Hari minggu di pekan pertama bulan Desember, sejak pagi setelah waktu suruq dan matahari meninggi sekira ukuran tombak, langit terlihat cerah menjelang waktu dhuhur. Sambil menunggu sayur rebus dan telur matang, saya menggulirkan telepon genggam untuk menghikmati berita terkini dan keadaan saudara-saudara kita yang berada di tanah Andalas, atau yang dulu dikenal dengan sebutan Swarnadwipa dalam bahasa sansekerta, untuk mengetahui keadaannya pasca bencana tanah longsor yang disebabkan oleh penggundulan hutan.
Matahari kian meninggi dan mulai terasa menyengat tatakala saya duduk di beranda rumah yang langsung terpapar sinar matahari. Kebetulan beranda rumah saya menghadap ke timur. Sambil beringsut pindah menghindari sinar matahari, tangan saya mencoba membuka telepon genggam, membaca banyak informasi. Minggu pagi ini saya terasa kebanjiran informasi tentang bencana, masyarakat yang membantu bencana, dan yang agak menggelikan adalah pejabat pemerintah dan negara yang terlihat membantu namun juga terlihat foto bersama untuk pencitraan. Ada yang pidato, ada yang memikul sembako, ada yang umroh, ada yang berdoa, dan ada yang terlihat menitikkan air mata. Semuanya ada. Saya tidak berani mengomentarinya. Hanya sanggup melihat dan merenungkan apa yang telah dilakukan melalui layar telepon genggam. Entah itu serius atau sekadar konten.
Di era ketika layar lebih akrab daripada jendela, manusia menemukan cermin barunya: konten. Ia menjelma seperti kabut yang mula-mula tipis, kemudian menebal, lalu akhirnya menguasai seluruh cakrawala hidup. Konten bukan lagi sekadar catatan harian yang dipertontonkan, melainkan ritual sosial yang memaksa: sebuah panggung tanpa henti, tempat setiap pejabat publik, pesohor, hingga manusia kebanyakan—menjadi aktor yang harus selalu tampil, tersenyum, dan mengucapkan sesuatu yang tampak berarti, meski sering kali hampa.
Pejabat publik seakan menemukan mantra baru dalam sorot kamera. Kebijakan terasa kurang meyakinkan sebelum dibingkai angle tertentu (disertai tulisan tebal “kerja nyata!”), dan musik latar yang menggerakkan harapan palsu. Mereka melangkah ke lokasi bencana bukan lagi semata untuk menyelamatkan warga, melainkan untuk menandai kehadiran mereka dalam video. Dalam genggaman ponsel para stafnya, air mata korban pun bisa menjadi estetika, dan kesedihan berubah menjadi kutipan motivasi. Yang penting adalah citra: narasi diri yang terus diasah agar tampak bersinar. Kerja yang berat kini dihitung bukan dari dampak, tetapi dari jumlah tayangan.
Begitu banyak orang sibuk menjadi figur dalam layar, hingga lupa menjadi manusia dalam hidupnya sendiri. Kita mulai percaya bahwa apa yang tak diunggah tak pernah terjadi. Kebenaran perlahan kehilangan kekuatan karena yang lebih kuat adalah penampilan. Konten, pada akhirnya, adalah panggung tempat manusia sering kali bermain sandiwara tanpa sadar.
Sementara itu, memeluk konten seperti memeluk cermin yang retak—setiap pantulan memuji, namun perlahan mengikis diri. Mereka hidup dalam hitungan likes yang naik-turun seperti cuaca batin, bergantung pada algoritma yang lebih berkuasa dari ramalan bintang. Kegembiraan mereka harus terekam; kesedihan pun harus direkayasa agar tampak layak dikasihani. Ada kegelisahan abadi yaitu takut hilang dari ingatan publik, takut tenggelam di riuh semesta digital yang setiap menit melahirkan ikon baru. Kini, popularitas menjadi candu, konten menjadi suhunya, dan jiwa perlahan kehilangan ruang untuk bernapas.
Di tengah derasnya arus konten, manusia perlu menemukan kembali dirinya. Menemukan keberanian untuk tidak tampil, untuk tidak menjelaskan, untuk tidak memoles setiap momen. Ada nilai dalam ketidaksempurnaan yang tersembunyi. Ada ketenangan dalam peristiwa yang dibiarkan berlalu tanpa jejak digital. Ada kejujuran dalam diam yang tak direkam.
Semakin hari, semakin menyedihkan karena konten telah berubah menjadi mazhab baru dalam kehidupan masyarakat modern saat ini. Tak terkecuali para pemangku pemerintahan dan negara. Setiap kegiatannya selalu diorientasikan agar viral. Sebenarnya mereka bekerja untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk konten yang diikuti banyak orang dan seolah mendapat apresiasi? Bukankah ia didapuk menjadi pejabat itu untuk mengurus negara dan menyelenggarakan pemerintahan demi menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat?
Mungkin inilah yang perlu menjadi renungan kita bersama, jangan sampai apa yang sering disinyalir oleh banyak tokoh terjadi, yaitu bangkrutnya moral dan etik para pengurus negara. Karena yang ada dalam pikirannya yaitu “apa yang saya lakukan berdampak apa tidak untuk urusan elektoral nanti?”
Mungkin, jika kita berani mengurangi sorot lampu, hidup akan kembali terasa seperti hidup, bukan sekadar menjadi tontonan.





















