Untuk melengkapi tugas penelitian, saya pernah mewawancarai anggota K-Popers nctzenmalangidn. K-Pop sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan kebudayaan.

Memang mereka suka dengan lagu-lagu K-Pop. Tetapi ia juga menjadikan lagu, idola, kata-kata, kalimat dan atribut lain sebagai sesuatu yang layak untuk ditiru pula. Kata-kata seperti “anneyeong”, (halo), “hwaiting”, (semangat), “daebak” (luar biasa), “kamsahamdina” (terima kasih), “gamawo” (terima kasih), “chingu” (teman), “gwencana” (tidak apa-apa), “saranghae” (aku cinta kamu) dan masih banyak lagi menjadi identitas baru K-Popers.

Kata-kata di atas muncul karena pengaruh tontonan K-Pop. K-Popers bangga karena bisa sebagai identitas kebanggaan dan menjadi pembeda dengan yang lain. Ada sesuatu yang ekslusif mereka punya pada diri. Apalagi saat mereka sudah berada dalam grup penggemar. Mereka bangga dan mencoba mengungkapkan rasa bangganya itu pada orang lain. Ini tentu tidak salah karena keterpengaruhan atas apa yang mereka tonton. Semua orang akan terpengaruh tontonan. Hanya persentase pengaruhnya berbeda satu sama lain, bukan?

Bahkan diantara K-Popers yang saya wawancarai itu mulai tertarik mempelajari bahasa Korea. Ini data baru soal pengaruh bahasa, belum pengaruh-pengaruh yang lain.

- Poster Iklan -

Apakah ada data yang bisa mendukung hasil wawancara saya di atas? Di Amerika ada 41% penggemar hallyu belajar bahasa Korea karena ketertarikan pada budaya K-Pop. Mahasiswa yang mengambil kursus bahasa Korea meningkat dari 13.900 (2016) menjadi 19.300 (2021) atau meningkar sekitar 39%. Pendaftaran mata kuliah bahasa Korea meningkat menjadi 95%.  Di Inggris mahasiswa yang memilih jurusan bahasa Korea meningkat tiga kali lipat (2012 sampai 2018). Dari sebuah survei, di Malaysia 80% reponden mulai belajar bahasa Korea pula.

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak jauh berbeda. Data dari survei Tirto (2022) menunjukkan 52,21% responden menyatakan bahwa mereka mulai belajar bahasa Korea karena pengaruh K-Pop. Survei melibatkan 1500 reponden dengan rentang umur 15-39 tahun.

Jadi, ketertarikan K-Pop dan konten-konten Korea menjadi alasan utama di balik lonjakan belajar bahasa Korea. Berdasar wawancara saya dengan fandom nctzenmalangidn mereka awalnya sekadar ingin mengetahui arti kata dalam lirik lagu. Namun lama-kelamaan tertarik mempelajari lebih lanjut.

Tentu saja ketertarikan pada budaya pop Korea tidak melulu pada bahasa. Survei Tirto di atas juga menunjukkan alasan utama menggemari K-Pop karena musik/lirik lagu (77,15%), penampilan (71,45%), koreografi (66,76%), visual (61,07%), karakter personil dalam grup (57%). Itu semua memengaruhi gaya hidup generasi muda sekarang.

 

Budaya Lokal Mulai Tergerus

Mengapa harus gaya hidup? Karena gaya hidup berkaitan dengan perilaku sehari-hari generasi muda yang mencakup bagaimana mereka menghabiskan waktu dan uang, minat, opini serta nilai yang mereka anut. Tentu saja perilaku generasi muda yang terpengaruh K-Pop akan berkaitan dengan K-Pop tersebut, bukan? Waktunya bisa habis untuk K-Pop.

Gaya hidup tak hanya soal konsumsi tetapi mencakup nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup. Bagaimana jika pandangan hidup generasi muda Indonesia seperti Korea? Ini yang menjadi masalah penting. Kalau soal menghabiskan uang atau waktu masih ringan. Tetapi jika apa yang mereka lakukan sudah menjadi nilai? Ia akan menjadi pedoman hidup sehari-hari dan akan ikut memengaruhi masyarakat di sekitar.

Hal di atas tak berarti bahwa gaya hidup akibat pengaruh K-Pop  jelek semua. Tidak juga. Gaya hidup seperti peduli pada penampilan, menjaga kesehatan, motivasi ingin maju tentu dampak yang bagus. Banyak idol K-Pop yang disiplin, kemudian diikuti K-Popers juga layak ditiru. Apalagi jika minat pada budaya K-Pop menjadi pendorong untuk peduli sesama dengan melakukan kegiatan kemanusiaan seperti penggalangan dana.

Namun demikian, dampak tentu punya muatan positif dan negatif. Dampak positif tidak usah diperdebatkan dan dicemaskan. Fenomena meniru gaya hidup generasi muda K-Pop terkait budaya konsumtif berlebihan tentu membuat cemas. Misalnya saja membeli merchandise, fashion atau melakukan perawatan fisik demi menyerupai idolanya. Tekanan finansial tentu akan dirasakan, baik bagi diri sendiri dan keluarga. Yang dikhawatirkan menggeser prioritas kebutuhan penting hanya karena mengikuti tren.

Gaya hidup peniruan yang membabi buta bisa memengaruhi cara pandang generasi muda pada identitas dan nilai budaya lokal. Ada kajian menarik pernah dilakukan James F. Eengel, Roger D. Blackwell dan Paul W Miniard (1995). Mereka menyatakan bahwa gaya hidup itu sebuah refleksi nilai yang dianggap penting dalam lingkungan sosial seseorang. Nah, jika nilai yang diutamakan hanya sebatas popularitas, penampilan fisik atau gaya berbusana (ala K-Pop misalnya), generasi muda bisa kehilangan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Lalu muncul kritis identitas, rendahnya rasa percaya diri bila tidak sesuai idolnya. Juga potensi perilaku tidak sehat – misalnya diet ekstrem agar sesuai bentuk tubuh idol K-Pop.

Persepsi generasi dalam memahami budaya yang artifisial saja tentu mencemaskan. Jangan-jangan identitas budaya lokal dan nasional hanya dipahami secara atribut pula? Padahal Indonesia mempunyai ragam budaya yang hebat dan adiluhung. Ini tentu lebih mendebarkan, bukan?

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here