Kurasi Mandiri Bacaan, Upaya Melampaui Perjenjangan (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)
Kurasi Mandiri Bacaan, Upaya Melampaui Perjenjangan (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)

Sebuah buku adalah impian dalam genggaman (Neil Geiman)

Beberapa waktu terakhir, media sosial thread saya dipenuhi akun yang mencari sirkel pertemanan sekota dengan kata kunci: suka baca buku. Mulai buku sastra hingga buku-buku self-help. Orang-orang maya penikmat bacaan itu membuat daftar nama kafe atau tempat-tempat nongkrong yang ramah aktivitas membaca di beberapa kota, sebagai tempat untuk berkumpul membincangkan buku.

Mereka juga menuliskan reviu kedai baca, perpustakaan umum, perpustakaan pribadi, lengkap dengan foto lokasi dan jadwal buka, tak lupa jepretan gambar deretan judul buku baru hingga menu-menu kudapan terkurasi. Foto-foto buku-buku disajikan estetik, disanding dengan kue-kue cantik dan tentu saja kopi, teh, atau minuman lain kekinian. Sontak, kedai-kedai yang diprofil bertambah pengikutnya dan dilabeli sebagai tempat nyaman untuk menyantap buku. Beberapa pereviu adalah pembaca buku garis keras yang kemudian nekat menjadi penjual buku.

Realita ini semakin kerap saya jumpai, seiring tumbuhnya profesi bookstagrammer dan booktuber yang kian sering menghampiri akun media sosial saya. Ada juga bookworms yang punya klab buku. Beberapa saya ikuti, diantaranya @bacaanalya @children’s bookstagram Indonesia @fathiyahazizah, @br.enda, dan @imgriss.

- Poster Iklan -

Di luar akun-akun itu, saya sering menjumpai beberapa komunitas baca atau kelompok pecinta buku yang rajin menggelar kegiatan pameran mini, workshop, membaca bersama, membuka kelas menulis, membaca nyaring, plus membuka lapak baca di tempat umum seperti KPBA Murti Bunanta, Sabtu Membaca, Malang book party, Saung Kanak, Kafe Pustaka, BookbyIbuk, Semilir Media, Rumah Ratna, dan sila tambahkan sendiri nama-nama lain yang Anda ikuti akun media sosialnya.

Aktivitas yang mereka geluti didokumentasikan dan disajikan kembali di ruang maya, terlihat wajah-wajah antusias, dahi berkerut dengan pandangan mata tertuju pada buku, dan riang merayakan perjumpaan pustaka. Sampai di sini saya makin percaya bahwa di suatu tempat, bersama orang-orang tepat, buku-buku sastra dirayakan dengan cara yang tak pernah saya duga sebelumnya.

Suatu kali saya dapati komunitas pecinta buku-buku cerita masa kecil, mewajibkan peserta yang datang ke pertemuan mereka memakai dress code piyama. Seseru itu rupanya membaca! Berderet pertanyaan langsung melintas di kepala, apakah anak-anak sekolah berteman dengan akun-akun seleb buku maupun komunitas yang rutin mengupayakan tersedianya lapak-lapak buku? Apakah mereka mendatangi secara terjadwal dan berkala perayaan buku-buku itu? Bagaimana mereka menjumpai buku-buku bacaannya, apakah melalui rekomendasi pustakawan, guru, atau teman-teman sebaya mereka?

Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab ketika saya datang ke sekolah. Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saya dampingi, melansir projek Kurasi Mandiri Bacaan Sastra untuk Murid, di SMP dan SMA negeri kota Malang, dalam cakupan aktivitas Projek Kepemimpinan.

Mahasiswa PPG dan saya mengamini betul yang dikatakan Margaret Fuller, Reading Now, Tomorrow Leader. Pemimpin berkualitas lahir, salah satunya berkat “didikan” buku-buku yang disantap saat sekolah. Saat saya sebutkan nama-nama komunitas buku dan kedai serta kafe buku. Mereka lantang menjawab pernah dan sering ke sana. Beberapa murid bahkan peserta aktif diskusi sastra di kafe buku yang rutin menggelar kelas menulis dan membaca sastra.

Kurasi, Mandiri Memilih Bacaan Sastra

Sebagai verba, kurasi meliputi berbagai aktivitas seperti mengumpulkan, mengkatalogkan, mengatur, dan merakit untuk tujuan pameran atau penampilan/pertunjukan (Potter, 2011). Kurasi tidak hanya terbatas pada konteks kelembagaan dan profesional yang telah berlangsung berabad-abad di berbagai budaya, praktik kurasi juga dilakukan oleh banyak individu yang membangun koleksi pribadi berupa teks dan artefak. Koleksi-koleksi ini, dalam berbagai cara, merupakan representasi diri mereka di dunia, yang berfungsi sebagai jalinan hubungan, afiliasi, serta penanda identitas (Miller, 2008).

Dalam konteks pendidikan, kurasi mandiri bacaan sastra oleh murid menjadi sarana mengekspresikan minat, nilai, dan identitas pribadi melalui pilihan karya berbagai penulis. Dengan demikian, proses kurasi bacaan sastra tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga membangun keterampilan refleksi diri dan apresiasi terhadap keberagaman perspektif. Aku mengkurasi, maka aku eksis.

Kompetensi kurasi sastra muncul sebagai keterampilan strategis dalam konteks pembelajaran sastra di sekolah. Kemampuan murid untuk memilih, mengevaluasi, dan mengelola bacaan sastra secara mandiri tidak semata-mata meningkatkan pengalaman belajar mereka, tetapi berkontribusi terhadap pengembangan pemikiran kritis dan keterampilan belajar otonom.

Ada dua temuan menarik yang saya serap dari suara-suara murid tentang kurasi mandiri bacaan sastra. Pertama, murid tidak setuju kalau “Kurasi bacaan hanya boleh dilakukan oleh guru atau pustakawan”. Kedua, “Bacaan yang dikurasi mandiri membuat saya lebih bersemangat membaca”, pernyataan ini disetujui oleh sebagian besar murid. Hal ini jelas mengonfirmasi kalau kurasi mandiri meningkatkan antusiasme dan motivasi murid membaca sastra.

Beberapa murid yang literat menyatakan mereka terbiasa mengkurasi sendiri bacaannya, sementara sebagian besar mengaku perlu bantuan guru untuk memilih bacaan sastra yang akan dikonsumsi. Faktor kognitif (pemahaman, analisis, kosakata, motivasi (disiplin, minat) berperan mendukung aktivitas kurasi, sedangkan keterbatasan akses bacaan, kurangnya minat jika materi bacaan tidak menarik perhatian mereka merupakan butir-butir yang menantang mereka melakukan kurasi mandiri.

Ketika pembaca muda memiliki otonomi untuk memilih bahan bacaan mereka sendiri, motivasi intrinsik untuk membaca meningkat. Penentuan memilih sendiri bacaan mendorong kecintaan membaca. Motivasi intrinsik merupakan prediktor signifikan keberhasilan membaca. Membaca buku hasil kurasi mandiri dan rekomendasi rekan sebaya memungkinkan pembaca muda mengeksplorasi sastra sesuai dengan pengalaman pribadi, preferensi, karakter, dan budaya mereka.

Eksplorasi ini sangat penting untuk pembentukan identitas dan memahami posisi mereka, baik di lingkungan sekolah maupun dalam masyarakat. Bacaan sastra, terutama ketika dipilih sendiri oleh pembaca, berpotensi mencerminkan narasi budaya yang beragam dan menumbuhkan rasa memiliki dan kesadaran diri. Bagaimana kalau mereka hanya fokus pada bacaan-bacaan seperti Alternate Universe (AU) atau buku-buku fiksi “ringan’ yang mudah mereka jangkau di platform tertentu?

Hemat saya, pelibatan murid sebagai kurator mandiri bacaan sastra justru memampukan guru menawarkan bacaan sastra yang dilabeli sebagai sastra klasik/kanon. Guru bersama pustakawan sekolah membuat alternatif daftar bacaan sastra yang disukai para tokoh idola murid, bahkan mereka bisa langsung menyimak akun media sosial para penulis sastra, yang hari-hari ini rajin menyapa pembacanya. Jarak tak lagi terentang, mereka bisa berinteraksi kapan saja dengan para penulis.

Mengapa tak menantang mereka melakukan kurasi mandiri dari buku-buku terpilih karya penulis yang aktif bermedia sosial, dan meminta mereka menuliskan alasan mengapa buku-buku sastra tersebut layak mereka rekomendasikan untuk dibaca kawan-kawan sebayanya. Perbanyak akses bacaan dan satu hal lagi, libatkan dan pertimbangkan suara mereka sebelum sekolah memutuskan pengadaan buku-buku bacaan sastra. Jika perlu ajak murid membuat daftar buku-buku hasil kurasi mandiri yang sudah mereka susun, secara rutin dan dipamerkan secara reguler. Situasi ini mensyaratkan tindak lanjut yang lebih dari sekedar perjenjangan buku.

Melampaui Perjenjangan

Merujuk laman resmi Kemdikdasmen, perjenjangan buku bertujuan mencocokkan murid dengan teks yang sesuai untuk kelas atau tingkat membaca mereka. Bisa jadi perjenjangan tersebut sesuai kebutuhan kondisi literasi masa itu, namun perjenjangan buku bukanlah harga mati yang tak bisa dikritisi ulang.

Kelemahan yang jelas tampak dari perjenjangan buku ialah pilihan bacaan terbatas untuk murid, kurangnya pajanan ke beragam genre, budaya, dan ide bacaan, dan motivasi membaca berpotensi terhambat bagi siswa yang berada di atas atau di bawah level yang ditetapkan, mengingat kemampuan membaca murid tidak selalu selaras dengan tingkat kelas dan usia mereka. Beberapa murid siap membaca teks yang lebih kompleks, sementara yang lain membutuhkan materi lebih mudah diakses atau ramah cerna. Bagaimana menyikapi kondisi ini?

Perjenjangan buku menurut Kemdikdasmen dibagi sebagai berikut: (1) Jenjang A: pembaca dini, berusia 0-7 tahun; (2) Jenjang B1-B3 pembaca awal 6-10 tahun; (3) Jenjang C: pembaca semenjana 10-12 tahun; (4) Jenjang D: pembaca madya 13-15 tahun; (5) Jenjang E pembaca mahir lebih dari 16 tahun.

Penelitian menunjukkan bahwa membaca untuk kesenangan berkorelasi positif dengan capaian prestasi akademik yang lebih tinggi, selain itu aktivitas membaca untuk kesenangan juga berkontribusi terhadap peningkatan pemahaman bacaan, kemampuan menulis, perbendaharaan kata, serta prestasi akademik secara keseluruhan  (Cuevas et al., 2021; Dezcallar et al., 2014). Ada baiknya perjenjangan buku dilengkapi atau diperluas melalui kombinasi praktik membaca sastra seperti model Fountas dan Pinnell, misalnya.

Model ini banyak digunakan yang dikembangkan di Amerika Serikat oleh Irene Fountas dan Gay Su Pinnell. Sistem ini menggunakan gradien A hingga Z+ untuk mengklasifikasikan buku berdasarkan kompleksitasnya, berfokus pada faktor-faktor seperti struktur teks, konten, dan tema. Ini biasanya digunakan dalam program membaca terpandu guna memadankan murid dengan teks yang sesuai.

Model kedua yang bisa diadaptasi adalah Penilaian Membaca Perkembangan (Development Reading Assessment/DRA). DRA merupakan alat standar yang digunakan terutama di Amerika Serikat dan Kanada untuk menilai dan memantau kemajuan membaca siswa. Buku ditata secara numerik (misalnya, DRA 1–80+), dan siswa diuji secara berkala untuk menentukan tingkat membaca mandiri dan instruksional mereka. Ini merupakan pendekatan standar berbasis data, yang berfokus pada kemajuan dan intervensi individu, biasanya digunakan untuk pengajaran kelas dan program intervensi membaca.

Atau, Kemdikdasmen mulai merancang program kurasi bacaan sastra yang disesuaikan dengan hasil pemetaan kompetensi membaca sastra dari berbagai wilayah tanah air. Memastikan guru-guru dan pustakawan mempraktikkan kurasi bacaan sastra mandiri berdasarkan kriteria dan karakteristik sesuai murid-murid di sekolah masing-masing.

Guru, pustakawan, dan murid di daerah pesisir memerlukan bacaan sastra yang boleh jadi berbeda dengan mereka yang hidup di wilayah perkebunan, perkotaan, atau daerah pegunungan. Saya membayangkan Gerakan Literasi Sekolah yang dirayakan tiap tahun akan diisi unjuk karya hasil kurasi bacaan sastra murid-murid, yang berpotensi saling diadopsi menjadi daftar bacaan sastra berikutnya oleh sekolah-sekolah lainnya. Ada dialog dan pertukaran bacaan sastra yang berkelanjutan, sambung-menyambung.

Tantangan di depan bukan hanya mereformasi sistem perjenjangan buku. Namun merekayasa ulang seluruh relasi kita dengan literasi sastra murid di sekolah, tak terkecuali menciptakan perpustakaan dan ruang kelas yang mendorong kegiatan membaca sastra menjelma serangkaian proses petualangan daripada sekadar tugas yang menjemukan. Karena pada akhirnya, ukuran sesungguhnya keberhasilan membaca sastra ialah nyala kecintaan terhadap karya-karya sastra yang hidup dan bertahan selama mungkin, melampaui sekat-sekat perjenjangan buku.

 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here