“Oh batu, oh batu …. Jangan tinggalkan gang-ku … aku dan engkau tumbuh bersama … seperti pelaut dan laut.”
(anak-anak Palestina, 1987-1993)
Intifada, ketika batu kecil rakyat Palestina melawan senjata perkasa militer Israel: Batu VS Tank. Jika dianalogikan, ini seperti … cubitan kecil yang dibalas pukulan keras. Tak setara, tak sebanding. Begitulah kira-kira gambaran Intifada, yang dalam bahasa Arab berarti bangkit, memberontak, atau mengguncang. Maksudnya, pemberontakan ini dilakukan oleh warga sipil Palestina untuk melawan pendudukan Israel atas wilayah-wilayah yang direbut sejak perang Nakba (1967) selama 20 tahun hingga Intifada I (pertama) pecah.
Intifada I disebut juga sebagai Intifada Batu atau Perang Batu karena senjata utama pemberontakan rakyat Palestina pada saat itu adalah batu, disamping juga menggunakan pisau dan bom Molotov (jenis bom buatan, biasanya dari wadah kaca bersumbu, dan berisi cairan yang mudah meledak/terbakar). Pemicu Intifada I adalah usai sebuah truk militer Israel melintas dan menabrak dua mobil van yang sedang menunggu penumpang Palestina di kamp pengungsian Jabalia, 8 Desember 1987. Insiden itu menewaskan empat warga Palestina yang baru pulang kerja dari Israel dan beberapa lainnya mengalami luka-luka.
Banyak warga Palestina menganggap kejadian tersebut bukan kecelakaan belaka, melainkan kesengajaan sebagai bentuk balas dendam atas tewasnya seorang warga Israel bernama Shlomo Takal (45 tahun) yang ditikam oleh orang Palestina (tetapi tidak teridentifikasi secara publik) di Gaza sehari sebelumnya antara tanggal 6-7 Desember 1987. Namun, kedua insiden tersebut bukanlah semata-mata penyebab terjadinya Intifada I. Ini seperti pemantik kecil dari amarah rakyat Palestina yang selama ini terpendam alih-alih melawan karena keterbatasan. Jiwa yang lama tertidur seakan bangkit dan berbisik dari relung hati terdalam, “Ayo, gerak sekarang!”