Di padang rumput Andalusia yang hijau terbentang, angin senantiasa berhembus membawa bisikan jauh dari cakrawala. Di sanalah hidup seorang anak gembala bernama Santiago. Wajahnya masih muda, namun matanya menyimpan kerinduan yang tak bisa dipadamkan. Ia lebih memilih menggembala domba daripada duduk di bangku seminari seperti yang diharapkan kedua orang tuanya. Baginya, kawanan domba bukan sekadar hewan; mereka adalah sahabat sekaligus tiket menuju dunia yang luas. Bersama mereka ia menapaki bukit, lembah, dan desa, seolah setiap perjalanan adalah halaman baru dari kitab kehidupan.

Namun, di balik keindahan itu, sebuah kegelisahan diam-diam bertumbuh. Setiap kali ia tidur di bawah pohon ara raksasa di reruntuhan gereja tua, mimpi yang sama selalu datang menghampiri. Dalam mimpi itu, seorang anak kecil menggandeng tangannya, menuntunnya menyeberangi lautan pasir hingga ke kaki piramida Mesir. Anak itu lalu berkata lirih, seakan sebuah janji surgawi: “Jika kau datang ke sini, kau akan menemukan harta karun yang terpendam.”

Mimpi itu menghantui sekaligus menggoda. Santiago mulai merasakan bahwa mungkin semesta sedang memanggilnya. Dan panggilan itu kian jelas ketika di alun-alun Tarifa ia bertemu seorang raja tua misterius bernama Melkisedek. Sang raja bukan sembarang orang; ia berbicara dengan wibawa yang membuat hati Santiago bergetar. Ia berkata tentang Legenda Pribadi—takdir tertinggi yang dituliskan semesta untuk setiap jiwa. Lalu ia berbisikkan kalimat yang kelak terpatri di benak Santiago seumur hidup: “Ketika kau benar-benar menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan berkonspirasi membantumu mencapainya.”

Untuk menjawab panggilan itu, Santiago tahu ia harus berkorban. Ia menjual seluruh dombanya—sahabat yang menemaninya dalam suka dan duka. Melepaskan mereka bagaikan merobek separuh hatinya. Namun ia sadar, zona nyaman hanya akan menjebaknya dalam lingkaran yang sama. Dengan hati berdebar antara takut dan harap, ia membeli tiket kapal dan menyeberangi selat menuju Tangier, Maroko.

- Poster Iklan -

Tangier menyambutnya dengan warna-warna asing: aroma rempah yang menusuk hidung, sorak para pedagang, dan teriakan pasar yang riuh memekakkan telinga. Namun sukacita awalnya segera runtuh. Seorang pemuda yang tampak ramah menipunya dan membawa kabur seluruh koin emas yang ia miliki. Sekejap saja, Santiago berdiri di negeri asing tanpa uang, tanpa bahasa, tanpa siapa pun. Apa yang dikatakan Sang Raja kini terdengar seperti lelucon kejam: apakah ini bentuk konspirasi semesta?

Santiago sempat hampir menyerah. Ia duduk di sebuah lapangan, menahan lapar dan rasa hina, hampir percaya bahwa mimpinya hanyalah kebodohan. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada suara kecil yang menolak padam. Ia bukan korban; ia adalah seorang petualang yang sedang diuji. Maka ia bangkit dan mulai mencari jalan.

Takdir menuntunnya ke sebuah toko kristal di puncak bukit. Pemiliknya seorang pria tua, hidup terkungkung rutinitas, tanpa gairah, tanpa cita-cita. Toko itu suram, kaca-kaca kristalnya tertutup debu. Pria itu, meski pernah bercita-cita berhaji ke Mekah, memilih menunda mimpinya selamanya. Ia lebih nyaman memelihara bayangan Mekah dalam pikiran ketimbang menanggung risiko benar-benar berangkat.

Santiago pun bekerja di sana hampir setahun. Hari-harinya diisi dengan membersihkan kristal, melayani pelanggan, hingga menyusun ide-ide baru yang menghidupkan kembali toko sepi itu. Ia belajar bahasa Arab, seni berdagang, dan arti ketekunan. Lambat laun, uangnya terkumpul hingga cukup untuk membeli dua belas kali lipat dombanya dahulu. Tapi justru di sanalah ia menghadapi persimpangan besar: apakah ia akan pulang dengan aman, atau melanjutkan perjalanan menuju takdir yang belum pasti?

Hati kecilnya berbisik: pulang berarti mengkhianati mimpi. Maka ia memilih melangkah maju. Ia membeli seekor unta dan bergabung dengan kafilah besar yang menyusuri padang pasir.

Gurun menyambutnya dengan kesunyian yang menakutkan sekaligus agung. Siang begitu terik membakar kulit, malam begitu dingin menusuk tulang. Namun gurun bukan sekadar tanah kosong; ia adalah guru. Dari seorang penunggang unta bijak, Santiago belajar filosofi sederhana: “Fokuslah pada hari ini. Mengkhawatirkan esok hanya akan menguras tenaga. Di gurun, itu bisa membunuhmu.”

Akhirnya mereka tiba di Oasis Al-Fayoum, surga hijau di tengah lautan pasir. Di sanalah Santiago menghadapi ujian terberat: cinta. Di tepi sumur ia berjumpa Fatimah, gadis gurun dengan senyum yang menyingkap langit di dalam hatinya. Dalam sekejap, ia merasakan bahasa universal yang disebut Jiwa Dunia—bahasa yang lebih tua dari kata-kata. Harta karun dan piramida pun mendadak terasa sepele dibandingkan senyuman Fatimah.

Namun, cinta sejati tidak pernah mengikat. Fatimah dengan lembut berkata: “Pergilah, kejar legenda pribadimu. Cinta sejati tak pernah menahan seseorang dari takdirnya. Jika kau kembali, aku akan menunggumu.” Kata-katanya membebaskan sekaligus meneguhkan langkah Santiago.

Ketika ia membaca pertanda—dua elang bertarung di langit—ia memperingatkan orang-orang tentang serangan musuh. Ramalannya terbukti benar, dan dari situlah pertemuannya dengan Sang Alkemis bermula. Bukan kakek renta seperti dalam bayangannya, melainkan penunggang kuda agung yang penuh wibawa. Sang Alkemis menuntunnya lebih jauh, mengajarkan bahwa racun terbesar manusia adalah rasa takut. “Katakan pada hatimu,” katanya, “bahwa rasa takut akan penderitaan jauh lebih buruk daripada penderitaan itu sendiri.”

Petualangan mereka mencapai puncak ketika Santiago ditawan prajurit gurun. Untuk membuktikan dirinya, ia diberi waktu tiga hari untuk mengubah dirinya menjadi angin. Itu tantangan mustahil. Namun di puncak keputusasaan, Santiago berbicara kepada gurun, kepada angin, kepada matahari, hingga akhirnya kepada Sang Pencipta. Dari percakapan batin itu, ia menyadari kebenaran terdalam: jiwa manusia dan jiwa dunia adalah satu. Ia tidak perlu meminta—ia hanya perlu menjadi. Maka badai pasir raksasa bangkit, menyelimuti perkemahan. Saat badai reda, Santiago berdiri di seberang, satu dengan Jiwa Dunia.

Akhirnya ia tiba di Piramida Mesir. Dengan gemetar ia menggali pasir di kaki monumen agung itu, meyakini bahwa mimpinya akan segera terwujud. Namun takdir kembali mengujinya. Sekelompok perampok datang, merampas semua yang ia miliki, bahkan memukulinya hingga hampir pingsan. Sang pemimpin perampok menertawakannya dan berkata bahwa ia sendiri juga pernah bermimpi berulang kali: tentang sebuah gereja tua di Spanyol, dengan pohon ara di dalamnya. Di sanalah, katanya, tersimpan harta karun. Namun ia menutup mimpinya dengan sinis: “Aku tidak sebodoh itu mempercayai mimpi.”

Perampok itu pergi, meninggalkan Santiago terkapar. Namun alih-alih menangis, Santiago justru tertawa keras. Kini segalanya jelas. Harta karun itu bukan di Mesir, melainkan di tempat perjalanannya bermula. Alam semesta memang berkonspirasi, tapi dengan cara yang penuh teka-teki.

Ia harus kehilangan segalanya di Tangier untuk belajar bangkit. Ia harus bekerja di toko kristal untuk memahami kesabaran. Ia harus mencintai Fatimah untuk mengerti makna cinta sejati. Ia harus berguru pada Sang Alkemis untuk menemukan keberanian. Dan ia harus dipukuli di kaki piramida, agar bisa mendengar petunjuk terakhir dari mulut seorang perampok.

Dengan hati penuh keyakinan, Santiago kembali ke Andalusia. Di bawah pohon ara di gereja tua, ia menggali tanah. Tangannya bergetar ketika menemukan sebuah peti tua berisi koin emas dan batu permata. Tangisnya pecah, bukan karena emas, melainkan karena kesadaran yang membanjiri jiwa: ia telah menuntaskan Legenda Pribadinya.

Namun, harta terbesarnya bukanlah emas di dalam peti. Kekayaan sejatinya adalah kebijaksanaan yang terukir dalam perjalanan, keberanian untuk melangkah, dan Fatimah yang menantinya di Oasis.

Ia pun belajar pelajaran terakhir: terkadang, manusia harus mengelilingi dunia hanya untuk menyadari bahwa harta yang paling berharga sesungguhnya telah terkubur di halaman rumah sendiri. Tetapi tanpa keberanian untuk memulai perjalanan, harta itu akan selamanya terkubur, tak tersentuh, dan tak pernah dimiliki.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here