Dalam buku Pengantar Komunikasi Massa saya pernah membahas teori komunikasi massa bernama cultural imperialisme theory (teori imperialisme budaya). Teori itu pernah dikenalkan Herbert Schiller pada tahun 1973 dalamtulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi budaya dunia melalui media massa. Mengapa terjadi? Karena media Barat yang diadopsi media Timur punya muatan-muatan tertentu.
Sebenarnya, inti dari konsep imperialisme budaya yang dikenalkan Schiller berangkat dari gagasan bahwa budaya bisa dijadikan alat dominasi. Bukan lagi soal penjajahan lewat senjata atau kekuasaan politik, tapi lewat aliran informasi, hiburan, dan produk budaya. Negara-negara besar, (sebut saja Amerika Serikat) pada masanya, dianggap menggunakan media massa, film, musik, dan iklan untuk menyebarkan nilai-nilai mereka ke seluruh dunia. Hasilnya, banyak masyarakat di negara lain tanpa sadar mengadopsi gaya hidup, cara berpikir, hingga selera yang seragam dengan “pusat” budaya global itu.
Schiller memberikan contoh ketika film Hollywood, musik pop Barat, atau produk media asing mendominasi, budaya lokal seringkali tersisih. Media menjadi kendaraan utama untuk menanamkan ideologi konsumerisme, individualisme, bahkan pandangan politik tertentu. Masyarakat kemudian terpapar secara terus-menerus dan menganggap apa yang ditonton atau didengar sebagai standar modernitas. Pada kasus tersebut, dominasi budaya menjadi lebih halus namun efektif, karena orang menerimanya tanpa merasa dipaksa.
Imperialisme budaya tak lagi soal hiburan, tapi juga strategi ekonomi dan politik. Dengan membanjiri dunia lewat produk budaya, negara dominan memperluas pasar dan pengaruhnya. Inilah mengapa konsep ini relevan hingga sekarang, dari tren K-Pop yang mengglobal, serial Netflix yang merajai tontonan, hingga gaya hidup ala Barat yang meresap di berbagai belahan dunia. Intinya, budaya tidak lagi sekadar ekspresi, tapi juga alat kekuasaan, bukan?.
Nah, budaya bisa menjadi senjata halus imperialisme. Tidak lagi soal invasi militer. Tidak melulu lewat kolonialisme klasik. Tapi lewat arus informasi, media, hiburan. Budaya populer bisa masuk pelan-pelan, membentuk selera, bahkan menggeser identitas lokal. Inilah yang ia sebut cultural imperialism.
Bagaimana dengan K-Pop?
Sekarang, mari tengok fenomena K-Pop. Musik catchy, koreografi rapi, visual memesona. Lalu dibungkus dengan produksi global kelas atas. K-Pop bukan sekadar musik, tapi ekosistem — ada fashion, kosmetik, bahasa, gaya hidup. Dengan cepat, ia menembus pasar dunia. Dari remaja Seoul, sampai ke seluruh dunia hingga anak-anak SMA di Indonesia.
K-Pop bekerja seperti mesin. Digerakkan agensi raksasa. Dipoles dengan strategi pemasaran digital. Didukung fandom yang loyal. Setiap comeback jadi perayaan global. Album ludes dengat cepat. Merchandise jadi komoditas ekonomi raksasa. Bahkan destinasi wisata Korea ikut terdongkrak.
Namun, di balik gemerlapnya, ada jejak imperialisme budaya. Lagu-lagu berbahasa Korea mendominasi playlist dunia. Bahasa gaul anak muda di berbagai negara ikut tercampur dengan kosa kata K-pop. Selera berpakaian dan tren kecantikan bergeser mengikuti standar idol. Perlahan, batas budaya lokal makin samar.
Fenomena ini memang memberi dampak positif. K-Pop memperkenalkan Korea Selatan ke dunia. Industri kreatif tumbuh pesat. Fans merasa jadi bagian dari komunitas global. Ada rasa keterhubungan, meski berbeda negara.
Tapi di sisi lain, ada bahaya laten. Imperialisme budaya K-Pop bisa menggeser kepercayaan diri anak muda terhadap identitas lokal. Budaya asli dianggap “kurang keren” dibandingkan estetika Korea. Industri lokal kesulitan bersaing karena standar produksi terlalu tinggi. Bahkan, gaya konsumsi yang ditawarkan sering bersifat kapitalistik: streaming tanpa henti, belanja merchandise berulang, mengikuti tren tanpa henti.
Tetap Waspada
Tidak bisa dipungkiri, K-Pop adalah soft power Korea Selatan. Lewat musik, drama, hingga variety show, citra Korea jadi menempel di benak masyarakat global. Pemerintah Korea pun menyadari kekuatan ini. Mereka mendukung penuh industri hiburan sebagai bagian dari diplomasi budaya.
Soft power ini efektif. Orang asing mulai belajar bahasa Korea. Produk Korea naik pamor. Kuliner Korea mendunia. Tapi K-Pop dengan soft power-nya juga bisa jadi alat imperialisme. Karena di baliknya ada dominasi. Bukan sekadar berbagi budaya, melainkan menguasai pasar budaya global.
Lalu apa bahaya imperialisme budaya K-Pop yang terasa? Pertama, homogenisasi budaya. Anak muda dari berbagai negara bisa kehilangan keragaman. Semua ingin meniru idol. Dari gaya rambut, baju, hingga cara berbicara. Budaya lokal tersisih.
Kedua, komersialisasi. Fandom sering didorong untuk konsumsi berlebihan. Album dibeli dalam jumlah, kosmetik dilarisi, tiket konser jadi rebutan, meski harganya selangit. Ini menjadi gejala melanggengkan kapitalisme budaya global.
Ketiga, distorsi identitas. Karena derasnya budaya pop Korea, anak muda bisa merasa “kurang keren” bila tak mengikuti tren K-Pop. Identitas asli jadi terpinggirkan. Inilah bentuk dominasi budaya yang dibungkus hiburan manis. Bahkan dikhawatirkan identitas budaya asli lama kelamaan akan hilang.
K-Pop memang fenomena global yang sulit dibendung. Ia berhasil menyatukan dunia lewat musik, fandom, dan gaya hidup. Tapi jika ditarik ke teori Schiller yang disebut di bagian atas tulisan ini, K-Pop tak lepas dari bayangan imperialisme budaya. Ada dominasi, ada penetrasi, ada pengaruh besar yang menggeser ruang budaya lain.
Maka, penting bagi kita untuk menikmati K-Pop secara sehat. Nikmati musiknya, resapi kreativitasnya, tapi tetap sadar akan identitas lokal. Jangan sampai budaya sendiri tenggelam dalam arus global. K-Pop bisa jadi inspirasi, tapi jangan berubah jadi imperialisme baru yang merampas keragaman dunia. Sudahkah kita siap?