Mata perempuan itu nanar menatap gundukan makam di hadapannya. Dua sungai mengalir dari mata tersebut. Tak ada isak maupun ratap. Hanya sebuah tangisan yang hening dan dingin. Sehening suasana pemakaman sore itu pasca langit senja menumpahkan air matanya.
Sudah sebulan sejak jenazah tidur di tanah persemayaman abadi. Di bawah lambaian dahan-dahan kamboja, Rani termangu, butir-butir sisa gerimis membasahi helai rambutnya. Dalam hati, ia pun bertanya-tanya apakah tangisnya ini karena luapan kesedihan atau justru kelegaan. Bertahun-tahun laki-laki yang dikubur itu terbaring lumpuh dan membisu. Penyakit sudah mengutuknya menjadi mayat hidup.
“Baba bagaimana kabarmu di sana? Tuhan telah memanggil, penderitaanmu akhirnya usai,” Rani menyapa lirih.
“Aku tidak lagi tinggal di rumah baba. Kakak sudah menjualnya,” sekian menit Rani mengabarkan hidup terkininya setelah baba tak ada. Selebihnya ia hanya terdiam menatap tanah. Berkali-kali menghela napas. Pikirannya berkecamuk. Dari ketinggian kabel listrik, diam-diam seekor pingai mengawasi.
Rani mengingat kembali peristiwa ia bertengkar dengan kakak-kakaknya.
“Enggak tahu malu, Baba belum lama wafat tapi kalian sudah ribut soal warisan!” sergah Rani mengamuk.
“Selama baba sakit, kakak semua enggak ada yang bantu. Aku yang tinggal di sini sendirian mengurus baba!” Ia pergi dengan segala murka dan kecewa, meninggalkan mereka selamanya.
*
Pagar tembok di hadapannya berlumut, sebagian sudut juga lebat dengan tanaman merambat. Pintu gerbangnya pun penuh karat, meski terlihat masih kokoh. Rani mengamat-amati dari jarak aman bangunan dua lantai tersebut. Rumah itu sebenarnya terlalu besar kalau ia tinggali sendiri.
Setiap kali Rani motoran pulang pergi ke tempat kerja, dia kerap melewati rumah yang tampak lama terbengkalai ini. Sebuah banner putih terpampang di pagar.
“DIJUAL CEPAT. HARGA HEMAT.”
Rani selalu bercita-cita ingin tinggal di rumah dengan balkon seperti rumah tersebut. Barangkali dia terlampau sumpek dari orok hidup di lingkungan rumah yang berjejalan satu sama lain, gang kecil yang cuma muat satu motor, dan suara-suara tetangga yang sampai menembus ke dalam kamarnya.
Beberapa hari silam Rani menghubungi nomor yang tertera di banner. Si pemilik langsung setuju menyewakan rumahnya 20 juta per tahun. Harga yang kelewat murah untuk kediaman di bilangan selatan Jakarta. Bahkan pemilik siap melepas total dengan harga 150 juta. Namun, Rani belum mau membeli rumah dengan resiko uang warisannya habis. Warisan yang Rani tahu telah dicurangi oleh kakak-kakaknya.
Rani membayangkan dia bisa memulai hidup baru di sini. Rumah itu terlihat kumuh dan suram dari tampak depan, tetapi ketika Rani menjejak masuk, ia sangat terkejut karena isinya cukup bersih, tertata, sekaligus berperabot lengkap.
“Heran, kenapa kondisi luar dan dalam rumah ini bertolak belakang,” batin Rani saat menelusuri rumah tersebut dari ruang tamu sampai dapur.
Ia berkeliling sendiri karena kemarin setelah menerima pembayaran dari Rani, sang pemilik langsung mengirimkan kunci rumah, tanpa berniat datang menemani.
*
Rani menempati rumah barunya hanya dengan membawa segelintir pakaian dan sebuah kotak kayu antik peninggalan baba. Di malam pertama dia duduk bersandar di kasur melamun ke arah jendela yang sengaja dibuka. Rani menikmati langit malam yang mendung kemerahan. Suatu kemewahan yang mendatangkan rasa damai.
Dalam kesunyian, Rani merenungkan perjalanan hidupnya. Kini ia menjelma sebatang kara. Baba telah menyusul mama yang berpulang lebih awal. Memang sejak ditinggal mama, baba kehilangan semangat hidup. Kerinduan dan kesenduan menggerus jiwanya, membuatnya jatuh sakit. Semakin hari baba semakin tak berdaya, hingga tak terasa bulan tahun berganti.
Rani, satu-satunya anak yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya harus membagi waktu bekerja dan mengurus baba. Ketiga kakaknya hanya sesekali datang, kalau butuh. Semua harta baba ludes untuk biaya berobat. Tak jarang, uang gaji Rani terpakai pula untuk menutupi segala kekurangannya. Bahkan dia terpaksa menjadi korban pinjol untuk menambal kebutuhan rumah tangga.
“Tega sekali mereka memotong hak warisku, tanpa mau tahu selama merawat baba aku sampai berhutang,” Rani menyesalkan sikap ketiga kakaknya yang ia sebut betina-betina jalang.
Selagi berbicara sendiri, seraut kepala dengan seringai tiba-tiba melongok dari jendela tempat ia melayangkan pandangan ke pucuk ketapang.
Rani terkesiap. Sekujur badannya merinding. Ia pastikan lagi matanya ke arah jendela. Tak ada apa-apa. Antara rasa takut yang menggigil dan rasa penasaran yang nekat, Rani berjinjit mendekat ke jendela kamar. Sebelum memberanikan diri melihat ke luar, ia menarik napas panjang, kemudian mengecek keadaan. Kosong. Entah apa itu tadi, yang jelas makhluk itu raib. Secepat kilat Rani menutup jendela, melompat dan menenggelamkan diri di kasur dengan degub jantung yang nyaris menggetarkan ranjangnya.
*
Tiap kali Rani mengingat peristiwa semalam, bulu kuduknya berdiri. Di sela-sela kejemuannya di kantor, Rani memutuskan menuliskan pengalaman tersebut ke jurnal onlinenya. Semenjak mama wafat, Rani kehilangan tempat bercerita. Terlebih ia harus merawat baba. Ia sampai bolak-balik ke psikiater demi mengurai tekanan mentalnya. Selain memberi obat, dokter menyarankan Rani agar menemukan ruang katarsis untuk mengekspresikan gejolak jiwanya.
Ia lantas mulai menulis. Rani menemukan sebuah situs yang memungkinkan pengguna mempublikasikan sendiri karyanya agar dapat dinikmati pembaca internet. Di ruang digital itulah Rani sesekali menghibur diri menuliskan cerita-cerita hidupnya. Beberapa drama dukacita menjadi favorit pembaca, tetapi pengalaman keseharian lain tak menarik perhatian mereka. Tak peduli. Bagi Rani, kesenangan menulis ini sekadar membantu menyembuhkan kesepian serta luka hati.
Siang itu ia mengisahkan ke khalayak digital fenomena tidak masuk akal di kamarnya. Jalinan ketegangan, ketakutan, dan kebingungan atas pengalaman ganjil yang baru ia rasakan pertama kali dalam hidup.
Sesampai di rumah, Rani beristirahat di sofa sambil berselancar di media sosial. Ternyata banyak sekali notifikasi yang masuk dari para pembaca situsnya. Saat sedang membaca komentar satu persatu, terdengar suara ketukan di pintu. Rani terdiam, mengingat-ngingat apakah ada janji kunjungan atau pesanan online. Rasanya tidak ada.
“Duk, duk, duk!” suara ketukan makin keras, tanpa suara orang memanggil. Rani mulai waswas, ragu untuk membuka pintu. Tak bergerak sedikitpun, ia biarkan tamunya menganggap rumah itu kosong dan lekas pergi.
Namun tak disangka, knop pintu diputar paksa, dan sekonyong-konyong pintu itu terbuka didorong dari luar. Padahal Rani yakin ia telah menguncinya. Kaget setengah mati, Rani melongo. Matanya mendelik syok dengan wajah seputih tembok di belakangnya. Ia tidak sanggup berdiri, cemas menghadapi siapa yang mencoba menerobos masuk. Sekian detik berlalu, pintu tersebut menganga begitu saja. Tidak ada yang masuk, kecuali hembusan angin malam yang membekukan suasana. Seperti dibangunkan dari sihir, Rani menutup pintu seraya melesat ke atas menuju kamar.
*
Tak mampu merasionalisasi pengalaman-pengalaman ajaib di rumahnya, Rani hanya bisa menuangkan semua ke diary online. Berbagai tanggapan, komentar, dan pertanyaan bertubi-tubi memborbardir Rani. Mereka menanyakan di mana persisnya Rani tinggal, siapa sesungguhnya penghuni gaib rumah tersebut, apa pesan yang mereka coba sampaikan ke Rani, atau apakah Rani masih betah menempati kediaman horor itu, dan sebagainya.
Ya, itu juga menjadi kegelisahan Rani belakangan ini. Belum lama ia pindah, namun dipastikan setiap hari selalu ada gangguan-gangguan aneh baru yang muncul. Suara perempuan meratap di dapur, tertawa meringkik di teras belakang, kaki-kaki kecil yang berlarian naik turun tangga, atau bunyi hentakan dari kamar-kamar kosong, serta banyak macam penampakan lain yang akan membuat siapapun lemas tulang-belulangnya.
Seringkali dia sampai histeris, terkadang marah memaki, sisanya hanya terdiam apatis. Pasrah, terlanjur lelah dengan tumpukan pekerjaan, tagihan, dan himpitan hidup lainnya.
“Apakah aku harus mencari rumah baru lagi? Tapi itu berarti pengeluaran baru. Pantas rumah ini mau disewa dengan harga miring,” Rani memutar otak atas situasinya.
Sabtu siang suara-suara gaduh di halaman membangunkan Rani. Semalaman sudah gaduh dengan perkakas dapur yang menari, sekarang tengah hari bolong kegaduhan lain mengusiknya.
“Aku bisa gila lama-lama kaya gini terus!” gregetan dengan nasib, Rani menyibak selimut dan melihat ke luar jendela.
Di bawah sana ratusan orang membanjiri jalanan depan gerbangnya. Sebagian memotret sisi-sisi rumah, memvideokan, atau membuat konten live dengan ponsel masing-masing. Wartawan, presenter tv atau podcast, content creator, umat digital, sampai tetangga sekitar penasaran dengan rumah hantu yang viral di sebuah situs baca online. Mereka ingin menyaksikan langsung seperti apa rumah misteri tersebut.
Sewaktu melihat sesosok perempuan mengintip dari jendela kamar atas, mereka semua menjerit menunjuk-menunjuknya sebagai penampakan horor pertama, tepat di bawah terik matahari.
Rani ternganga mendapati kehebohan di depan rumahnya, ia cepat-cepat bersembunyi dari jendela. Nafasnya tersengal-sengal panik. Ia segera mengecek ponsel, benar saja, notifikasi berjubelan merespons pengalaman-pengalaman supranaturalnya. Dan mereka sekarang berkumpul di sini, ingin membuktikan sendiri.
Tidak berani keluar, Rani mengunci dirinya di dalam rumah. Jam demi jam berlalu, akan tetapi orang-orang masih bertahan menanti di depan. Bahkan kian malam, kian ramai. Rani deg-degan, kelaparan, dan pening menghadapi situasi genting yang tak habis-habis.
Ditekan oleh keterpepetan, akalnya terpantik. Ia mendadak sumringah.
“Baiklah, jadikan ini sumber pemasukan tambahan,” ujarnya meyakinkan diri.
Ia mengambil kotak penyimpanan dari lemari, lantas berjalan membuka pintu rumah.
“Selamat datang Bapak, Ibu, Kakak-kakak semua. Terima kasih berkenan hadir di kediaman saya. Bagi yang penasaran, silakan mencoba ekspedisi di rumah ini barang semalam. Lemparkan uang berapapun ke kotak ini, anggaplah sebagai tiket masuk,” Rani meletakkan kotaknya di depan pintu.
Seluruh mata dan kamera menyorotnya. Selesai ia berkata-kata, suasana menjadi senyap. Orang-orang bertukar pandang. Saling menimbang. Kemudian antusias, bergegas melempar uang ke kotak dan menghambur ke dalam rumahnya.
Rani diserbu ratusan, mungkin ribuan, orang yang mendesak masuk. Tubuhnya ditabrak-tabrak tanpa ampun. Semakin banyak manusia yang menerobos pintu rumahnya, semakin berguncang rumah itu. Terus berguncang seperti dihantam gempa. Rani merasakan rumah itu mulai ambruk, menghujani kerumunan dengan reruntuhan. Teriakan-teriakan kalap. Lalu semuanya gelap.
Ketika kelopak mata Rani perlahan membuka, ia mencermati sekitar. Tiba-tiba ia sudah di kamar orang tuanya, rebah di antara tumpukan baju mama dan baba. Terbius oleh aroma memori tentang mereka. Ia bangkit. Persis di depan muka, lemari pakaian mereka terbuka. Rani melongok, terpana, kotak bertabur uang itu ada di sana.
***