Saat ada calon klien yang baru, ada beberapa assesment atau deteksi yang Saya lakukan. Salah satunya tentu saja adalah terkait dengan : aset digital. Pasti merata ditanya, brandnya apa, link Google Maps nya, akun Instagram nya, akun TikTok nya, akun YouTube nya, dan kawan-kawannya. Salah satu yang jadi pantauan lebih intens, tentu saja akun Instagramnya.

Apakah punya akun IG?

Apakah jumlah followersnya cukup banyak?

Apakah kontennya rutin diunggah?

- Poster Iklan -

Apakah ada konsep dalam penyusunan kontennya?

Eh, dengan pertanyaan-pertanyaan yang baru saja Saya ajukan, kok aroma-aromanya, punya akun Instagram ini kok terlihat, terdengar, dan terasa jadi kerepotan dan keribetan tambahan ya?

Tentu saja, jawabannya : iya. Ribet!

Apalagi kalau Kita tidak punya target dan strategi yang jelas perkara media sosial ini.

Memiliki akun media sosial itu mudah. Merawatnya mulai agak susah, membuatnya bertumbuh jelas susahnya minta ampun. Bayangkan isi pikiran pemilik usaha? Mengurus usaha saja banyak ketemu kendala, ini ditambahi PR untuk membuat, mengelola, dan menumbuhkan media sosial.

Instagram ini ibarat salah satu wajah, muka, yang berhadapan langsung dengan konsumen, atau prospek yang sedang disasar. Memangnya, kalau followers banyak, ada jaminan konsumen juga banyak? Belum tentu sih, apalagi kalau followersnya sedikit.

Kita dapat sama-sama amati, bahwa brand besar, punya akun instagram yang juga secara selaras merepresentasi bahwa mereka adalah brand besar. Beberapa indikatornya tentu saja adalah jumlah followersnya, pemilihan username yang digunakan, ada centang biru di akunnya, bio yang dicantumkan, konten yang diunggah, dan tentu saja jangkauan yang diperoleh serta interaksi yang terjadi.

Kita akan dengan mudah mendeteksi dan menarik kesimpulan tentang seberapa serius sebuah brand mengelola usaha, dengan mengamati seberapa serius mereka mengelola media sosial dan salah satunya, akun Instagram nya.

Siapa yang mengelola akun Instagram ini? Tentu saja, team media sosial. Bukan kasir yang kadang-kadang kalau kerjaannya longgar, diminta bantu sekalian kelola media sosial, atau malah masih dikelola oleh ownernya, dengan tangannya sendiri.

Ada konten yang perlu dihasilkan, ada interaksi yang perlu dikelola, ada iklan yang perlu dijalankan, ada insight yang perlu dibaca, ada angka angka yang dapat naik dan turun untuk kemudian dianalisis dan dilacak faktornya. Semua untuk apa? Tentu saja, perluasan jangkauan, penambahan prospek calon konsumen, dan ujung-ujungnya peningkatan dalam branding, marketing, dan selling.

Ada beberapa salah kaprah yang biasa Saya temukan ketika bicara mengenai Instagram :

Asumsi 1 :

Nggak apa-apa lambat dan sedikit, asalkan organik.

Ini kalimat yang biasanya muncul dari pimpinan yang idealis, yang berpikir bahwa followers nggak perlu banyak, dan penonton konten nggak perlu banyak, karena berpikir, bahwa followers dan penonton Kita, adalah riil, konsumen Kita saja.

Realita :

Yang perlu dijadikan followers dan penonton konten Kita, tidak hanya terbatas pada konsumen yang sudah beli, namun juga meliputi prospek calon konsumen di luar yang Kita jangkau selama ini. Akun akun luar dan asing ini, mana mau follow akun Kita atau nonton akun Kita, jika followers masih sedikit dan penonton konten sebelumnya juga sedikit, maka, akan berkutat lagi di pertanyaan : telur dulu apa ayam dulu.

Asumsi 2 :

Konten media sosial adalah cara Kita menjangkau audiens dengan menunjukkan, siapa kita? Apa yang mampu kita lakukan? Apa prestasi yang sudah kita raih? Apa hebatnya kita? Dengan kata lain, pondasi berpikirnya : kita adalah.

Realita :

Audiens tidak peduli, kita siapa dan apa hal hal yang kita mau omongkan terkait kita. Mereka berselancar di media sosial untuk mencari hiburan, dan kita sedang berebut perhatian atas sesuatu yang relate dan relevan dengan mereka. Jika kita adalah brand yang punya produk, maka aneka isi pesan yang kita sampaikan, disisipkan secara terselubung (subliminal) dalam aneka elemen dan properti yang dimuat dalam konten.

Asumsi 3 :

Akun yang hebat adalah yang followersnya banyak, dan hanya sedikit melakukan follow, kalau bisa hanya follow 0 akun atau follow akun owner saja.

Realita :

Akun kita hendaknya jadi rumah yang ramah, bukan sok sokan populer dan dipuja, tapi akun media sosialnya yang dekat dan hangat dengan audiens. Tidak sombong minta di follow, namun justru dengan rendah hati memfollow akun para konsumen dan pelanggan. Kita yang harusnya ngefans sama pelanggan, kita yang hendaknya jatuh cinta pada pelanggan, karena dari akun media sosial pelanggan, Kita dapat melacak dan menjangkau profil akun lain yang relate dan sejenis dengan profil pelanggan kita.

Tapi yang khas, kalau akun Instagram, aura dan budayanya adalah : estetika. Keindahan, kerapian, ada di instagram. Jadi kalau akun Instagram brand kita terlihat dan terasa berantakan, kayaknya, sedang salah habitat.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here