
Setelah perilisan album bertajuk Lagipula Hidup Akan Berakhir pada Juni 2023, salah satu lagu di dalamnya, “Matahari Tenggelam”, mulai ramai dibicarakan. Sorotan terhadap lagu ini memuncak pada akhir September ketika potongan video dari konser tunggal Malaikat Berputar di Langit Jakarta beredar luas di media sosial. Visual pertunjukan yang dianggap simbolik, seperti instruksi menutup mata, bentuk segitiga, dan gestur tangan, memicu berbagai tuduhan mulai dari okultisme hingga satanisme.
Lagu “Matahari Tenggelam” sejatinya lahir dari pengalaman pahit Hindia dalam menghadapi cyberbullying dan mentalitas berkelompok di dunia maya. Dalam penjelasannya, Baskara Putra mengungkapkan bahwa lagu ini ditulis di puncak kebenciannya terhadap internet setelah dirinya menjadi sasaran perundungan digital. “Matahari Tenggelam” menjadi bentuk katarsis, yaitu cara dirinya untuk memproses dan mencerna perasaan yang mengganggu, seburuk apa pun muatannya.
Secara lirik, lagu ini penuh dengan metafora dan sindiran terhadap perilaku netizen. Kalimat seperti “Batin lapar, kau mudah digembala” menggambarkan bagaimana pengguna internet yang haus akan sensasi menjadi mudah dimanipulasi opininya. Sementara itu, kalimat “Laga dirimu di balik kaca” menyindir keberanian semu yang hanya muncul ketika seseorang bersembunyi di balik layar.
Ungkapan seperti “karangan bunga” dan “berbelasungkawa” menghadirkan ironi pahit yang selaras dengan nuansa duka dalam lagu, seolah menandai konsekuensi emosional dari perundungan di dunia maya. Sementara bagian “Matahari tenggelam, selamat datang malam” yang berulang berfungsi sebagai metafora transisi dari terang menuju gelap atau dari kebaikan menuju keburukan.
Dari sekian banyak metafora dan sindiran yang tajam, satu baris lirik yang paling menyita perhatian dan menuai kontroversi adalah “kudoakan kita semua masuk neraka” karena muatannya yang eksplisit. Menurut Hindia, kalimat tersebut merupakan kiasan ekstrem yang ia gunakan untuk menggambarkan rasa sakit yang ia alami, serta keinginannya agar semua orang yang “gagah di balik kaca” merasakan “neraka” yang sama ketika ia diserang secara masif di media sosial. Ia menyadari bahwa lirik tersebut bersifat ekstrem, namun tetap mempertahankannya sebagai bentuk ekspresi artistik yang autentik.
Menariknya, kalimat itu hampir dijadikan sebagai judul album. Dalam podcast Suar Dialog bersama Iga Massardi, Enrico Octaviano, selaku kepala produser album ini mengungkap bahwa nama awal yang sempat dipertimbangkan adalah “Kudoakan Kita Semua Masuk Neraka”. Keputusan untuk mengubah judul menjadi Lagipula Hidup Akan Berakhir menunjukkan adanya pertimbangan mendalam dalam proses kreatif, meskipun pada akhirnya kontroversi tetap tidak terhindarkan.
Aspek visual dalam pertunjukan Hindia menambah kompleksitas kontroversi yang muncul. Patung, gestur tangan, dan visual segitiga sempat dikaitkan dengan simbol Illuminati. Namun menurut Hindia, elemen-elemen itu murni kebutuhan estetika.
Segitiga dan gestur menyerupai tanduk adalah ekspresi artistik yang mencerminkan dirinya sebagai sosok yang diserang dan didenominasi di internet. Patung dan simbol yang diangkat terinspirasi dari berbagai karya populer dan dimaksudkan untuk melambangkan keburukan, malapetaka, serta bencana, sejalan dengan konsep “malaikat maut” yang menjadi benang merah album ini.
Salah satu elemen yang paling banyak menuai reaksi adalah instruksi kepada penonton untuk menutup mata saat lagu “Matahari Tenggelam” dimainkan. Terkait hal ini, Baskara memberikan empat alasan utama.
Pertama, kebutuhan teknis untuk pencahayaan dan visual yang sensitif. Kedua, konsep pertunjukan yang terinspirasi dari fiksi horor seperti Bird Box dan Doctor Who. Ketiga, simbolisasi kebutaan akibat penggiringan opini di internet. Dan keempat, sebagai demonstrasi betapa mudahnya orang terpengaruh oleh ajakan di dunia maya.
Instruksi menutup mata ini bukanlah elemen tunggal yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari keseluruhan konsep artistik yang dirancang dengan cermat. Salah satu contohnya adalah pemilihan dresscode penonton, yang turut mencerminkan kedalaman pemikiran di balik pertunjukan. Sistemnya dibuat berdasarkan tes kepribadian yang dapat diakses melalui situs web resmi konser.
Tes tersebut membagi penonton ke dalam tiga warna: hitam (pesimisme akut), putih (optimisme berbahaya), dan merah (nihilisme serta pemberontakan). Tim kreatif Hindia memperkirakan bahwa warna merah akan menjadi pilihan paling sedikit. Oleh karena itu, mereka yang mendapat warna tersebut diberi ‘privilege’ untuk menyaksikan visual tanpa penutup mata, sesuai dengan sifat pemberontakan yang diwakili oleh warna merah.
Hindia menekankan bahwa konsernya merupakan satu kesatuan pertunjukan dengan cerita utuh. Menilai pertunjukan hanya dari potongan video, menurutnya, sama saja seperti mencatut seorang aktor sebagai orang sesat hanya karena satu adegan dalam film. Setiap elemen visual dan dekorasi dirancang secara matang untuk mendukung narasi keseluruhan album.
Pada akhirnya, “Matahari Tenggelam” menjadi cermin yang memantulkan realitas pahit dunia digital. Kontroversi yang muncul membuka ruang refleksi tentang cara seniman merespons tekanan publik dan sejauh mana karya seni dapat dipahami utuh di tengah budaya konsumsi cepat dan potongan materi tanpa konteks.
Di saat yang sama, kontroversi ini memicu pertanyaan mendasar tentang batas kebebasan berekspresi dan sejauh mana kita, sebagai audiens, bersedia membuka diri terhadap karya yang menyampaikan keresahan lewat pendekatan yang ekstrem.