Dulu, Korea Selatan (Korsel) bukanlah pusat budaya pop dunia. Kondisi ekonominya bahkan pernah goyah. Pada akhir abad ke-20, negara ini sempat mengalami krisis besar. Tahun 1997 pernah ada  krisis finansial Asia, yang mengguncang industri keuangan, manufaktur, dan ekspor. Korsel salah satu negara yang kena dampaknya. Yang sangat dirasakan inflasi meningkat, pengangguran melambung, dan tak sedikit perusahaan gulung tikar. Pemerintah Korea kala itu sibuk menstabilkan mata uang, memperbaiki neraca perdagangan, dan menarik kembali kepercayaan investor asing.

Masuk ke era milenium baru, Korea mulai fokus tak hanya pada industri berat dan teknologi, tapi juga industri kreatif — musik, film, fashion. Di sinilah K-Pop mulai muncul sebagai alternatif harapan. Dari grup-grup kecil, trainee keras, kompetisi bakat, hingga pementasan super megah yang menjangkau audiens global, K-Pop tumbuh menjadi daya dorong ekonomi yang tak bisa diabaikan.

Bangkitnya K-Pop
Momen penting muncul sekitar tahun 2012, ketika PSY (psycho atau psikopat) merilis Gangnam Style. Lagu itu pernah melejit di YouTube. Lalu menjadi viral secara global, dan menandai bahwa musik Korea bisa “menyebar” ke seluruh penjuru dunia.

Seiring waktu, grup-grup seperti BTS, Blackpink, TWICE, Stray Kids, dan lainnya membuktikan bahwa K-Pop tidak cuma “musik lokal” tetapi sudah masuk ke dalam arus utama industri musik global. Mereka menghasilkan jutaan streaming digital.  Albumnya laris manis. Konsernya disambut ribuan bahkan puluhan ribu penggemar dari berbagai negara. Merchandise mereka laku, dan kolaborasi dengan merek (fashion, kosmetik, lifestyle) internasional makin banyak.

- Poster Iklan -

Dampak pada Bidang Ekonomi

Apakah K-Pop menunjang kebangkitan ekonomi Korsel yang pernah terpuruk akibat krisis ekonomi 1997? Tentu ada  beberapa data dan fakta yang menunjukkan seberapa besar K-Pop telah membantu perkembangan ekonomi Korsel.

Pada tahun 2021, ekspor konten Korea (K-content), termasuk musik/K-Pop, mencapai sekitar US$12,45 miliar. Industri musik Korsel sendiri (termasuk K-Pop) mencatat penjualan yang sangat tinggi. Album, streaming, konser, merchandise, dan semua kegiatan terkait menjadi kontribusi penting. BTS saja diperkirakan telah menyumbang hampir US$4,9 miliar per tahun untuk ekonomi Korea, lewat kombinasi ekspor, konsumsi domestik, pariwisata, dan endorsement.

K-Pop dan budaya pop Korea lainnya (sering disebut hallyu wave) memicu pertumbuhan pariwisata. Misalnya sebelum pandemi, Korsel menarik sekitar 17,5 juta wisatawan pada 2019. Banyak orang datang karena tertarik dengan budaya K-Pop, drama, makanan, fashion.

Sebagai perusahaan industri kreatif, agen  besar K-Pop (misalnya HYBE, SM, YG, JYP) juga memperluas usahanya (dari musik ke video, konser, merchandise, endorsement, kolaborasi brand). Industri pendukung seperti fashion, kosmetik, pariwisata, media siaran, dan wisata budaya ikut terdongkrak. Dalam satu laporan misalnya, K-Pop dan konten budaya Korea lain menyumbang 0,3% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Korsel melalui BTS sebagai bagian dari keseluruhan kontribusi ekspor budaya.

Jadi Mesin Ekonomi
Beberapa aspek membuat K-Pop bukan sekadar hiburan, tapi juga “mesin ekonomi”.  Ekspor konten budaya (Cultural Exports) seperti lagu, video musik, konser luar negeri, tayangan online/livestream, barang dagangan (merchandise) menghasilkan devisa.

Banyak penggemar (fandom) pula yang berkunjung ke Korea untuk konser, tur lokasi syuting video musik, melihat kampus-agensi, mengikuti festival budaya, atau sekadar ingin merasakan suasana budaya pop Korea secara langsung. Tentu ini berdampak pada ekonomi Korsel.

Lalu ada pula meningkatnya industri akibat dampak K-Pop. Sebut saja misalnya fashion (pakaian, rias, gaya rambut), kosmetik, makanan, lifestyle, bahkan pelatihan dance dan bahasa Korea. Kalau idol K-Pop memakai produk tertentu, permintaan produk itu bisa melonjak. Itu semua berkorelasi erat dengan peningkatan ekonomi.

Dampak lain ada peran idol yang mulai dikenal. Idol ini langsung atau tidak menyumbang ke bidang ekonomi. Artis K-Pop sering menjadi wajah iklan merek internasional atau lokal, yang membuat merek Korea semakin dikenal dan barang dagangannya makin laris.

Yang tidak bisa dipandang rendah adalah dukungan pemerintah.  Kebijakan pemerintah Korea juga mendukung pengembangan konten kreatif lewat subsidi, promosi budaya luar negeri, lembaga-pengatur budaya, dana kreatif, promosi pariwisata. Pemerintah menganggap K-Pop sebagai bagian dari soft power yang dapat memperkuat citra nasional, meningkatkan ekspor produk budaya & barang konsumsi, sekaligus menarik wisatawan dan investor.

Tantangan
Namun dibalik pertumbuhan yang membanggakan itu juga ada tantangan. Tekanan psikologis dan fisik pada idol atau trainee, jadwal padat, standar kecantikan yang sangat tinggi. Lalu mulai bermunculan banyak grup baru bermunculan terus-menerus membuat persaingan semakin sengit. Ada juga fluktuasi pasar global (misalnya pandemi COVID-19), pembatasan perjalanan, hak cipta, kontroversi atas pembayaran, royalti, dan hak pekerja di industri hiburan. Termasuk pula ketergantungan yang cukup besar pada beberapa grup besar (seperti BTS) bisa berdampak besar ke ekonomi konten.

Lpas dari itu, K-Pop telah berubah dari sekadar genre musik menjadi fenomena budaya global yang punya efek domino ke ekonomi. Dari situasi ekonomi Korsel yang pernah terpuruk, K-Pop muncul sebagai alternatif strategi ekspor budaya, memperkuat soft power, dan membuka banyak lapangan usaha. Usaha seperti industri hiburan, pariwisata, fashion, kosmetik, iklan jelas kena dampaknya.

Dengan data yang menunjukkan ekspor konten mencapai puluhan miliar dolar, dengan grup-grup seperti BTS menyumbang miliaran sendiri, jelas bahwa K-Pop bukan sekadar hiburan. Ia adalah salah satu mesin penggerak ekonomi modern Korsel.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here