Apakah Anda termasuk penggemar Korean Pop (K-Pop)? Jika jawabannya iya, coba perhatikan apakah ide, atribut atau perilakunya dipengaruhi oleh apa saja yang “berbau” K-Pop? Jika jawabannya iya lagi, berarti Anda sudah terpapar oleh K-Pop. Tidak usah risau, takut atau cemas. Semua orang pernah dan akan terpapar apapun, salah satunya K-Pop.
K-Pop bukan sekadar musik. Ia adalah fenomena global. Dari Seoul, dentuman musik dan gerakan koreografi penuh energi itu menjalar ke seluruh dunia. Termasuk ke Indonesia. Generasi muda kita larut di dalamnya. Dari lagu, gaya berpakaian, gaya rambut, hingga standar kecantikan. Semua seperti ikut terbawa arus deras budaya populer Korea.
Fenomena ini bahkan disebut sebagai bagian dari Korean Wave atau hallyu, gelombang budaya Korea yang menembus batas negara. Gerakannya cepat menembus ruang dan waktu.
Di balik itu semua, ada daya tarik visual yang begitu kuat. Penampilan idol sempurna, wajah mulus, tubuh langsing, dan gaya yang dianggap serba ideal. Idol K-Pop tampil nyaris tanpa cela di depan kamera. Gambaran inilah yang kemudian masuk begitu deras ke dalam benak jutaan penggemarnya, khususnya generasi muda.
Diikuti
Generasi muda tumbuh di era digital. Layar ponsel menjadi jendela utama dunia mereka. Data dari Statista (2023) menunjukkan lebih dari 70% remaja di Asia Tenggara mengakses konten hiburan melalui YouTube dan media sosial setiap hari. Dalam kasus itu, konten K-Pop menjadi salah satu yang paling dominan.
Grup seperti BTS, BLACKPINK, Twice, hingga Stray Kids bukan hanya dipuja karena musiknya. Mereka juga dijadikan role model (panutan). Segala sesuatu yang dikenakan idol bisa tiba-tiba jadi tren global, dari soal pakaian, gaya rambut, hingga riasan wajah. Contoh kasus ketika Jennie BLACKPINK memakai hairpin (penjepit rambut). Stok aksesori itu langsung diserbu K-Popers di e-commerce. Inilah bukti betapa kuatnya daya pengaruh K-Pop terhadap perilaku konsumsi generasi muda.
Generasi muda kini tidak hanya mengidolakan musik K-Pop. Mereka juga berusaha meniru. Diet ekstrem ala idol, perawatan kulit berlapis-lapis (skincare layering), hingga operasi plastik semakin marak di kalangan penggemar yang ingin mendekati standar cantik idolanya.
Di Korea Selatan (Korsel) sendiri, survei dari Gallup Korea (2022) mencatat hampir 30% perempuan berusia 20-an pernah menjalani prosedur operasi plastik. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Fenomena tersebut juga menular ke negara-negara penggemar K-Pop. Di Indonesia misalnya, klinik kecantikan semakin gencar mempromosikan layanan dengan embel-embel “Korean look” (gaya tampilan yang terinspirasi budaya pop Korea).
Tak berhenti di situ. Sikap sehari-hari pun ikut berubah. Bahasa gaul Korea masuk ke percakapan remaja Indonesia. Cara berpakaian ikut menyesuaikan tren yang ditampilkan idol. Bahkan, standar dalam memilih pasangan seringkali dipengaruhi oleh citra “oppa” atau “unnie” di layar kaca. Semua ini menunjukkan betapa perilaku generasi muda sangat terikat pada konstruksi budaya pop Korea.
Teori Kultivasi George Gerbner
Apa yang ditiru generasi muda di atas bisa dijelaskan melalui teori kultivasi (cultivation theory) dari George Gerbner (Universitas Pennsylvania Amerika). Teori komunikasi massa itu mengatakan, semakin sering seseorang terpapar media, semakin besar pula kemungkinan ia menganggap tayangan media itu sebagai realitas.
Teori kultivasi menjelaskan bahwa media, khususnya televisi — atau dalam konteks modern media sosial dan platform digital — memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi, sikap, bahkan realitas sosial seseorang. Gerbner menekankan bahwa paparan yang terus-menerus terhadap konten media akan “mengultivasi” (menanamkan) cara pandang penonton terhadap dunia. Dengan kata lain, semakin sering seseorang terpapar pada satu bentuk representasi media, semakin besar kemungkinan mereka mempercayai dan menginternalisasi nilai-nilai yang disajikan.
Dalam buku saya Pengantar Komunikasi (2021) terungkap Gerbner pernah meneliti para candu film kekerasan di televisi. Hasilnya, para pecandu ini terpengaruh dari tontonannya. Bahkan mempercayai bahwa apa yang terjadi dalam adegan film kekerasan televisi terjadi pula dalam realitas sehari-hari. Televisi menanamkan ke benak pecandu film kekerasan itu dan mereka meyakininya. Padahal kenyataanya tidak sesederhana itu.
Dalam konteks K-Pop, teori ini juga sangat relevan. Generasi muda lebih banyak menyerap realitas dari layar ponsel mereka ketimbang dari kehidupan nyata. Idol yang tampil sempurna dianggap standar normal. Tubuh langsing, kulit putih bersinar, wajah tanpa cela — semua itu dilihat sebagai patokan. Padahal dalam kenyataan, standar itu sulit dicapai, bukan?
Akibatnya, lahirlah perasaan tidak puas pada diri sendiri. Banyak remaja membandingkan dirinya dengan idol. Muncul kecemasan, rendah diri, hingga gangguan citra tubuh (body image issues). Studi yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health (2021) bahkan menemukan, paparan berlebihan terhadap konten hiburan Korea berhubungan dengan meningkatnya perilaku diet ekstrem di kalangan remaja perempuan Asia.
Realitas Semu
Akhirnya industri K-Pop membentuk sebuah mitos. Cantik itu harus seperti idol. Rambut rapi, tubuh ramping, kulit putih. Generasi muda yang terus-menerus menonton tayangan ini akhirnya menganggapnya sebagai kenyataan universal.
Namun, standar ini tidak realistis. Idol K-Pop menjalani latihan keras, diet ketat, bahkan tekanan besar dari agensi mereka untuk selalu tampil sempurna. Banyak kasus idol yang jatuh sakit karena pola diet tidak sehat atau stres berlebih. Sayangnya, fakta ini seringkali tidak terlihat oleh penggemar.
Itulah hasil dari efek kultivasi. Generasi muda lebih percaya pada realitas yang mereka lihat di layar ketimbang realitas sehari-hari. Mereka lupa bahwa kecantikan sejati beragam bentuknya. Realitas dalam layar juga bersifat semu.
K-Pop memang memberikan hiburan yang luar biasa. Ia membawa energi positif, rasa persaudaraan antar penggemar, bahkan membuka peluang ekonomi baru. Namun, ada sisi lain yang harus diwaspadai. Standar kecantikan yang semu dan menekan.
Generasi muda perlu lebih kritis. Idol K-Pop bukanlah gambaran nyata kehidupan sehari-hari. Mereka adalah hasil kerja keras, pencitraan, bahkan manipulasi industri. Belajar menikmati musik dan meneladani semangat kerja keras idol mungkin baik. Tapi menjadikan standar kecantikan mereka sebagai kebenaran mutlak justru berbahaya.
Hubungan antara teori kultivasi George Gerbner dengan sikap dan perilaku K-Popers cukup jelas. Intensitas paparan terhadap media K-Pop menumbuhkan persepsi tertentu, membentuk sikap, dan pada akhirnya tercermin dalam perilaku nyata penggemar. Positif atau negatifnya dampak tersebut sangat bergantung pada bagaimana individu mengelola konsumsinya terhadap media. Yang pasti, fenomena K-Pop menunjukkan betapa kuatnya peran media dalam membentuk realitas sosial generasi muda saat ini.