Sejak lama manusia memandang alam sebagai sesuatu yang bisa dikuasai. Hutan dijadikan lahan industri, laut dijadikan tempat pembuangan, udara dijadikan wadah bagi asap dan debu. Kita memuja kemajuan, tapi lupa bahwa setiap pabrik, setiap jalan raya, setiap gedung yang menjulang membawa konsekuensi ekologis yang berat.
Dalam logika kapitalisme modern, alam direduksi menjadi “sumber daya”. Padahal, dalam banyak kebudayaan lama di Nusantara, alam bukan sekadar latar kehidupan, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri. Masyarakat adat di berbagai penjuru Indonesia hidup dengan prinsip keseimbangan mengambil secukupnya, menanam kembali, dan menjaga siklus alam agar tetap berjalan. Namun, nilai-nilai itu perlahan tersingkir oleh cara berpikir modern yang mengukur segalanya lewat keuntungan ekonomi. Akibatnya, hubungan manusia dengan alam menjadi retak. Kita lupa bahwa bumi bukan milik kita—kita hanya menumpang hidup di dalamnya.
Mungkin inilah saatnya kita mengubah cara pandang. Alih-alih menaklukkan, kita perlu belajar berdialog dengan alam. Alam bukan objek yang pasif, ia mampu bereaksi, merespons, bahkan melawan. Setiap banjir bandang, longsor, dan gelombang panas adalah bentuk “jawaban” dari alam atas keserakahan manusia. Menyadari hal ini adalah langkah pertama menuju pemulihan dan masa depan yang lebih seimbang.
Jejak Hijau di Tengah Kota Jakarta
Di tengah dentuman mesin, klakson yang tiada henti, dan langit yang makin pekat di kota besar Indonesia, kita sering lupa bahwa kota pun bisa bernapas. Tidak hanya dengan oksigen, tetapi juga dengan harapan—harapan bahwa ruang-ruang beton ini bisa menjadi ruang hijau yang hidup. Betapa ironisnya, di kota yang dulu dipuja sebagai pusat kemajuan, kini kita justru berburu udara bersih, ruang terbuka hijau, dan cara baru agar kota tak hanya tumbuh, tetapi juga bertahan.




















