Dalam gelanggang sejarah sastra Indonesia nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan nama Buya Hamka mungkin tidak sepopuler pengarang Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, sekalipun mereka pernah berpolemik sengit. Nama Buya Hamka juga tidak setenar dengan sastrawan semisal Sutan Takdir Alisjahbana, Asrul Sani, Rivai Apin, hingga Amir Hamzah atau yang seangkatan dengannya. Meskipun demikian, pengaruh Buya Hamka dalam gelanggang sejarah sastra Indonesia tetap mesti diperhitungkan.
Ya, Buya Hamka lebih dikenal sebagai seorang ulama yang melahirkan banyak karya dalam bidang keagamaan seperti, Tafsir Al Azhar, Tasawuf Modern, Pendidikan Agama Islam, dan banyak lagi lainnya. Hamka juga dikenal sebagai seorang sejarawan, banyak karyanya yang diangkat dari sejarah Islam, Indonesia hingga dunia. Sebut saja misalnya Tuanku Rao, Sejarah Indonesia, Di Tepi Sungai Dajlah, hingga 4 Bulan di Amerika. Dalam dunia kesusastraan, Hamka juga tak kalah produktifnya. Dua novelnya “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” menjadi novel paling laris yang tiada bandingnya, setelah novel Tetralogi Pulau Buru karangan terbaik Pramoedya Ananta Toer.
Bahkan, pada masanya Hamka menjadi satu-satunya yang berani membawa nilai-nilai ajaran Islam dalam karya sastranya. Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang kuat dengan nuansa keislaman itu bisa diterbitkan oleh Balai Pustaka yang dahulu dikenal sangat selektif dan ketat dalam menerbitkan karya-karya sastra. Padahal, Balai Pustaka pada zaman itu sangat anti menerbitkan karya yang berbau agama karena dianggap bisa membawa propaganda untuk membangkitkan perlawanan bangsa pribumi terhadap Belanda.
Namun, untuk novel Hamka tersebut menjadi pengecualiannya. E Ulrich Kratz yang menuliskan kata pengantar dalam buku “Sejarah Sastra Indonesia Abad XX” itu merekam dengan penuh kekaguman terhadap novel Hamka “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang lolos dari meja redaksi Balai Pustaka yang dikenal ketat itu. Kratz menyatakan bahwa jiwa agama yang terkandung dalam novel tersebut begitu halus, sehingga memenuhi syarat-syarat Balai Pustaka. “Karena tidak dapat dikategorikan sebagai propaganda, Balai Pustaka mau tidak mau menerbitkan novel itu.”
Bahkan, Balai Pustaka sendiri mengakui dalam mengantarkan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” kepada para pembaca menyatakan Hamka menjadi salah satu sastrawan yang menghadirkan warna Islam di dalam karyanya. Sementara itu, kritikus sastra HB. Jassin menyebut Hamka sebagai sastrawan Islam, di mana pada masa itu belum dikenal pengelompakkan sastrawan islami. “Boleh jadi,” tulis Balai Pustaka, “Hamka merupakan salah seorang pelopor sastrawan Indonesia yang menginisiasi ke arah itu.”
Keterlibatan Hamka dalam gelanggang sejarah sastra Indonesia juga mendapat pengakuan yang besar dari penulis novel Atheis, Aoh K Mihardja. Tak tanggung-tanggung, Aoh K Mihardja secara tegas dan tanpa tedeng aling-aling mengakui Hamka sebagai gurunya dalam dunia karang-mengarang. “Guru dalam kesusastraan adalah Hamka,” kata Aoh.
Salah satu sastrawan Islam yang semasa dengan Buya Hamka dan lebih muda darinya, Ali Audah juga memiliki kekaguman tersendiri dengan cara Hamka mengarang, terutama pada dua novel best seller-nya “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Ali menerangkan bahwa ketika membaca dua novel tersebut, dirinya begitu ingin menjadi tokoh Hamid dan Zainudin.
“Nama Hamka membawa kenangan panjang kataku, lama, sebab sekaligus yang menggugah saya ialah “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, dua roman yang membuat masa remajaku dulu jadi nikmat. Membaca dua buku itu, aku ingin menjelma jadi Hamid atau jadi Zainudin mengisi khayalan dengan Zainab dan Hayati.” Lebih jauh Ali juga menyatakan bahwa cara Hamka bertutur dalam karya sastranya memiliki bahasa yang indah dan selalu disela dengan petatah-petitih.
Keindahan Hamka bertutur ini, menurut Ali karena Hamka memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya dan ini menjadi ukuran seorang seniman. “Hamka tertarik pada cerita-cerita sedih, tentang orang-orang yang melarat, nasib orang yang tak pantas dirundung malang.” Kemudian, pernyataan pengarang novel Ziarah dan Kering, Iwan Simatupang seperti menguatkan dua argumen Aoh K Mihardja dan Ali Audah.
Iwan Simatupang merekam pengalamannya saat mendengarkan ceramah Hamka di Taman Ismail Marzuki yang penuh sesak pada 11 Maret 1970. Menurut penglihatan Iwan pada malam itu, publik berjubel untuk mendengarkan pemaparan Hamka. “Dia berbicara,” kata Iwan, “sama fasihnya dengan dia mengayun penanya.” Ia menegaskan bahwa Hamka mempunyai bakat mengarang yang alami. Hamka, menurutnya, mempunyai bakat untuk jadi seorang pengarang novel. “Beberapa novelnya malah termasuk mutiara-mutiara dari sastra Indonesia hingga kini.”
Tantangan dan Alasan Hamka Terjun ke Dunia Sastra
Hamka yang lebih dikenal sebagai seorang ulama dan mubaligh, saat terjun ke gelanggang sastra ternyata mendapatkan banyak cemoohan atau komentar-komentar negatif dari penggemarnya. Hamka mengakui memang ada pihak yang memujinya setinggi langit, tetapi ada pula yang mencemoohnya. Mulai dari dipanggil “Engku Van Der Wijck”, “Kiai I Love You”, sampai disebut “Tukang Cerita Cabul”, Tidak hanya itu, majalah Pedoman Masyarakat yang ia pimpin juga diejek sebagai “surat kabar cabul” yang dilarang untuk dibaca oleh anak-anak dan kaum hawa.
Cemoohan dan ejekan itu, menurut keterangan Hamka karena dalam ceritanya pernah ia melukiskan pertemuan Hayati dengan Zainuddin berdua-dua saja di tempat yang sepi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini mengungkapkan bahwa pengalamannya terjun ke dunia sastra pasti akan mendapatkan pujian dan celaan. “Telah ada yang memuji setinggi langit. Telah ada yang menjatuhkan kekuruk bumi.”
Kendatipun demikian, celaan dan cemoohan tidak membuat Hamka berhenti mengarang. Tercatat setidaknya ada 113 karya yang telah lahir dari penanya. Dari 113 karya itu, mungkin ada 10 karya sastra, baik novel maupun cerpen yang ia telurkan. Di antaranya; Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Si Sabariah, Angakatan Baru, Menunggu Beduk Berbunyi, Tuan Direktur, Menunggu ke Deli, Cinta Terkalang dan Di Dalam Lembah Kehidupan.
Adapun alasan yang membuat Hamka terus berkecimpung dan mencatatkan dirinya dalam tokoh dunia sastra Indonesia ialah karena kecintaannya terhadap dunia karang-mengarang. Hal ini sebagaimana pengakuan Iwan Simatupang yang meyaksikan dan mendengarkan ceramah Hamka di Taman Ismai Marzuki. “Dasar dari kepengarangan saya adalah cinta. Saya adalah pengarang! Pada mulanya dan pada akhirnya!” tegas Hamka. Pernyataan ini membuat secara tak sadar air mata Iwan Simatupang menetes, terharu dan takjub.
Pengaruh Karya Sastra Arab dan Adat Minang
Pengaruh karya sastra Arab dalam karya-karya Hamka sangat kental dan kentara. Bahkan hal ini dikuatkan oleh keterangan Ali Audah mengenai itu. Ali Audah menyatakan, bahwa Hamka banyak terpengaruh pada sastra Arab, terutama pengarang besar Arab, Manfaluti. Roman Majdulin dan Al Abarat yang dikarang Manfaluti memberikan inspirasi bagi Hamka dalam dunia karang-mengarang.
“Jelas Hamka terpengaruh banyak sekali kepada pujangga Mesir ini.” Sebab banyak terpengaruh dengan karya sastra Arab, roman “Tenggelam Kapal Van Der Wijck” pernah dinyatakan sebagai sebuah karya plagiat. Polemik plagiarisme itu dilontakan oleh sastrawan LEKRA yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hamka disebut menjiplak roman Magdelaine karangan Manfaluti atau yang disebut oleh LEKRA sebagai karangan Alphonse Care. Selain banyak terpengaruh dari karya sastra Arab, Hamka juga mengakui bahwa bekalnya dalam mengarang ialah aliran kesusastraan dari desanya sendiri, Maninjau.
“Bekal kita dalam mengarang adalah dari dua aliran, pertama aliran kesusastraan dari desa kita sendiri dari Maninjau yang dikeliling Bukit Barisam, dari Ujung Janggut dan Ujung Tanjung, dari Rakuk Tanjung Balat, dari biduk yang berlayar dari teluk ke teluk, dari tepian ke tepian, dari nyanyian kita seketika menggerakkan padi di sawah menurutkan ibu ketika badan masih kecil.
Setelah itu kita dididik oleh ayah menurut didikan surau. Dari sedikit ke sedikit kita sempat melihat buah tangan pujangga Arab yang lama dan yang baru, sejak dari Abdullah Atahiyah dan Ashma’iy sejak dari Ibnu Khaldun. Sampai pula kepada buah tangan Syauai, Said Musthafa Shadiq Arraf’iy, Said Mustafa Lutfi Almanfaluti, Gibran Khalil Gibran, Amin Raihanii dan lain-lain.”
Ketika ditanya mengapa dirinya ikut terjun dan terlibat dalam dunia kesusastraan, Hamka menjawab dengan jitu dan tepat. Menurutnya, memasuki dunia kesusastraan adalah suatu hal yang tidak dilarang oleh agama. Hamka menyatakan bahwa maksud ia ikut andil dalam dunia kesusastraan tidak lain dan tidak bukan untuk menyampaikan maksud yang baik sesuai ajaran Islam. “Sebagian besar kita tujukan kepada Almastalul ‘Ala, mencari ketinggian budi pekerti, mengkritik suatu perbuatan atau kejadian yang pincang di pemandangan masyarakat dan agama.”
Dari Hamka kita belajar bahwa umat muslim harus turut andil dalam segala aspek, termasuk dunia kesusastraan. Bagi pemuda dan pemudi muslim yang ingin terjun dalam dunia kesustraan mesti memegang nasihat penting dari Hamka. “Sebab itu pula, kita akan berusaha lebih giat dari yang sudah, menciptakan hikayat yang baru dengan tidak melupakan pujian yang setinggi langit atau hinaan yang hendak menjatuhkan atau cacat yang hendak memperbaiki.”
Mengutip pendapat A. Hasjmy, sastrawan juga mempunyai tugas sebagai khalifah Allah. Melalui karya sastranya yang memuat ajaran Islam, mampu membangun masyarakat Islam yang adil dan makmur. Hal ini sebagaimana penggalan puisi dari Hikayat Nun Farisi.
“Rakyat dibimbing ke Jalan Tuhan
Laki, perempuan, tua dan muda
Hukum dan adat sama berjalan
Sopan dan santun budi bahasa”
Atau kita bisa mengambil prinsip Kuntowijoyo dalam “Maklumat Sastra Profetik”. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa keinginannya dengan sastra ialah sastra sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”
Wallahu’alam bisshawab.