Siapa yang tidak kenal musik Korea sekarang? Era digital sekarang memungkinkan untuk mengenal. Musik itu sudah menjadi fenomena global. Dari jalanan Seoul sampai pusat perbelanjaan di New York, akan ditemukan lagu-lagu BTS, Blackpink, hingga NewJeans diputar.

Yang menarik, fenomena ini bukan sekadar hiburan. Tapi juga bisa dipahami sebagai   alat diplomasi yang serius bagi Korea Selatan (Korsel). Semacam senjata budaya. Menariknya lagi, “senjata” yang mereka pakai bukan rudal atau kapal perang, melainkan musik pop, drama, dan budaya populer lain. Semacam diplomasi budaya.

Diplomasi budaya sendiri  secara sederhana bisa diumpamakan dengan  upaya sebuah negara untuk “berteman” dengan negara lain lewat budaya. Pendapat Milton C. Cummings dalam tulisannya berjudul “Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey. Center for Arts and Culture” bisa dijadikan dasar. Ia menyebut  sebagai “pertukaran ide, informasi, seni, dan aspek budaya lain di antara bangsa-bangsa untuk memupuk saling pengertian.”

Dilembagakan

Sementara itu, Joseph Nye penulis buku Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004) dan seorang tokoh dalam hubungan internasional mengenalkan istilah soft power. Jadi diplomasi budaya itu bisa menjadi soft power. Soft power berarti  kekuatan yang datang bukan dari ancaman, melainkan dari daya tarik. Korsel  membaca peluang ini dengan jeli. Daripada mengandalkan diplomasi formal, mereka memoles citra negara lewat budaya pop yang segar dan mudah dicintai. Diplomasi formal belum tentu kuat dimata negara lain.

- Poster Iklan -

Untuk mewujudkan itu semua pemerintah Korsel membentuk Korea Creative Content Agency (KOCCA). KOCCA dibentuk untuk mendukung industri konten agar bisa menembus pasar global. Angka bantuannya saja tidak main-main. Ekspor konten Korea pernah mencapai US$13,24 miliar pada 2022. Sebuah rekor tertinggi sepanjang sejarah. Bahkan, kontribusi industri kreatif dalam negeri menembus 150 triliun won. Artinya, apa yang awalnya dianggap hiburan remaja kini menjadi “komoditas strategis nasional.”

Selain musik, pemerintah juga mengembangkan jaringan King Sejong Institute. Jaringan itu seperti “British Council versi Korea”. Ia bergerak dengan mengajarkan bahasa dan budaya Korea di luar negeri. Hingga tahun 2023, ada 256 pusat di 88 negara dengan lebih dari 216 ribu siswa (naik 20% dibanding tahun 2022). Bayangkan, setiap orang yang belajar bahasa Korea otomatis lebih dekat dengan lagu, drama, dan budaya negara itu. Inilah diplomasi budaya dalam praktik nyata.

Dampaknya terasa nyata di level publik. Menurut survei Hallyu tahun2024, ada sekitar 70% responden yang pernah bersentuhan dengan budaya Korea (salah satunya K-Pop) menilai K-content secara positif. Artinya, orang-orang bukan hanya sekadar mendengar lagu, tapi juga membentuk citra tentang Korea sebagai negara yang modern, kreatif, dan relevan. Citra semacam ini sulit dibentuk lewat pidato politik, tapi sangat mungkin lewat lagu yang viral di TikTok atau drama yang bikin baper.

Kisah diplomasi K-Pop mencapai puncaknya ketika BTS berbicara di sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2018 bersama UNICEF. Mereka membawa pesan tentang pendidikan dan pemberdayaan remaja. Momen ini seolah menegaskan bahwa idol bukan hanya penyanyi, tapi juga duta nilai. Bayangkan saja jutaan ARMY (sebutan fans BTS) di seluruh dunia menonton pidato itu. Dalam sekejap pesan kemanusiaan menyebar lebih cepat daripada dokumen diplomatik manapun.

Para akademisi pun mencatat fenomena ini. Youna Kim dalam bukunya The Soft Power of the Korean Wave (2021) menekankan bahwa Hallyu—gelombang budaya Korea—bukan sekadar tren sementara. Ia adalah narasi global yang menghubungkan orang dari berbagai latar belakang lewat musik, film, hingga kuliner.

Jadi,  model diplomasi modern ini bukan lagi komunikasi satu arah, tapi dialog. Fans K-Pop yang aktif bikin fan project amal di berbagai negara adalah contoh nyata bagaimana diplomasi budaya berjalan dua arah. Negara menawarkan budaya, publik ikut berkontribusi.

Tentu, tidak semua cerita indah. Ada sisi gelap yang ikut menghantui. Misalnya, sistem kerja idol yang keras, isu kesehatan mental, hingga kritik soal eksploitasi. Tantangan-tantangan ini sering muncul dalam diskusi akademik maupun media. Namun, justru di sinilah letak ujian. Apakah Korea Selatan bisa terus menjaga reputasi positifnya sembari membenahi industri dari dalam? Soft power tidak bisa bertahan kalau fondasi di dalamnya rapuh.

Diplomasi Era Digital

Meski begitu, harus diakui bahwa Korsel berhasil mengubah musik pop menjadi alat diplomasi yang ampuh. Jika dulu diplomasi identik dengan ruang pertemuan resmi, kini ia juga berlangsung di stadion konser, di layar ponsel, bahkan di platform streaming. Dari lightstick yang bersinar di konser internasional hingga kampanye amal yang digerakkan fandom, semua menjadi jembatan emosional antara Korea dan dunia.

Akhirnya, K-Pop membuktikan bahwa diplomasi tidak harus kaku atau formal. Ia bisa hadir dalam bentuk lagu catchy, tarian energik, atau drama penuh emosi. Kalau diplomasi tradisional sering bikin dahi berkerut, diplomasi ala K-Pop justru membuat orang tersenyum, bernyanyi, bahkan ikut menari. Korea Selatan tidak sedang menjual mimpi kosong. Mereka mengundang dunia untuk ikut merasakan budaya mereka. Dan ketika musik berhenti, yang tersisa adalah rasa kedekatan – sebuah modal diplomasi yang jauh lebih tahan lama dibanding sekadar kontrak politik.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here