetapi penumbuh kebiasaan. Salah satu kebiasaan paling penting adalah membaca. Melalui contoh nyata, pendekatan yang relevan, dan sentuhan manusiawi, guru dapat menyalakan api membaca dalam diri murid. Api kecil yang kelak tumbuh menjadi cahaya besar bagi masa depan mereka, dan bagi masa depan bangsa.





















