Entah sudah berapa puluh kali saya selalu bilang, “Untuk menjadi pintar itu gampang. Banyak baca buku. Lalu wawasan bertambah. Bahan-bahan disimpan dalam otak. Suatu saat tinggal dikeluarkan. Jadi tidak usah heran dengan orang yang bicara berisi, runtut, berbobot, memotivasi atau apapun. Kuncinya hanya satu. Membaca. Bagaimana mungkin orang akan kelihatan cerdas berbicara jika tanpa membaca? Kalaupun pintar berbicara tidak berisi”.

Dulu, banyak dari kita (termasuk saya) percaya kalau “pintar” itu bawaan lahir. Seolah-olah ada orang-orang tertentu yang sejak kecil sudah dikasih otak super. Mudah menangkap penjelasan, bisa ngomong runtut, atau nulisnya mengalir kayak air. Tapi makin sering saya membaca, makin saya sadar bahwa kecerdasan itu bukan anugerah spesial. Itu hasil kebiasaan. Apa kebiasaan paling sederhana yang bisa mengubah hidup? Membaca.

Saya ingat sekali waktu kecil. Bapak rutin membelikan saya majalah anak setiap bulan. Bahkan  di rumah berlangganan majalah anak-anak Sahabat. Waktu itu, saya cuma menganggap membaca sebagai hiburan. Saya menikmati ceritanya tanpa sadar kalau kebiasaan itu pelan-pelan menumbuhkan dua pelajaran yakni rasa ingin tahu dan kemampuan menyerap informasi. Tanpa saya sadari, rutinitas membaca itulah yang membentuk cara saya berpikir hingga hari ini.

Saat dewasa, barulah saya paham kenapa orang yang rajin membaca terkesan selalu “lebih unggul”. Bukan cuma karena mereka punya banyak pengetahuan. Tetapi karena mereka terbiasa merangkai ide, memahami sudut pandang orang lain, dan mengolah kata dengan baik. Membaca bikin pikiran kita lentur. Terbuka. Banyak wawasan. Kaya ide.  Dan kelenturan itulah modal penting untuk terlihat “lebih pintar”.

- Poster Iklan -

Sayangnya, masih banyak orang menganggap membaca itu berat. “Nanti dulu,” katanya. Atau alasan klasik pua, “Nggak ada waktu.” Padahal, setiap hari kita diserbu informasi, bukan? Misalnya dalam bentuk potongan pendek dalam  judul berita, caption, video 10 detik. Semua itu tidak  cukup untuk membangun pemikiran yang dalam. Kalau diibaratkan menabung, membaca itu seperti deposito. Hasilnya? Tentu tidak  kelihatan setiap hari. Tapi efeknya di masa depan.

Saya sering ditanya mahasiswa atau pembaca tulisan-tulisan saya, “Pak, kok bisa nulisnya renyah dan rapi begitu?” atau “Kok bisa mengerti banyak hal?” Jawaban saya selalu sama. Bukan karena saya lebih pintar, tapi karena saya lebih rajin membaca. Ke mahasiswa saya juga sering mengatakan, “Kalian mungkin lebih pintar dari saya sebagai dosen. Itu sangat mungkin. Tetapi saya lebih unggul. Kenapa? Karena saya belajar lebih dahulu”. Membaca itu seperti mengisi gudang ide. Tulisan yang enak dibaca lahir dari gudang yang penuh. Tidak ada penulis hebat yang tidak pernah jadi pembaca “rakus”.

Ada masa ketika saya sering ikut diskusi mahasiswa. Di kampus saya (Universitas Sebelah Maret/UNS) ada kelompok diskusi namanya FODISMA (Forum Diskusi Mahasiswa). Saya cuma duduk sebagai pendengar. Setiap mau angkat tangan, saya ragu, karena merasa bekal pengetahuan saya belum cukup. Dari situ saya sadar, kalau ingin bisa berpendapat, saya harus memperkuat isi kepala. Maka saya membaca apa pun. Cerita fiksi, nonfiksi, filsafat ringan, buku sosial, keagamaan, sampai buku-buku komunikasi. Teman saya mungkin cukup sekali baca untuk paham. Nah saya butuh dua atau tiga kali. Saya hanya menikmati saja. Tidak apa-apa lama memahami. Yang penting membaca jalan terus.

Membaca bukan cuma bikin lebih tahu, tapi juga bikin  lebih percaya diri. Ketika seseorang  paham konteks, ia tidak  gampang terbawa arus. Ia jadi lebih kritis. Lebih hati-hati sebelum mengangguk, dan lebih kebal dari hoaks. Sebut saja ada semacam keteguhan dalam diri orang yang terbiasa membaca. Keteguhan yang bikin mereka lebih kokoh menghadapi dunia yang bising ini.

Dan, percaya atau tidak, kebiasaan membaca juga memengaruhi cara kita mengambil keputusan. Orang yang jarang membaca biasanya ingin semuanya serba cepat dan instan. Sama seperti lebih memilih berutang daripada menabung. Padahal membaca itu tabungan paling murah namun paling menguntungkan. Pengetahuan yang kita simpan hari ini bisa jadi baru terasa manfaatnya bertahun-tahun kemudian.

Saya sendiri berkali-kali merasakan manfaat itu. Pernah, naskah buku  saya hilang bersama laptop yang dicuri. Itu saat saya tinggal mudik ke Yogya. Tidak tanggung-tanggung dua kali saya kehilangan laptop. Lewat pintu atas. Belakang saya masih area persawahan.

Saya harus mulai dari nol, tapi tidak terlalu hancur hati. Kenapa? Karena bacaan saya selama bertahun-tahun tidak ikut hilang. Semua pengetahuan itu sudah tertanam dalam kepala. Meskipun sedikit. Minimal bisa untuk membuat outlline kembali. Buku-buku yang saya baca jadi cadangan energi yang tidak pernah benar-benar habis.

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan sederhana. Pintar itu bukan soal IQ tinggi atau sekolah mahal. Pintar itu soal kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus. Membaca membuka begitu banyak pintu. Cara berpikir, cara menulis, cara berbicara, cara memahami orang lain, hingga cara melihat dunia dengan lebih jernih. Kalau ada satu kebiasaan yang bisa mengubah hidup, membaca adalah salah satunya.

Siapa pun bisa jadi pintar, asal mau membaca. Buku memang jendela dunia. Tapi cuma kita yang bisa memilih untuk membuka jendela itu seluas-luasnya. Pernyataan ini sudah puluhan kali saya kemukakan dalam tulisan atau pembicaraan. Sama dengan membaca. Seseorang tak boleh bosan.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here