Waktu kuliah sarjana, saya lebih senang ke perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta  dari pada perpustakaan fakultas. Bukan apa-apa. Perpustakaan pusat lebih sepi. Saya biasa ke sana sore hari.  Waktu awal kuliah saya lebih suka membaca koran dan majalah. Ada juga kumpulan kliping artikel-artikel dari media cetak.

Di rumah desa saya, hanya ada majalah Panji Masyarakat dan majalah anak-anak Sahabat. Dulu pernah langganan koran sore Masa Kini. Bapak saya yang hanya guru SD golongan II saja pernah langganan majalah dan koran. Padahal kebutuhan sehari-hari juga hanya cukup. Tapi soal buku dan media, bapak menempatkan di atas segala kebutuhan.

Di rumah desa  banyak buku keagamaan. Di perpustakaan pusat kampus banyak koran, majalah dan tentu saja buku-buku.  Saya menemukan ketenangan di antara rak-rak buku yang sunyi. Saking seringnya ke perpustakaan, penjaganya sampai hafal dengan saya. Malah akrab. Di fakultas malah ada penjaga yang mirip dengan Rhoma Irama karena bercambang. Kami menyebutkan mas “Oma Irama”.

Seolah saat saya masuk ke perpustakaan aroma kertas yang mulai menua menyambut. Suara kipas angin berputar pelan, seolah menjaga suasana tetap lembut. Kursi kayu di sudut ruangan terlihat keras. Tapi entah kenapa terasa seperti tempat paling nyaman yang pernah saya duduki. Di sana saya sadar, ribuan cerita sedang menunggu untuk disentuh.

- Poster Iklan -

Awalnya saya tidak tahu harus membaca apa. Saya hanya duduk memandangi deretan buku dengan bingung.  Saya mulai paham bahwa membaca bukan sekadar mencari informasi. Tapi membaca adalah perjalanan.

Sejak hari itu perpustakaan menjadi rumah kedua saya. Ketika dunia nyata terasa terlalu melelahkan, saya kembali ke sana.  Semakin banyak saya membaca, semakin banyak sudut pandang yang saya temukan. Kalimat demi kalimat menata pikiran. Cerita demi cerita memperluas pemahaman saya terhadap hidup.

Buku yang pernah saya baca di perpuatakaan pada awal kuliah adalah Antologi Cerita Pendek Indonesia  penerbit PT Gramedia dengan editor Satyagraha Hoerip. Dari buku itu saya belajar. Setiap orang punya cerita, luka dan punya perjuangan. Bahkan tokoh fiksi sekalipun. Perpustakaan, pelan-pelan, membentuk empati dalam diri saya.

Di perpustakaan saya pernah menemukan buku The Magic of Thinking Big karya David Schwartz. Dalam edisi Bahasa Indonesia berjudul Berpikir dan Berjiwa Besar. Buku yang saya baca hampir setiap untuk dituntaskan di wisma “Kartika Putra Camp” jalan Halilintar, Jebres. Buku itu seolah ingin mengajarkan saya untuk berpikir dan berjiwa besar. Bukan sekadar bermimpi kecil agar aman. Dari situ saya belajar bahwa batas terbesar bagi hidup sering kali ada di kepala kita sendiri. Sejak membaca buku itu, saya mulai percaya bahwa saya juga boleh punya cita-cita yang besar, meskipun hidup saya sederhana. Salah satunya ingin menjadi penulis.

Juga, ada buku  Think and Grow Rich karya Napoleon Hill. Awalnya saya mengira itu buku tentang uang. Ternyata jauh lebih dari itu. Buku tersebut mengajarkan bagaimana pikiran yang terarah bisa mengubah tindakan, kebiasaan, dan bahkan masa depan. Saya mulai memahami bahwa apa pun yang kita yakini dalam pikiran bisa ditarik dalam hidup. Kata-kata itu melekat di kepala saya sampai sekarang.

Perlahan, membaca mengubah cara saya bicara. Ya memang tidak terus menjadi orator ulung. Tapi ternyata bacaan bisa mengisi kekosongan omongan saya. Bicara lebih berisi. Itu saja. Dulu saya pendiam dan sering bingung mengungkapkan gagasan. Tapi dari buku-buku, saya belajar melihat bagaimana orang menyusun argumen, memainkan ritme kalimat, dan menutup ide dengan kuat. Tanpa saya sadari, pola itu ikut membangun cara saya berbicara dan berpikir dalam kehidupan sehari-hari.

Saya mulai berani ikut berdiskusi kecil-kecilan. Mulai berani menyampaikan pendapat. Bukan untuk terlihat pintar. Tapi karena saya tahu bahwa suara saya juga punya hak tempat. Buku mengajarkan saya bahwa setiap orang berhak didengar. Termasuk saya.

Ada satu hal lain yang saya temukan di perpustakaan yakni keindahan kesunyian. Saya tidak takut kesunyian. Rumah di desa saya saja dikitari 2 kuburan.  Sunyi itu tenang.  Saya bisa   mendengar “diri saya sendiri”. Saya menemukan ruang untuk bertanya hal-hal yang tidak pernah saya ucapkan kepada siapa pun.

Aktivitas saya di perpustakaan juga membaca kisah tokoh-tokoh besar sebelum mereka sukses. Ternyata semuanya pernah gagal. Semuanya pernah jatuh. Tidak ada yang langsung menang. Membaca itu membuat saya merasa lebih manusia dan lebih kuat.

Pada akhirnya, membaca bukan lagi kebiasaan, tapi kebutuhan. Jika saya lama tidak ke perpustakaan, ada sesuatu yang terasa hilang. Bukan haus informasi, tapi haus ketenangan. Haus kesempatan untuk duduk diam dan ingin membuka pintu ke dunia baru.

Orang sering bertanya, “Kok kamu betah berjam-jam di perpustakaan?” Saya hanya tersenyum. Bagaimana mungkin saya bosan? Di tempat itu saya bisa menjadi siapa saja dan pergi ke mana saja. Saya bisa menjelajah masa lalu, ikut meramalkan masa depan bahkan melihat sifat manusia. Semua lewat buku.

Sampai sekarang saya masih pergi ke perpustakaan. Tidak sesering dulu memang. Tapi tiap kali membuka halaman pertama, saya kembali menjadi versi diri saya yang paling jujur. Anak pemalu yang menemukan rumah keduanya di antara buku-buku. Saya tahu, waktu boleh berjalan, tapi cinta pada perpustakaan dengan buku-bukunya tidak akan berubah.

Perpustakaan bukan hanya tempat membaca, tetapi tempat saya tumbuh menjadi diri saya hari ini. Buku-buku membentuk cara saya berpikir, berbicara, dan memandang dunia dengan hati yang lebih luas. The Magic of Thinking Big mengajarkan saya untuk bercita-cita besar. Think and Grow Rich membuat saya percaya pada kekuatan pikiran dan tindakan. Perpustakaan menjadi ruang di mana semua pelajaran itu tertanam. Setiap kali saya merasa hilang, saya tahu ke mana harus kembali. Ke kursi di sudut perpustakaan, tempat dunia selalu menunggu untuk dibuka.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here