Lagu Bugis tengah mengalun dari speaker besar di kolong rumah Puang Aji, saat ibu-ibu sibuk salaman pamit sambil mengangkat ponsel. Beberapa menyiarkan langsung lewat facebook sambil berusaha mengatupkan bibir. Malam itu, tak satu pun mata kamera menangkap wajah mempelai perempuan. Mappacci berlangsung tanpa Uni.
Lima belas menit setelah azan Magrib, tiga ratus meter dari rumah Puang Aji, ditemani motor tua yang sudah dua kali mogok, seorang lelaki berdiri dengan kepala sedikit menunduk, mengawasi ponselnya yang dari tadi bergetar pelan tanpa dering.
Sapar, lelaki pendiam yang tak pernah diundang ke hajatan, tapi selalu tahu kapan harus datang. Ia hanya muncul kala Uni butuh pertolongan. Tentu, kedatangannya bukan bermaksud bertamu dan mengucapkan selamat. Ia datang karena memenuhi satu panggilan sekaligus permintaan: “Kita ke Selatan Malam Ini”.
Mereka berdua akhirnya menjauh dari Makassar saat jam dinding di rumah Puang Aji belum sempat mencapai angka tujuh. Tanpa helm, tanpa peta, dan tanpa tujuan, skuter metik 2013 Sapar itu hanya terus melaju ke arah Selatan.
“Singgah nanti. Aku mual.” Suara itu samar, tapi akhirnya Uni bicara dari jok belakang.
Sapar hanya mengangguk, tanpa pertanyaan atau sanggahan. Sejak menerima pesan singkat dari Uni, ia langsung paham bahwa pelarian malam ini bak tembakan frontal ke arah Pangeran Austria, pemantik letusan perang dunia. Tentu itu bukan hal yang nyaman untuk dibayangkan, tetapi sekali lagi, Sapar masihlah Sapar.
Beberapa pemuda di perempatan sempat melihat Sapar membawa Uni. Sehingga Ia pun berasumsi, namanya pasti akan disebut-sebut dalam rapat keluarga, sebagai alasan mengapa pernikahan batal, pesta rusak, dan harga diri hancur. Dan, ia menerima peran itu, dengan patuh yang nyaris religius.
Di Jeneponto, langit selalu terasa seperti langit paling cantik seantero Sulawesi. Sapar senang melihat bulan tergantung malas di tengah perpaduan biru gelap langit dan laut yang terhampar. Di sanalah Uni muntah pertama kali, di atas baliho bekas, tepat di wajah parlente calon gubernur yang senyumnya mulai luntur karena hujan.
“Masuk angin,” kata Uni singkat.
Sapar mengulurkan minyak kayu putih, tapi Uni hanya duduk termangu di atas batu besar sambil mengusap perutnya pelan-pelan. Ada sesuatu dalam gerakan itu yang membuat Sapar ingin bertanya, tapi tak pernah cukup berani.
“Ke mana kita?” tanyanya akhirnya, pelan.
“Selatan,” jawab Uni. “Selalu.”
Sapar tidak lanjut bertanya. Ia segera memutar kunci, menyalakan motor dengan dua kali hentakan, dan seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, ia selalu siap melakoni sebuah peran, bahkan jika itu tanpa dialog sekali pun.
Di jalan, desir angin lebih nyaring dari suara mesin motornya. Tetap saja tak ada obrolan, tak ada candaan, hanya aroma garam yang makin menguar dan mulai terasa di tenggorokan. Perjalanan ini tidak seperti pelarian mereka dahulu: penuh tawa, nyanyian lagu-lagu Naif, membeli dan berbagi kacang rebus, hingga cerita soal mimpi-mimpi aneh sewaktu demam. Bahkan ketika lampu jalan sudah mulai redup dan deretan ruko berganti barisan hutan karet, mereka tetap menjalani pelarian ini tanpa percakapan.
Mereka tiba di sebuah vila tua di dekat Pantai Apparalang sebelum fajar. Gerbang besinya setengah terbuka. Terlihat bangunan dengan cat tembok mengelupas, dan terasnya yang dijalari rumput liar. Seorang lelaki, berkemeja kotak-kotak dan sarung dililit asal-asalan, berdiri di depan pintunya. Wajah itu familiar. Namanya, dulu hanya muncul dalam gosip di WhatsApp grup alumni.
“Saya di sini saja,” kata Sapar.
Uni sama sekali tak menoleh ke arahnya. Ia hanya berjalan mendekat ke arah lelaki itu, langkah yang tak tergesa. Lalu dalam sekedipan mata, jarak mereka menghilang.
Sapar mematung di atas motor, mencoba tak mendengar apa pun. Namun angin pantai tak hanya membawa asin, tapi juga potongan percakapan yang terlalu pelan untuk diuraikan, sekaligus terlalu sakit untuk diabaikan. Ia tahu rumor hubungan Uni dengan lelaki itu, sebagaimana ia tahu cerita lelaki idaman yang suka gonta-ganti pacar waktu SMA.
Sapar menggenggam erat pelungkunya, lalu melepasnya perlahan. Dalam dadanya, ia merasa seperti pahlawan yang baru saja menuntaskan misi mulia—sekaligus harus dihukum pancung karenanya. Ia sontak menghitung-hitung harga yang harus dibayar—oleh Uni, lelaki itu, Puang Aji, atau siapa pun.
Ia baru saja selesai mengirim sebuah pesan singkat saat Uni keluar dari kamar vila. Matanya sembab, tapi tak terlihat sesal. Sapar mengenal sorot itu: tenang dan selesai.
Ia lalu membawa Uni makan siang di warung kecil dekat pom bensin. Hanya mereka berdua, ditemani ikan goreng dingin dan sambal pedas hambar. Di sela diamnya, Sapar berpikir perjalanan kali ini terlalu hening dan menyimpan banyak pertanyaan. Untuk apa Uni berlari dari pernikahannya, hanya untuk bertemu bajingan yang terlalu pengecut bertanggung jawab. Sapar pun pelan-pelan mulai menyadari, Selatan bagi Uni adalah arah mencari jalan pulang, bukan pelarian. Sementara baginya, Selatan adalah Uni itu sendiri.
Pagi baru saja jatuh separuh, ketika dua mobil minibus hitam berhenti di depan vila. Beberapa lelaki turun, salah satunya mendekap benda panjang terbungkus sarung dengan mata yang tak berkedip. Puang Aji, dengan langkah lambatnya tak bisa dikira apakah membawa maaf atau maut.
Sapar sendiri hanya berdiri di kejauhan, mengintip dari balik pohon kelapa, seolah dalam cerita ini ia sebatas pemeran figuran. Ia bergeming, lalu melengos, berupaya menepis rasa kasihan.
Teriakan pertama yang terdengar adalah suara perempuan, seperti suara angin menabrak tebing. Teriakan kedua oleh seorang lelaki, yang disusul suara seperti dahan patah. Setelah itu hanya ada suara laut: ombak merajam karam. Tak ada lagi dentuman. Tak ada jeritan. Hanya denting kecil, seperti logam menyentuh pasir.
(April-Agustus 2025)