Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal terakhir mencapai 5,12% secara tahunan (year on year). Angka ini dinilai cukup positif, bahkan menjadi sinyal bahwa ekonomi Indonesia tetap tangguh di tengah ketidakpastian global. Namun, di sisi lain, publik mempertanyakan validitas dan relevansi angka tersebut dengan kenyataan sehari-hari.
Pasalnya, banyak masyarakat justru merasakan hal sebaliknya: daya beli menurun, harga kebutuhan pokok meningkat, pengangguran masih terasa, dan peluang usaha semakin sempit. Muncul pertanyaan kritis: Apakah data pertumbuhan ekonomi itu benar-benar mencerminkan realitas kehidupan rakyat? Ataukah ini hanyalah angka-angka makroekonomi yang menjauh dari kondisi riil masyarakat?
Antara Statistik dan Realitas Sosial
Secara teknis, pertumbuhan ekonomi 5,12% diukur dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu total nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam periode tertentu. Angka ini memang penting sebagai indikator makroekonomi. Tapi perlu diingat, pertumbuhan PDB tidak otomatis berarti kesejahteraan masyarakat meningkat.
Misalnya, jika PDB meningkat karena sektor tambang atau ekspor sawit yang dinikmati oleh segelintir kelompok, maka pertumbuhan tersebut tidak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas. Apalagi jika sektor-sektor rakyat kecil seperti pertanian, UMKM, atau perdagangan lokal justru stagnan atau menurun.
Kejanggalan dalam Narasi Pertumbuhan
Ada beberapa poin kejanggalan yang patut dicermati dari klaim “ekonomi tumbuh 5,12%”:
-
Daya Beli Menurun:
Meski ekonomi diklaim tumbuh, banyak survei menunjukkan daya beli masyarakat justru menurun. Kenaikan harga pangan, transportasi, dan biaya hidup lainnya membuat rakyat semakin berhati-hati dalam berbelanja. -
Lapangan Kerja Masih Terbatas:
Jika ekonomi benar tumbuh pesat, seharusnya dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja. Namun kenyataannya, banyak lulusan baru menganggur, pekerja informal meningkat, dan fleksibilitas kerja makin tidak pasti. -
Utang dan Konsumsi:
Salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga. Tapi ironisnya, konsumsi ini banyak yang dibiayai oleh utang pribadi, bukan peningkatan pendapatan riil. Artinya, ekonomi tumbuh di atas fondasi yang rapuh. -
Kesenjangan Ekonomi:
Pertumbuhan ekonomi tidak selalu merata. Bisa jadi hanya dinikmati segelintir elite bisnis atau konglomerat, sementara masyarakat kelas bawah tetap bergelut dengan harga sembako dan penghasilan harian yang tak menentu.
Kritik terhadap Metodologi
Selain substansi, kritik juga muncul terhadap metodologi dan akurasi data BPS. Banyak yang mempertanyakan bagaimana data dihimpun, indikator mana yang paling dominan, dan apakah ada intervensi atau manipulasi dalam pelaporan data ekonomi.
BPS memang lembaga resmi dan memiliki metode standar, namun dalam iklim politik yang penuh pencitraan, tidak sedikit yang meragukan netralitas data. Di era media sosial dan keterbukaan informasi, masyarakat lebih kritis dan tidak lagi mudah percaya pada angka statistik tanpa bukti nyata di lapangan.
Jangan Terbuai Angka
Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% yang diklaim BPS seharusnya menjadi kabar baik. Namun, ketika angka tersebut tidak selaras dengan realitas masyarakat yang justru semakin sulit, kita perlu lebih kritis. Apakah pertumbuhan itu bersifat semu? Apakah manfaatnya hanya dirasakan oleh kelompok terbatas?
Penting untuk meninjau kembali cara kita membaca dan menilai data. Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan hanya soal angka tinggi, tapi juga soal pemerataan, daya beli, lapangan kerja, dan peningkatan kualitas hidup rakyat. Karena pada akhirnya, ekonomi bukan sekadar urusan tabel dan grafik—tapi soal perut rakyat, dompet ibu rumah tangga, dan masa depan generasi muda.