Ingatan yang Disterilkan: Cerita Anak, Trauma Perang, dan Politik Pelupaan (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)
Ingatan yang Disterilkan: Cerita Anak, Trauma Perang, dan Politik Pelupaan (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)

“Kau belajar sejarah di sekolah. Belajarlah baik-baik…., ambil pelajaran daripadanya. Kemerdekaan adalah sebaik-baiknya untuk suatu bangsa…..” (Cerpen Air Mata Kakek, dalam kumpulan cerpen Orang-orang yang Tercinta, Soekanto, S.A, Pustaka Jaya, 1973)

Dari meja diskusi Buku Anak dalam Cengkeraman Peperangan, yang digagas oleh Aliansi Mekar Pukul Empat dan Rembuku, 27 Mei 2025 lalu, saya tergoda menuliskan catatan bagaimana perang dihadirkan dalam cerita anak Indonesia. Mengisahkan perang dalam fiksi anak bukan perihal mudah. Perang dalam cerita anak memang bukan tema umum yang umum dibincangkan. Dalam dunia sastra anak Indonesia, tema perang dan pengungsian kerap menjadi wilayah yang dihindari karena dianggap terlalu berat bagi jiwa belia. 

Hormat saya untuk Aliansi Mekar Pukul Empat dan Rembuku yang mengapungkan bahasan sulit di tengah fakta dunia makin disesaki berita genosida, perang, tak terkecuali agitasi pemimpin agar rakyatnya memusuhi negara lain. Tulisan ini lebih memfokuskan pada hasil pandangan penulis, utamanya menyoroti minimnya kajian bagaimana sejarah perang, baik kemerdekaan maupun tragedi kemanusiaan 1965, dimunculkan, diwacanakan, dan dinarasikan dalam cerita-cerita anak. 

Ingatan, baik yang dimiliki bersama-sama (kolektif) maupun secara individu, ternyata tidak serta-merta hilang ketika generasi yang mengalaminya sudah tiada. Sejak Marianne Hirsch merilis postmemory (Family Frames, 1997), pemikirannya menjadi salah satu konsep penting dalam studi bagaimana seseorang merespon trauma secara tidak langsung.

- Poster Iklan -

Hirsch mulanya menuliskan istilah itu guna menjabarkan bagaimana anak-anak korban Holocaust berhubungan dengan masa lalu orang tua mereka dan dibentuk olehnya. Pemikirannya menjelaskan bahwa ingatan tentang peristiwa tragis bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Artinya, meskipun anak-anak yang mengalami perang sudah tumbuh dewasa dan generasi baru lahir, kenangan dan luka perang itu tetap bisa diturunkan kepada mereka yang tidak mengalami langsung. Generasi penerus ini seolah-olah terseret merasakan tragedi yang pernah dialami generasi sebelumnya.

Hirsch menyebut proses pewarisan ini sebagai transmisi, yang terbagi menjadi dua jenis. Pertama, transmisi familial, yaitu pewarisan ingatan yang terjadi dalam satu keluarga, dari orang tua ke anak. Kedua, transmisi afiliatif, yaitu pewarisan ingatan yang terjadi di luar hubungan darah, misalnya melalui kisah, ilustrasi atau narasi peristiwa sejarah yang disampaikan oleh pihak berotoritas. Dengan kata lain, generasi postmemory mewarisi kenangan perang bukan dari pengalaman langsung, melainkan dari penceritaan, gambar, artefak-artefak sejarah, dan perilaku yang diwariskan atau dikisahkan oleh orang lain.

Dari Sisi Manusiawi, Bahasa, Sensitivitas, Hingga Kritik Terhadap Glorifikasi Heroisme

Noor H. Dee (Hadi) menawarkan perspektif unik sebagai penulis, yang telah menciptakan puluhan cerita anak, melalui dua karyanya yang mengisahkan tema perang. “Saya sebenarnya nulis perang itu kalau enggak salah cuman untuk yang buku anak ya, cuman dua cerita gitu. Yang pertama ada di buku Taman Tanpa Aturan yang judulnya Perang Hebat Dua Negara. Terus yang satu lagi Robot yang Terbuat dari Peluru Kendali,” Hadi menunjukkan pendekatan kreatif yang mencoba menyajikan tema perang dari sudut pandang yang berbeda.

Perang itu kejam, menghasilkan kerugian yang sangat besar, menciptakan duka begitu dalam, kehilangan dan lain-lain. Perang identik dengan kehilangan, kerusakan, kehancuran kematian. Hadi justru menuliskan apa yang ingin ia sampaikan tentang perang, hingga terciptalah cerita Perang Hebat Dua Negara. Alkisah dua negara, negara merah dan negara kuning, berpikiran bahwa perdamaian tak akan tercipta kalau kedua negara itu sama-sama eksis. Akhirnya mereka berperang dan semua orang dewasa mati, kecuali presiden negara merah, presiden negara kuning, dan anak-anak.

Pemimpin dua negara meminta anak-anak berperang. Para belia dua negara turun ke medan perang dengan menyeret senjata yang ukurannya lebih besar dari tubuh mereka. Tak ada yang mengendarai tank dan pesawat tempur, sebab tubuh mereka masih kecil. Apa yang terjadi ketika kedua presiden meneriakkan kata, “Seraaang!”? Para pemilik jiwa belia malah saling melempar senyum, melambaikan tangan, bertukar nama, bersalaman, dan bermain bersama. Bagi Hadi, perang adalah kosa kata yang hanya tertera dalam kamus orang dewasa,  bukan milik anak-anak. Hadi memilih mengedepankan sisi manusiawi anak-anak dalam memandang perang.

Heny Khair membawa perspektif bahasa dalam menganalisis representasi perang dalam buku anak. Ia menyampaikan hasil pembacaannya terhadap buku cerita anak berjudul Baitul Maqdis. Ia menyoroti bagaimana bahasa yang dipilih justru menyempitkan perjuangan Palestina itu sendiri dan makin mempertebal sentimen agama. Analisis ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang bagaimana pilihan bahasa dan representasi visual strategis membentuk persepsi anak tentang konflik dan perang antar dua negara.

Opini Heny sejalan dengan teori representasi yang dikembangkan oleh Stuart Hall dan telah diadaptasi untuk konteks sastra anak oleh Bradford (2020). Penelitian Bradford yang dipublikasikan dalam International Research in Children’s Literature: The Stolen Generations of Australia: Narratives of Loss and Survival menunjukkan representasi konflik dalam cerita anak seringkali mencerminkan ideologi dominan dan dapat memperkuat stereotip atau bias tertentu.

Artikel itu menggarisbawahi bagaimana narasi resmi pemerintah (ideologi dominan) mencoba membenarkan pemisahan anak-anak indigenous (Aborigin) dan mengungkap bagaimana stereotip tentang kebaikan kebijakan asimilasi digunakan untuk melegitimasi kekerasan struktural. Representasi konflik dalam cerita anak membantu mengidentifikasi potensi dampak negatif dan mengembangkan strategi mitigasi efektif yang dapat digunakan sebagai kerangka teoretis solid dalam menganalisis buku anak bertema perang.

Setyaningsih menyampaikan kritik tajam terhadap narasi heroisme dan pengaruh politik dalam sastra anak, khususnya dalam konteks sejarah Indonesia. Ia juga menyoroti bagaimana representasi perang di era Orde Baru dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa, yang menunjukkan bagaimana narasi perang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan dan membentuk identitas nasional tertentu.

Menurut Setyaningsih, orde baru jelas mencitrakan Presiden Suharto berseragam militer. Maka cerita-cerita dalam buku-buku Inpres di masa itu mewakili apa yang ingin diekspos dan ditunjukkan oleh pemerintah era itu. Puisi anak yang menuliskan tentang sosok pahlawan begitu mudah dan lazim ditemukan dalam majalah-majalah anak pada masa pembangunan itu. Pahlawan seringkali digurat tanpa nama dalam puisi, tapi mereka mati dengan penuh heroisme. 

Dalam buku Tentara Semut yang ditulis Motinggo Busye, ihwal patriotisme disajikan dari kacamata anak-anak. Motinggo menempatkan anak-anak sebagai aktor utama yang ikut berperang secara fisik, bukan semata psikologis.

Anak-anak menjadi mata-mata latihan di barak militer. Jadi kalau sekarang ada pejabat daerah yang menyeru mengirimkan anak-anak nakal ke barak militer, Motinggo sudah lebih dulu mengisahkan relasi anak-anak dengan barak militer. Buku yang diterbitkan tahun 1981 itu memunculkan heroisme bangsa terjajah melalui perspektif anak-anak.

Dari tangan Soekanto S.A sebenarnya lahir kumpulan cerita pendek anak-anak berjudul Orang-orang yang Tercinta, yang menyinggung keharuan seorang kakek terhadap kemerdekaan Indonesia saat itu (buku ini terbit tahun 1973). Kakek yang sedang membaca berita kunjungan Presiden Indonesia ke lapangan Haneda dan disambut kaisar Jepang Hirohito, itu berpesan pada cucu lelakinya untuk belajar sejarah di sekolah dengan baik, agar mengingat bahwa hidup dijajah itu sengsara. Penjajah tak pernah menghargai martabat negara jajahannya. Kemerdekaan adalah sebaik-baiknya kondisi Indonesia. 

Satu Lagi, Kali Ini Tentang Pak Supi

Satu hal yang tak boleh dilupakan dalam diskursus perang dalam buku cerita anak Indonesia, adalah trauma kemanusiaan akibat peristiwa 1965.  Tragedi yang saling menghadap-hadapkan rakyat Indonesia itu mewariskan ingatan traumatis dan dendam turun temurun, yang hingga hari ini masih saja mendapat perlawanan ketika dibincangkan secara terang-terangan. Bahkan hendak dihapus dari buku sejarah baru yang saat ini tengah disusun pemerintah. 

Narasi traumatis ingatan kolektif itu rupanya belum mendapatkan ruang leluasa untuk sekedar didiskusikan, apalagi dikritisi, mengingat tak banyak cerita anak yang mengisahkan perihal tragedi 1965. Salah sedikit dari buku yang saya maksud ialah buku anak karya S. Rukiah, berjudul Pak Supi, Kakek Pengungsi. Penghakiman dan prasangka terhadap mereka yang dicap komunis, kental dikisahkan dalam buku bersampul kuning yang awalnya diterbitkan Swada 1961, lalu kembali dirilis oleh Ultimus pada 2018.

Adalah tulisan Erika Rizqi berjudul Membaca Kisah Pak Supi, dimuat di basabasi.co, 1 Desember 2018, meninju-ninju ingatan saya tentang dampak perang lain (baca konflik horisontal) dalam sejarah perjalanan Indonesia. Konflik yang terbaca sebagai kekejaman terhadap kemanusiaan. Membaca tulisan Erika Rizqi tentang Pak Supi, Kakek Pengungsi karya S. Rukiah Kertapati, saya menemukan sebuah pembacaan yang tidak hanya cermat pada detil cerita, tetapi juga tajam dalam menelusuri konteks sosial, politik, dan ideologis di baliknya. 

Erika memulai ulasannya dengan menyoroti betapa langkanya pembahasan sastra anak Indonesia, sehingga kehadiran ulang Pak Supi ibarat oase di padang tandus. Ia lalu mengajak pembaca mengenal karakter-karakter utama: tiga anak sekolah dasar: Abas, Didin, dan Kandar, yang penasaran pada sosok Pak Supi, seorang kakek misterius yang menjadi pusat gosip di Desa Sukarapih. Erika menangkap dengan baik bagaimana rumor dan prasangka masyarakat membentuk citra Pak Supi sebagai tukang tenung yang menakutkan, padahal di balik itu ia menyimpan luka dan kerinduan pada keluarga yang hilang.

Menariknya, Erika tidak berhenti pada permukaan cerita. Ia menyoroti bagaimana Rukiah membangun ketegangan antara dunia anak-anak yang penuh rasa ingin tahu dan dunia orang dewasa yang sarat trauma serta prasangka.

Melalui pengamatan Erika, saya menyaksikan bagaimana Pak Supi menjadi simbol pengungsi yang terasing, baik secara fisik maupun sosial. Ketika ketiga bocah mengintip rumah Pak Supi dan menemukan ia bermain dengan boneka kayu, Erika membaca adegan ini sebagai penanda kerentanan dan upaya bertahan di tengah keterasingan.

Erika juga menyoroti konflik utama dalam cerita, yakni ketika Pak Supi difitnah membakar rumah juragan dan mencuri perhiasan. Ia mengapresiasi keberanian Abas yang akhirnya bersaksi demi kebenaran, meski harus berhadapan dengan tekanan sosial.

Di sini, Erika membaca pesan moral yang kuat: keberanian untuk membela yang benar, meski berisiko. Namun, kekuatan utama ulasan Erika terletak pada kemampuannya menempatkan Pak Supi dalam konteks sejarah dan ideologi. Ia mengaitkan karya ini dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tempat Rukiah bernaung.

Erika mengutip pidato Sugiarti Siswadi yang menekankan pentingnya membentuk anak menjadi manusia “bersegi banyak” dengan pandangan dunia ilmiah dan kebesaran sosialisme. Ia menunjukkan bagaimana doktrin Lekra meresap ke dalam cerita, misalnya dalam penggambaran kekejaman serdadu Belanda terhadap Akip, atau dalam narasi tentang kelompok anti-Soekarno yang membakar rumah dan membunuh keluarga Pak Supi.

Erika tidak menutup mata pada kekerasan yang hadir dalam cerita anak ini. Ia membandingkan pendekatan Rukiah dengan Roald Dahl, penulis yang juga kerap menghadirkan kekerasan dalam karya anak-anaknya. Namun, Erika menegaskan bahwa kekerasan di sini bukan tanpa tujuan; ia menjadi bagian dari upaya membangun kesadaran sejarah dan keberpihakan pada korban.

Melalui pembacaan Erika, saya melihat Pak Supi bukan sekadar kisah anak-anak, melainkan cermin dari pergolakan sosial-politik Indonesia masa orde lama. Erika mampu menunjukkan bahwa sastra anak pun bisa menjadi ruang refleksi kritis, tempat luka sejarah dan harapan masa depan saling berkelindan.

Di tengah hangatnya perdebatan soal rencana pemerintah Indonesia menulis ulang sejarah sesuai kepentingan rezim saat ini, yang berpotensi menghapus jejak-jejak penting masa lalu, refleksi atas pembacaan perang dalam cerita-cerita anak Indonesia semakin relevan, mendesak, dan menemukan muaranya. Jika narasi sejarah mulai digantikan oleh versi tunggal, yang disterilkan dari konflik dan luka, anak-anak Indonesia terancam tumbuh sebagai manusia ahistoris: generasi yang tercerabut dari akar sejarah bangsanya sendiri. 

Akibatnya, penulisan tema perang dalam cerita anak pun akan kehilangan daya kritis dan empatinya; kisah-kisah yang seharusnya mengajarkan keberanian, solidaritas, dan refleksi atas kekerasan, justru berubah menjadi narasi kering tanpa makna yang bisa ditimba. Tanpa keberanian untuk menghadirkan sejarah apa adanya, sastra anak hanya akan menjadi alat propaganda, bukan ruang pembelajaran dan penumbuhan karakter. Maka, menjaga kejujuran sejarah dalam cerita anak adalah ikhtiar merawat ingatan kolektif, agar generasi mendatang tetap mampu memahami, mengkritisi, dan membayangkan masa depan yang lebih berkeadilan, tidak bias, dan manusiawi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here