Langit Jakarta di tahun 2045 tidak lagi abu-abu karena polusi, melainkan abu-abu karena lapisan teknologi yang bernama EchoLens.

Aku, Arjuna, duduk di bangku beton halte bus yang kosong. Di depanku, berdiri sebuah bangunan megah, The Zenith, menara kantor dengan fasad kaca anti-panas. Namun, saat aku mengaktifkan aplikasi Nostalgia AR di smart-lens-ku, pemandangan itu lenyap. The Zenith berganti rupa menjadi ruko-ruko kusam dengan papan nama berkarat: “Toko Sembako Haji Mahmud,” “Warung Nasi Uduk Bu Leli,” “Pangkas Rambut Jaya Abadi.”

Ini adalah fitur terlaris dari Nostalgia AR: Retrokoneksi. Ia mengambil data citra publik dari arsip Google Earth lawas, foto-foto pribadi yang diunggah secara sukarela oleh warga di masa lampau, dan catatan historis kota, lalu memproyeksikannya tepat di atas pandangan mata pengguna. Pengalaman yang imersif total; aku bisa melihat kemacetan mobil tahun 2020 di jalan yang kini dilewati monorel hening, mendengar lengkingan klakson yang sudah lama mati, dan mencium samar aroma masakan warteg yang kini menjadi coffee shop futuristik.

Retrokoneksi bukan sekadar hiburan. Bagi orang sepertiku—yang lahir pasca-Pergeseran Digital—ia adalah jendela. Jendela yang membuat masa lalu, alih-alih menjadi memori abstrak, terasa nyata, bisa disentuh (meski hanya ilusi optik). Aku menggeser Retrokoneksi ke mode ‘Momen Pribadi’.

- Poster Iklan -

Tepat di sudut bangunan yang dulunya adalah toko bunga kecil, kini muncul sosok Ayahku. Ia berdiri di sana, muda, mengenakan kemeja kotak-kotak yang kukenal dari foto usang. Di sampingnya, Ibuku tertawa, rambutnya tergerai sebatas bahu, memegang seikat bunga mawar putih. Mereka sedang menunggu jemputan setelah kencan pertama mereka.

“Arjuna, kamu sedang apa?”

Suara itu mengejutkanku. Kulepas sekejap smart-lens-ku. Di sampingku, duduk seorang wanita tua, Nenek Risa, yang sering kutemui di halte ini. Ia selalu mengenakan jubah abu-abu dan memegang tongkat kayu, kontras dengan para pengguna EchoLens yang berpakaian smart-fabric.

“Ah, Nenek Risa. Hanya… melihat-lihat,” jawabku, mengaktifkan kembali lensa. Aku tidak ingin kehilangan momen tawa Ibuku.

Nenek Risa mencondongkan tubuhnya, memandang ke arah The Zenith dengan mata telanjang. “Melihat apa? Bangunan kaca itu? Membosankan sekali.”

“Bukan, Nek. Aku melihat masa lalu,” kataku, mencoba menjelaskan. “Aku melihat bagaimana tempat ini dulu. Ada toko bunga di sana. Dan… aku melihat orangtuaku muda.”

Nenek Risa terdiam. “Oh, Echo-Nostalgia itu, ya. Alat pelarian yang mahal.”

Aku tersinggung. “Ini bukan pelarian, Nek. Ini adalah cara untuk… terhubung. Ayahku meninggal sebelum aku sempat tahu cerita lengkap tentangnya. Lewat AR, aku bisa melihat detik-detik penting dalam hidupnya. Ini otentik.”

“Otentik?” Nenek Risa tertawa sinis. Tawa yang terdengar seperti gesekan daun kering. “Nak, itu hanya kumpulan data digital yang diperindah. Itu adalah hantu yang diciptakan oleh algoritma, bukan memori sejati. Memori sejati itu berbau, berasa, dan menyakitkan. Benda itu hanya manis.”

Aku memilih untuk mengabaikannya dan kembali fokus pada layar Retrokoneksiku. Sosok Ayah dan Ibu kini masuk ke mobil otonom berwarna kuning yang juga merupakan proyeksi AR. Mereka melambai padaku, hantu digital yang tak menyadari keberadaanku.

Ketergantunganku pada Nostalgia AR semakin parah. Aku tidak lagi menikmati kota yang ada. Aku selalu hidup di lapisan masa lalu, memburu cache data lama. Pekerjaanku sebagai Digital Archivist di sebuah museum sejarah juga menuntut hal itu, tapi bagiku, ini adalah misi pribadi: mencari celah dalam memori digital.

Selama ini, Retrokoneksi menyajikan kisah-kisah manis, momen kebahagiaan yang sempurna. Perusahaan Nostalgia AR Corp. telah memastikan bahwa hanya data ‘bersih’ yang diunggah ke server utama. Mereka menjual kebahagiaan. Tapi, hidup Ayahku tidak mungkin selalu manis. Ada jeda, ada ruang kosong. Terutama, di seputar kematiannya.

Ayahku meninggal karena kecelakaan mobil saat aku masih balita. Catatan resmi mengatakan ia menabrak pohon di jalan tol pinggiran kota. Sebuah kecelakaan tunggal. Namun, selalu ada cerita tak terucapkan yang terasa menggantung di udara rumah kami.

Suatu malam, aku berhasil melacak koordinat GPS yang terekam dari smartwatch Ayah sesaat sebelum ia tewas. Lokasinya: sebuah hutan kota yang kini telah menjadi taman vertikal yang indah.

Aku pergi ke sana. Taman itu penuh dengan pasangan yang berpacaran di antara tanaman hidroponik, semuanya sibuk dengan smart-lens mereka, mengedit latar belakang atau berfoto dengan filter alam yang sempurna.

Aku mengaktifkan Nostalgia AR, mengatur waktu kembali ke detik-detik terakhir Ayahku hidup.

Saat itulah lingkungan berubah drastis. Pohon-pohon buatan berganti menjadi hutan karet yang lebat. Jalan setapak beton lenyap, diganti aspal yang retak. Hening. Hanya suara jangkrik dari masa lalu.

Di bawah proyeksi bayangan pohon karet, aku melihat mobil Ayah—bukan yang kuning dari kencan, melainkan sedan hitam yang ringsek, persis seperti yang kulihat di foto polisi. Ayah tergeletak di samping mobil. Ada… seseorang di sana.

Seorang pria muda berjongkok di samping Ayah, memegang tangan Ayah, wajahnya penuh kepanikan. Pria itu bukan Ayah atau siapapun yang kukenal.

Jantungku berdebar. Proyeksi ini terlalu detail, terlalu spesifik untuk menjadi arsip umum. Ini pasti data yang tercecer, data pribadi yang tersimpan di cloud lama yang tak sengaja tersinkronisasi.

Aku mencoba mendekat, namun smart-lens-ku berkedip. “Data Corrupted. Reverting to Public Domain.”

Tiba-tiba, hutan karet dan mobil ringsek itu lenyap. Aku kembali berada di taman vertikal yang cerah, dikelilingi tawa dan filter Instagram. Pelarian itu berakhir.

Aku kembali ke halte, mencari Nenek Risa. Aku butuh seseorang yang tidak hidup dalam balutan AR. Aku butuh orang yang masih mengingat aroma debu dan kesakitan.

Nenek Risa ada di sana, sedang membaca buku fisik dengan sampul lusuh.

“Nek, aku melihat sesuatu,” kataku, terengah-engah.

Dia menutup bukunya. “Apa yang dilihat si hantu digital?”

“Ayahku. Saat dia kecelakaan. Ada orang lain di sana. Seorang pria. Pria itu terlihat sedih, panik…”

Nenek Risa menatapku lekat-lekat, raut wajahnya berubah serius. “Apa nama jalan tol itu?”

“Aku tidak tahu nama tol, tapi tempatnya… hutan karet. Di sana kini jadi Taman Vertikal Merdeka.”

Nenek Risa menunduk. Ia diam untuk waktu yang lama, lalu berbisik, “Itu bukan tol, Nak. Itu jalan pintas yang berbahaya, yang sering digunakan para pemuda untuk balapan liar di malam hari.”

“Balapan liar?”

“Ya. Dulu, tempat itu gelap dan sunyi. Ayahmu…” Nenek Risa berhenti, menatap jauh ke bangunan The Zenith yang kini kembali menjadi ruko di layar EchoLens-ku. “Ayahmu tidak menabrak pohon. Dia ditabrak, Nak. Oleh seorang pemuda yang sangat kaya. Kecelakaan itu ditutupi. Polisi bilang tunggal. Tapi semua orang di lingkungan ini tahu.”

Kebenaran itu menghantamku seperti bongkahan batu. Retrokoneksi ayahku, momen kebahagiaan dengan ibuku, tiba-tiba terasa hampa, hanya sampul manis dari sebuah tragedi.

“Pria yang kulihat… di AR itu. Dia orangnya?” tanyaku.

Nenek Risa mengangguk perlahan. “Namanya Rendra. Anak dari pemilik holding besar. Ia yang menabrak Ayahmu dan melarikan diri. Hanya kembali saat keadaan sudah ‘diamankan’.”

“Bagaimana Nenek tahu?”

“Karena aku hidup di masa itu. Aku melihat bagaimana keluarga besarnya membersihkan jejak, membayar saksi, dan menjadikan kecelakaan itu ‘kecelakaan tunggal’ yang tragis. Aku adalah salah satu saksi yang dibayar, Arjuna. Mereka memberiku uang untuk tutup mulut. Uang itu kugunakan untuk biaya sekolah anakku.” Mata Nenek Risa kini berkaca-kaca. “Kebenaran ini sudah busuk di dalam diriku selama puluhan tahun.”

Nenek Risa meraih tongkatnya. “Kini, Rendra itu adalah CEO dari perusahaan yang menciptakan smart-lens yang kamu pakai.”

Aku tersentak. Nostalgia AR Corp.

The Zenith. Menara kantor dengan fasad kaca anti-panas.

“Dia menciptakan alat untuk mengubur masa lalu yang pahit,” bisik Nenek Risa, kini berdiri. “Dan dia membiarkanmu melihat hantu digital yang manis sebagai gantinya.”

***

Aku kembali ke The Zenith, tapi kali ini aku mematikan smart-lens-ku. Kota yang kulihat kini nyata: dingin, keras, dan penuh dengan kebohongan yang terawat rapi.

Rendra, si CEO, kini adalah penjaga gawang memori dunia. Dia mengendalikan apa yang bisa kita lihat tentang masa lalu, menyaring trauma dan hanya menyajikan nostalgia yang bisa dijual. Itu adalah kekuasaan yang jauh lebih besar daripada uang.

Aku tidak lagi tertarik pada hantu Ayah yang tersenyum. Aku ingin kebenaran yang busuk dan menyakitkan, kebenaran yang Nenek Risa berikan.

Aku membuka file proyek di laptop kerjaku. Sebagai Digital Archivist, aku memiliki akses ke server cadangan Nostalgia AR Corp. Aku mencari file yang tidak terenkripsi sempurna, file yang sempat kulihat di Taman Vertikal.

Dibutuhkan waktu empat jam, segelas kopi dingin, dan bantuan darknet-AI yang kumiliki, tetapi aku berhasil menemukannya: arsip video dashcam yang tidak sengaja tersinkronisasi dari mobil autopilot yang melintas di lokasi kecelakaan. Video itu menunjukkan semuanya: mobil Rendra yang melaju kencang, tabrakan, dan pelarian yang tergesa-gesa.

Aku punya bukti nyata. Bukan proyeksi AR yang bisa dikendalikan.

Keesokan harinya, aku tidak pergi ke kantor. Aku pergi ke studio jurnalisme underground yang bekerja di luar media-sphere yang diatur oleh perusahaan besar. Aku menyerahkan video itu.

Keputusan itu adalah pilihan antara hidup yang damai dan manis, dikelilingi oleh hantu AR yang bahagia, atau hidup yang keras, penuh perjuangan, tapi di atas kebenaran. Aku memilih yang kedua.

Beberapa minggu kemudian, artikel berjudul “Retrokoneksi Berdarah: CEO Nostalgia AR Corp. dan Kecelakaan yang Terkubur” viral. Protes terjadi. Saham perusahaan Rendra anjlok. Dunia yang terikat oleh smart-lens akhirnya terpaksa melihat kenyataan tanpa filter nostalgia.

Nenek Risa menemuiku lagi di halte yang sama. Ia tersenyum, senyum yang kali ini tampak tulus, bukan hanya simetri digital.

“Kamu melepaskan jendelamu, Nak,” katanya.

“Aku memilih pintu, Nek,” jawabku.

Aku masih memiliki smart-lens, dan terkadang, aku masih mengaktifkan Retrokoneksi di lokasi toko bunga Ayah dan Ibu. Mereka masih ada di sana, tersenyum dan melambai. Tapi kali ini, aku tidak berlama-lama.

Aku menutup smart-lens-ku.

Aku berdiri di The Zenith yang nyata. Aku melihat ruko-ruko kusam di Retrokoneksi, tetapi kini aku juga melihat masa depan yang tidak dibentuk oleh kebohongan masa lalu. Aku bisa mencium aroma knalpot yang kini digantikan oleh aroma hidroponik. Dan aku tahu, aroma kebenaran, sesakit apa pun, jauh lebih otentik daripada kebahagiaan yang diprogram.

The Zenith memang tinggi, tetapi pandanganku kini jauh lebih luas. Masa lalu tetaplah di belakang. Aku berbalik, meninggalkan halte, menuju masa kini yang tidak tertutupi oleh lapisan ilusi augmented reality. Aku siap untuk hidup, tanpa filter, tanpa hantu digital.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here