Kita semua dibesarkan dengan sebuah peta. Peta kehidupan yang digambar dengan garis lurus sempurna. Mulai dari titik A, lahir dan tumbuh, hingga titik B, sukses dan bahagia. Jalannya rapi, mulus, tanpa hambatan yang berarti. Ekspektasi itu membentuk kita, menuntut kita untuk sekolah yang rajin, masuk universitas terbaik, dapat pekerjaan stabil, lalu menikah dan punya anak. Kita percaya, hidup adalah tentang mengikuti garis ini, seolah itu satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.

Namun, semakin kita dewasa, kita sadar bahwa peta itu hanyalah ilusi. Hidup tidak pernah berbentuk garis lurus. Ia lebih mirip coretan acak seorang anak TK di atas selembar kertas kosong. Coretan yang tak beraturan, penuh lekukan tak terduga, warna-warni yang tumpah, dan goresan yang seringkali keluar dari batas.

Saya jadi teringat ketika saya menemani sepupu saya yang masih kecil untuk menggambar. Saya memintanya untuk membuat gambaran rumah sederhana, dengan segitiga sebagai atap dan persegi sebagai dindingnya. Tapi ia malah menggambar rumah dengan atap melengkung seperti topi badut, pintunya lebih besar daripada tembok, dan di samping rumah ada matahari yang tersenyum lebar. “Rumahku kan memang cerah, jadi mataharinya ikut senyum,” katanya polos. Melihat itu saya sadar, barangkali begitu juga hidup. Kita sering dipaksa menggambar rumah versi “standar”, yakni rata, lurus dan rapi. Padahal dalam kenyataan, hidup lebih sering penuh lengkungan, senyuman, dan coretan liar.

Kita boleh saja membuat rencana, target lima tahun, visi misi pribadi. Namun sering kali, kenyataan datang membawa penghapus, mencoret, bahkan menambahkan garis baru yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

- Poster Iklan -

Banyak orang merasa malu dengan “coretan berantakan” dalam hidup. Kita ingin semuanya rapi, lulus tepat waktu, kerja sesuai ijazah, menikah umur 25, punya rumah umur 30, tabungan aman menjelang 40. Lalu kita panik ketika usia 27 masih sibuk rebahan, kerja pun loncat-loncat seperti kodok yang bingung di persimpangan. Kita merasa gagal hanya karena garis hidup kita tak lurus, tidak sesuai peta. 

Garis lurus memang nyaman, tapi bukan berarti wajib. Hidup justru menarik karena belokannya. Bayangkan jika semua orang menempuh hidup yang lurus, mungkin dunia ini akan membosankan seperti barisan pagar rumah subsidi.

Bayangkan sebuah kertas putih. Kalau hanya ditarik satu garis lurus dari ujung ke ujung, bukankah terasa hambar? Justru garis-garis bengkok, lingkaran tak sempurna, bahkan noda tinta, membuat gambar lebih punya cerita.

Hidup itu bukan ujian matematika yang harus dikerjakan rapi dan benar. Hidup lebih mirip pelajaran seni rupa, siapa pun boleh coret-coret, asal tetap berani menatap hasil akhirnya.

Kita harus ingat bahwa dalam kehidupan, ada yang namanya “sungai” yang tak bisa diseberangi. Sungai itu bisa berupa kegagalan, kehilangan, atau sekadar kenyataan bahwa kita bukan siapa-siapa di hadapan rencana besar Tuhan. Maka, jalan melingkar, tersandung, bahkan tersesat pun tetap sah. Tidak lurus, tapi nyata.

Coretan anak TK jarang sekali punya harmoni warna. Kadang langit diwarnai hijau, rumput merah, dan sapi biru. Orang dewasa mungkin menggeleng-geleng kepala, “Ah, nggak realistis” Tapi bukankah hidup kita juga sering begitu?

Tidak semua warna dalam hidup cocok. Ada hari-hari penuh bahagia, tapi tiba-tiba disusul kesedihan. Ada momen sukses, tapi ditemani rasa sepi. Ada kebanggaan, tapi juga ada rasa bersalah. Semua campur aduk, seperti krayon anak TK yang dicoretkan tanpa aturan.

Tapi di situlah keindahannya. Hidup yang terlalu lurus dan seragam malah membosankan. Justru ketidakcocokan warna itu membuat kita belajar menerima bahwa hidup bukan soal cocok atau tidak cocok, melainkan soal keberanian untuk terus mewarnai.

Kalau kita mundur sejenak dan melihat perjalanan hidup dari jauh, mungkin semua coretan itu ternyata membentuk gambar yang lebih besar. Seperti puzzle yang awalnya acak, lama-lama tersusun jadi pola. Kita mungkin tidak selalu mengerti saat sedang di tengah-tengah garis berantakan itu, tapi kelak, saat kita menoleh ke belakang, kita bisa berkata “Oh, ternyata begini maksudnya.”

Keindahan lukisan anak TK tidak terletak pada kesempurnaannya, melainkan pada kejujuran dan keberaniannya. Ia tidak peduli dengan proporsi atau aturan, yang penting adalah ekspresi. Sama seperti hidup, kesalahan-kesalahan, keputusan impulsif, dan jalan memutar yang kita ambil, semua itu adalah coretan yang membentuk diri kita. Perjalanan panjang saat mencari jati diri, hobi yang ditemukan secara tak sengaja, atau persahabatan yang terjalin dari sebuah kecelakaan kecil. Semua itu bukan bagian dari “garis lurus”, tapi justru menjadi cerita paling berharga.

Mungkin, makna hidup sebenarnya bukan terletak pada seberapa rapi kita menjalani rencana, melainkan seberapa berani kita menghadapi setiap “coretan” yang datang. Coretan-coretan itu mengajarkan kita untuk bangkit dari kegagalan, membuat kita lebih tangguh, dan yang terpenting, membuat kita lebih manusiawi. Karena di balik setiap coretan yang kacau, ada cerita panjang tentang perjuangan, pertumbuhan, dan penerimaan diri.

Jadi, biarkan saja. Biarkan pensil kehidupan menari di atas kertasmu, membuat goresan yang tidak terduga, melukis cerita yang tidak rapi. Karena pada akhirnya, hidup bukanlah tentang mencapai titik akhir dengan sempurna, melainkan tentang menghargai setiap goresan yang ada di sepanjang perjalanan. Hidup itu bukan garis lurus, tapi coretan yang penuh makna dan cerita.

Bukankah karya anak-anak itu selalu ditempel di dinding kelas dengan bangga, meski warnanya belepotan? Tuhan pun mungkin begitu, menempelkan coretan hidup kita di dinding langit, sambil tersenyum melihat betapa unik setiap goresannya.

Jadi, jangan takut kalau jalanmu berbelok, mimpimu meluber keluar garis, atau lembar hidupmu penuh tinta bercampur air mata. Barangkali itu memang bentuk asli kehidupan, sebuah karya abstrak yang hanya bisa dimengerti oleh Sang Pencipta.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here