“Di negeri yang katanya demokratis, suara pesimisme rakyat justru sering dicurigai sebagai agenda busuk. Tagar #KaburAjaDulu lahir dari kekecewaan, tapi dibalas tuduhan: katanya dibiayai para koruptor.”

Realita Pahit di Balik Tagar #KaburAjaDulu

Tagar #KaburAjaDulu ramai digaungkan di media sosial, bermula dari rasa jengah dan pesimisme rakyat yang makin merasa taraf hidup sejahtera di negeri tercinta ini makin sulit digapai.

Mencari kerja saja sudah jadi tantangan: syarat usia dan kualifikasi sering di luar logika, bahkan kadang di luar prediksi BMKG. Belum lagi fenomena the power of orang dalam yang membuat banyak pencari kerja harus gigit jari. Urusan surat-menyurat pun bikin ribet dan menguras biaya, bahkan sebelum tahu diterima kerja atau tidak.

Kalaupun lolos, seringkali gaji dan beban kerja tidak seimbang. Karyawan dipaksa lembur dengan jam kerja yang tidak masuk akal, tapi upahnya jauh dari layak. Tak heran muncul candaan getir di kalangan warganet: “Realita kerja di negara +62: kerja serius, gaji bercanda.”

- Poster Iklan -

Tentu bukan cuma soal sulitnya cari kerja. Banyak WNI akhirnya memilih berkarier di luar negeri karena taraf hidup di sana dinilai lebih menjamin: akses pendidikan dan kesehatan lebih terjamin, birokrasi lebih sederhana, dan peluang kerja dengan gaji yang sepadan lebih terbuka.

Tak sedikit pula yang akhirnya berganti paspor menjadi warga negara asing demi hidup yang lebih pasti. Bagi mereka yang hobi bepergian, paspor Indonesia pun sering bikin repot karena harus bolak-balik urus visa ke berbagai negara. Bandingkan dengan paspor negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang punya peringkat jauh lebih kuat—warga mereka bisa masuk lebih banyak negara tanpa visa, sehingga urusan kerja atau liburan ke luar negeri jauh lebih praktis.

Ketika Pesimisme Rakyat Malah Dianggap Hasutan Koruptor

Bagi sebagian orang di lingkar kekuasaan, tagar #KaburAjaDulu dianggap lebih dari sekadar curhatan rakyat lelah. Suara pesimisme ini dicurigai sebagai bentuk hasutan, seolah ada dalang di balik layar yang sengaja membiayai agar rakyat berhenti percaya dan makin sinis pada negara.

Padahal kenyataannya jauh lebih sederhana: orang-orang pesimis karena hidup makin sulit. Harga kebutuhan pokok naik, gaji stagnan, lapangan kerja makin sempit, birokrasi ribet, korupsi jalan terus. Semua itu sudah cukup jadi alasan kenapa rakyat kehilangan harapan—tanpa perlu ada “koruptor” yang membisiki.

Ironisnya, pemerintah kadang terkesan playing victim. Mereka getol menggaungkan narasi: “Indonesia tuh cerah, nggak gelap. Tagar Kabur Aja Dulu itu siasat para koruptor!” Tapi di saat yang sama, mereka seolah lupa mendengar suara pesimisme rakyat yang makin kecewa dengan kebijakan yang sering nyeleneh dan nggak tepat sasaran. Rakyat pun sering bertanya-tanya sendiri: “Ini kebijakan buat rakyat, atau buat para pejabat?”

Janji-janji indah masa kampanye pun makin terdengar hambar. Dulu katanya mau membuka 19 juta lapangan kerja, pembangunan merata, kesejahteraan meningkat. Nyatanya, kabar soal makin maraknya premanisme justru membuat investor kabur,  dan mimpi 19 juta lapangan kerja pun semakin jauh dari kenyataan.

Lucunya, yang bikin rakyat pesimis malah terus merasa paling pantas bicara soal harapan. Padahal rakyat cuma mau bilang satu hal sederhana: “Kalau benar peduli, buktikan. Jangan cuma tuduh.”

Dari TKI sampai Mahasiswa, Semua #KaburAjaDulu

Kalau mau jujur, #KaburAjaDulu bukan cuma celoteh iseng di media sosial. Buktinya, setiap tahun jutaan WNI berbondong-bondong kerja atau kuliah di luar negeri. Dari TKI di sektor informal sampai mahasiswa pemburu beasiswa, semua rela jauh dari keluarga, kampung halaman, bahkan kadang rela melepas kewarganegaraan—demi satu hal: hidup yang lebih layak.

Bagi mahasiswa, beasiswa luar negeri bukan cuma ticket belajar gratis. Di sana, fasilitas pendidikan sering jauh lebih mendukung: lab riset memadai, dosen responsif, birokrasi kampus simpel. Begitu lulus, peluang kerja pun lebih luas. Tak heran banyak yang awalnya hanya niat kuliah, akhirnya justru menetap, menikah, lalu berganti paspor.

Bagi pekerja migran, peluang di luar negeri sering lebih pasti ketimbang di kampung sendiri. Gaji buruh pabrik di Taiwan, Korea, Jepang, atau Australia bisa berkali lipat dibandingkan upah minimum di Indonesia. Pekerjaan yang di tanah air sering diremehkan—seperti jadi asisten rumah tangga atau pekerja kebun—di luar justru dihargai layak, lengkap dengan asuransi dan jaminan kesehatan.

Ironi nya, cerita sukses para TKI dan mahasiswa di luar negeri sering dijadikan kebanggaan saat pulang kampung. Padahal akar masalahnya jarang benar-benar diakui: kalau negeri sendiri bisa menjamin hidup layak, siapa juga yang mau pergi jauh meninggalkan rumah?

Yang lebih pahit, jalan kabur ini kadang jadi ladang penipuan. Tak sedikit warga yang tertipu iming-iming lembaga penyalur kerja ilegal. Banyak dari mereka terjebak hutang penempatan, visa palsu, kerja paksa, bahkan pulang tinggal nama. Meski begitu, risiko sebesar itu tetap diambil, karena bagi sebagian orang, mimpi hidup sejahtera di negeri orang terasa lebih nyata dibanding mimpi di tanah sendiri.

Penutup

Tagar #KaburAjaDulu mungkin terdengar lucu, tapi di baliknya ada realita getir. Ketika hidup layak terasa mustahil di rumah sendiri, pergi jauh jadi satu-satunya cara bertahan. Sayangnya, alih-alih mendengar alasan kenapa rakyat mau pergi, pemerintah justru sibuk bermain narasi: menuduh, menuding, seolah pesimisme ini direkayasa para koruptor.

Padahal kalau benar peduli, seharusnya suara pesimisme ini dijawab dengan kerja nyata, bukan sekadar slogan optimis yang retak di jalan. Karena rakyat tidak pernah minta muluk-muluk—hanya ingin hidup aman, kerja wajar, birokrasi masuk akal, dan janji-janji lama yang benar-benar dibuktikan.

Kalau saja pemerintah mau sedikit membuka hati dan telinga untuk mendengar dan merasakan realita di lapangan. Mereka yang sudah kabur aja dulu ke luar negeri untuk sekadar bekerja atau kuliah, atau bahkan yang memilih menetap di sana, bukan serta-merta berarti tidak nasionalis atau terlalu memuja negara lain. Mereka hanya ingin lewat #KaburAjaDulu, pemerintah mau lebih terbuka menyediakan fasilitas, merumuskan kebijakan yang benar-benar pro rakyat, dan mengeksekusinya tanpa “tilep” di sana-sini.

Dan nyatanya, tidak sedikit dari mereka yang setelah selesai studi di luar negeri justru pulang kampung dan berkontribusi untuk tanah kelahirannya. Karena seperti penggalan lagu lama: “Tanah air tidak akan kulupakan, walaupun saya pergi jauh, tidakkan hilang dari kalbu.”

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here