Ada satu momen dalam Jagat Arwah yang membuat saya merinding bukan karena takut, tapi karena terasa akrab. Seorang karakter sedang berinteraksi dengan sosok tak kasat mata, namun yang muncul di benak saya justru bayangan nenek saya yang dulu sering membakar kemenyan di malam Jumat.
Disutradarai oleh Ruben Adrian, Jagat Arwah tampil sebagai bagian dari ekosistem baru perfilman Indonesia yang ingin menanamkan identitas budaya dalam genre horror yang selama ini lekat dengan jumpscare dan hantu perempuan berambut Panjang. Di sini, diolah menjadi pengalaman sinematik yang spiritual.
Film ini mengikuti perjalanan Raga, seorang pemuda yang mendadak dihadapkan pada kenyataan bahwa ia adalah keturunan keluarga penjaga dunia arwah. Takdir yang menuntutnya kembali ke akar, menyelami hal-hal yang tak kasat mata namun nyata dalam budaya kita. Dari awal, narasinya sudah memberi isyarat bahwa ini bukan cerita biasa. Narasinya menyentuh mitos lama, garis keturunan, hingga konflik internal yang kita semua rasakan tentang makna hidup dan kematian.
Tokoh ini awalnya labil, apatis, dan merasa tidak punya tujuan hidup. Gambaran yang sangat relevan untuk banyak generasi muda saat ini. Tapi saat takdir memanggilnya untuk menjaga keseimbangan semesta, ia mengalami transformasi yang menyentuh.
Karakter-karakter pendukung seperti Jaya, Dewi, dan Tisna menjadi bagian penting dari mitologi modern yang dibangun film ini. Mereka merepresentasikan unsur-unsur spiritual, ilmu, dan kekuatan yang saling tarik-menarik dalam semesta Jagat Arwah. Yang menurut saya menarik adalah tidak ada karakter yang mutlak baik atau jahat. Semua berada dalam peranan yang manusiawi dan ini membuat ceritanya lebih hidup.
Secara visual, Jagat Arwah mengagumkan. Dunia gaib digambarkan bukan sebagai ruang kelam semata, tapi semesta megah yang penuh simbol dari ukiran kuno, ornamen Nusantara, hingga keindahan alam yang memikat. Film ini seperti mengajak penontonnya untuk tidak sekadar menonton, tapi menyelam.
Namun yang paling mencuri perhatian saya justru musik latarnya. Gamelan yang dipadukan dengan elektronik ambient menciptakan atmosfer yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada bagian di mana saya merasa sedang duduk di pelataran candi sambil mendengar bisikan masa lalu. Musik ini bukan tempelan, tapi jantung cerita.
Hal yang membuat Jagat Arwah relevan bukan hanya teknis produksinya, tapi gagasan di baliknya. Film ini menyampaikan bahwa generasi sekarang dengan segala modernitas dan logika rasionalnya masih punya keterhubungan mendalam dengan masa lalu. Bahwa ada kekuatan tak terlihat yang mengalir dalam darah kita, dari doa-doa orang tua, mitos desa, hingga mimpi-mimpi yang tak kita mengerti.
Ritual dalam film ini dari pemanggilan arwah hingga pemutusan kutukan dihadirkan dengan tata cara yang tak asal-asalan. Tim produksi tampaknya melakukan riset mendalam terhadap praktik spiritual masyarakat tradisional. Ini membuat film terasa lebih otentik.
Ketika Raga mulai memahami takdirnya sebagai penjaga jagat, saya merasa itu seperti refleksi untuk kita semua yang perlahan mulai kembali bertanya: siapa saya? dari mana saya datang? dan warisan apa yang saya bawa?
Jagat Arwah mungkin dipasarkan sebagai film horor fantasi, tapi bagi saya ia adalah film reflektif. Contohnya ketika Raga berkali-kali bermimpi jatuh ke jurang, itu bukan sekadar mimpi horor. Itu refleksi dari keterasingannya terhadap akar dirinya sendiri. Sebuah simbol kejatuhan spiritual yang kemudian ia bangun kembali lewat penerimaan dan pengorbanan.
Ia menyelinap pelan ke ruang-ruang dalam kita yang sudah lama tak disentuh, keyakinan tentang alam, rasa hormat pada leluhur, dan pemahaman bahwa hidup bukan hanya tentang sekarang. Dan ini yang jarang terjadi di film horor lokal. Biasanya, penonton hanya membawa pulang rasa takut. Tapi di sini, saya membawa pulang pertanyaan.
Menonton Jagat Arwah menjadi perjalanan batin, di mana layar lebar menjadi cermin. Cermin yang menunjukkan bahwa spiritualitas, budaya, dan ingatan masa lalu bisa hadir dalam bentuk modern tanpa kehilangan maknanya. Film ini menyadarkan kita bahwa horor yang paling kuat bukan yang bikin jantung copot, tapi yang bikin kita bertanya tentang diri kita sendiri.