Saat mengisi kolokium doktor saya mendapat pertayaan peserta. “Jika K-Pop itu berdampak negatif bagai generasi muda Indonesia, bagaimana cara melawannya?, “katanya. Pertanyaan sederhana tetapi tidak mudah untuk dijawab. Saya akan menjawab dengan kebijakan Korsel dalam melawan budaya asing dan mempopulerkan budayanya sendiri. Jadi kebijakan Korsel melawan budaya asing kita contoh atau pakai untuk menjawab bagaimana Indonesia melawan dampak negatif K-Pop.

Seperti diketahui, kolokium sendiri berarti pertemuan akademis yang bersifat ilmiah. Sering kali berfungsi sebagai seminar diskusi untuk membahas topik tertentu atau menyajikan hasil penelitian dosen-dosen. Juga untuk diseminasi (penyebarluasan) pemikiran dosen. Saya saya itu menyampaikan tema soal K-Pop karena disertasi doktor saya bicara soal itu.

Bisa Dilawan

Saat ini,  penyebaran K-Pop seolah tak terbendung. Tak saja  mendominasi tangga lagu global dan membanjiri platform streaming. Tetapi juga  memengaruhi gaya hidup, bahasa, hingga pola konsumsi generasi muda di banyak negara. Namun, di balik hingar-bingar konser dan fandom yang massif apakah ada dampak negatifnya? Tentu ada.

Ironisnya, pemerintah Korsel sendiri dulu pernah berada di posisi yang sama seperti Indonesia sekarang. Pada era 80-an dan 90-an, Korea justru merasa “kalah” oleh dominasi budaya populer dari luar negeri — terutama Jepang dan Amerika. Maka lahirlah berbagai kebijakan ketat demi membatasi pengaruh asing, sekaligus memperkuat industri budaya dalam negeri. Dari sinilah K-Pop kemudian tumbuh sebagai “senjata budaya” yang kini mendunia. Ingat pelarangan music rock n roll saat presiden Park Chung Hee berkuasa, kan?

- Poster Iklan -

Yang sering terlupakan adalah bahwa K-Pop bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari strategi nasional Korsel. Pemerintah negeri Ginseng sejak akhir 1990-an memang serius mendorong “hallyu” (korean wave) sebagai produk ekspor. Tahu enggak? 40 persen penggemar K-Pop berasal dari Asia Tenggara.

Industri ini juga menghasilkan nilai ekonomis. BTS misalnya, diperkirakan menyumbang sekitar 0,3% terhadap PDB Korsel (2019). Sementara menurut Bank of Korea, ekspor konten budaya Korea, termasuk musik, drama, dan film, melampaui 10 miliar dolar AS per tahun. Artinya, di balik lirik manis dan koreografi energik, ada mesin industri raksasa yang bekerja dengan target ekonomi dan politik yang jelas.

Kalau Korsel saja  bisa melawan dominasi budaya asing, kenapa kita tidak bisa melakukan hal serupa terhadap gempuran K-Pop?

Cara Korea Melawan Budaya Asing

Banyak yang beranggapan K-Pop hanyalah hiburan. Padahal pengaruhnya jauh lebih dalam. Beberapa riset mencatat, fanatisme K-Pop seringkali memunculkan masalah serius. Pertama, kecanduan konten digital. Laporan Statista (2023) menunjukkan bahwa remaja Asia Tenggara menghabiskan rata-rata 3-4 jam per hari hanya untuk mengonsumsi konten K-Pop, dari musik hingga variety show.

Kedua, krisis identitas budaya. Sebuah survei di Indonesia (2022) mendapati lebih dari 60% pelajar SMP dan SMA lebih mengenal nama idol K-Pop dibanding tokoh budaya nasional.

Ketiga, kesehatan mental dan finansial. Fenomena “fangirling/fanboying” (perilaku antusias penggemar) membuat banyak remaja rela menghabiskan uang jajan untuk album, merchandise, hingga tiket konser yang harganya bisa jutaan rupiah. Tak sedikit pula yang terjebak debt trap hanya demi mengikuti idolanya.

Kondisi ini bisa berbahaya bila tidak ditangani. Mengapa? Karena generasi muda yang harusnya membangun kreativitas lokal justru sibuk mengidolakan budaya impor. Pada tahun   80an film hollywood dan musik pop Jepang mendominasi pasar hiburan di Seoul. Namun pemerintah Korea tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan kebijakan proteksi dan promosi budaya lokal yang agresif.

Secara ringkas berikut strategi kebijakan Korsel dalam melindungi budaya dalam negeri.  Pertama, kebijakan kuota film. Sejak 1960-an, pemerintah Korea mewajibkan bioskop lokal memutar film Korea minimal 146 hari dalam setahun. Tujuannya jelas memberi ruang bagi industri film dalam negeri agar tidak tenggelam oleh hollywood maupun Jepang.

Kedua, pembatasan musik asing di media. Pada 80-an, radio dan televisi Korsel membatasi jumlah lagu asing yang boleh diputar. Bahkan, pa awal 1990an lagu Jepang dilarang sama sekali karena dianggap mengancam budaya lokal.

Ketiga, subsidi dan dukungan untuk industri kreatif. Pemerintah Korsel menggelontorkan dana besar pada awal 90-an untuk mendukung studio musik, rumah produksi, hingga sekolah seni. Inilah yang melahirkan sistem pelatihan idol yang kini terkenal.

Korsel mampu melawan dominasi budaya asing dengan strategi kombinasi. Melaui apa? Ada kebijakan pembatasan, proteksi, dan investasi pada produk lokal.

Indonesia Melawan Gempuran K-Pop?

Kalau pemerintah Korsel  bisa menjaga identitas budaya negaranya, kenapa kita tidak bisa?  Mengaca dan meniru Korsel ada beberapa langkah.

Pertama, menghidupkan kuota konten lokal. Televisi, radio, hingga platform digital perlu diberi aturan tegas. Misalnya minimal 70% konten yang diputar adalah karya lokal.  Langkah ini bukan berarti menutup diri, tetapi memastikan anak muda tetap punya kedekatan dengan produk budaya bangsa sendiri.

Kedua, kampanye budaya populer Indonesia.  K-Pop berhasil mendunia karena kemasan yang modern. Kita pun bisa melakukan hal serupa dengan musik tradisional, film daerah, hingga cerita rakyat. Bayangkan bila gamelan atau tari daerah dikemas dengan visual performance ala konser K-Pop.

Ketiga, pendidikan identitas sejak dini. Kurikulum sekolah harus lebih menekankan pada kebanggaan budaya lokal. Misalnya, melalui pelajaran seni yang lebih aplikatif, lomba-lomba kreatif, hingga program pertukaran budaya di dalam negeri.

Keempat, batasi fanatisme berlebihan. Pemerintah bisa meniru Korea dengan mengatur iklan dan promosi konser K-Pop, agar tidak membanjiri ruang publik. Platform digital pun bisa diarahkan memberi porsi lebih pada konten lokal.

Jangan Jadi Penonton

K-Pop memang penuh warna. Tetapi, di balik semua itu ada konsekuensi besar yakni generasi muda yang semakin jauh dari budayanya sendiri. Kita tak perlu menolak total, namun harus berani membatasi dan mengimbangi.

Kalau Korea bisa melindungi budayanya dari pengaruh asing lalu mengekspor K-Pop ke seluruh dunia, maka Indonesia juga bisa melakukannya. Caranya? Menjaga identitas lokal dan memperkuat budaya pop sendiri. Ingat, budaya adalah kekuatan bangsa. Jangan sampai kita hanya jadi penonton, sementara negeri lain menjadikan generasi muda kita sebagai pasar.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here