Siapa yang tak tahu gamelan? Orkestra terbesar ke dua di dunia ini telah diakui seantero planet. Bukan saja kumandang gaungnya yang memesona namun juga nilai-nilai luhur yang termuat di dalamnya. Tetapi, di belakang kemilaunya gamelan, ada suatu hal yang sering dilupakan. Sebut saja pande gamelan.

Di balik nada-nada gamelan yang megah, ada sosok pande yang membentuknya. Mereka hidup berdampingan dengan bara api, berpacu dengan lempengan logam, dan berbasuh dengan keringat di sekujur tubuhnya. Bahkan tak sedikit pande yang harus bertirakat kala melakukan aktifitas tersebut. Semata-mata demi melahirkan gamelan dengan kualitas yang mumpuni.

 Pande gamelan bukanlah satu-satunya sosok yang terlupakan. Masih ada banyak sosok yang mungkin luput dari pandangan kita. Salah satu di antaranya ialah peniti. Saya yakin, terma ini terasa asing di telinga anda atau kita. Mungkin juga terasa asing di telinga pemain maupun pecinta gamelan sekalipun. Sebab, terma ini sudah jarang diucapkan dalam lanskap gamelan akhir-akhir ini, apalagi dipahami. 

Lelaku

Harus kita ketahui bersama bahwa gamelan sesungguhnya memerlukan seorang juru rawat. Dalam tradisi gamelan, juru rawat itu lazim disebut dengan peniti. Peniti bertanggungjawab penuh atas kondisi suatu gamelan. Dialah yang harus menjaga kebersihan gamelan, mengecek nada-nada gamelan agar tidak sumbang, dan memastikan bahwa gamelan dalam kondisi yang prima.

- Poster Iklan -

Belum lagi ketika gamelan digunakan untuk pentas. Ketika itu terjadi, penitilah yang harus sigap mempersiapkannya. Dimulai dari membawa gamelan menuju panggung pementasan, menata letak gamelan, mencoba instrumen demi instrumen, memastikan kelarasan nada, hingga mengembalikan gamelan ke tempat semula. 

Peniti tidak hanya berurusan dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis. Terkadang, ia harus menyiapkan dan menghaturkan sesaji di dekat gong pada hari-hari tertentu. Melalui rapalan si peniti, doa dilayangkan kepada sang ilahi. Harapannya agar pamor gamelan tetap menyala sehingga kumandang bunyinya bisa bermanfaat bagi sesama.

Peniti dalam jagat gamelan sesungguhnya mempunyai kedudukan yang sangat penting. Ia adalah orang terdepan yang memainkan peran dalam menjaga keselarasan bunyi gamelan. Melihat realitas itu, kiranya tak berlebihan jika mengatakan bahwa peniti sesungguhnya juga termasuk pemain gamelan. Bedanya, peniti adalah pemain yang tak terlihat sebab ia bermain di belakang panggung pertunjukan.

Belakang panggung bukan berarti unsur itu tidak ada. Unsur itu ada, hanya saja tak tertonton di atas panggung. Belakang panggung itu sarat akan bayang-bayang, jauh dari gemerlapnya cahaya panggung, dan juga jauh dari riuhnya tepuk tangan. Demikian juga dengan lelaku seorang peniti.

Peniti adalah orang yang menetapkan diri untuk hidup dalam lorong kesunyian. Ia adalah sosok yang tangguh, rela, dan ikhlas berjalan dalam keheningan. Tak terbesit sedikitpun harapan untuk diketahui, dipuji, atau bahkan disemati gelar. Peniti hanya ingin melestarikan gamelan yang diyakini sebagai warisan leluhurnya sehingga warisan itu dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya. 

Refleksi

Telah kita ketahui bersama bahwa gamelan sudah dinisbat sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Tentu saja kita patut berbangga atas pencapaian itu. Tetapi, apakah penisbatan tersebut telah berimbas kepada seluruh lapisan pelaku gamelan? Saya rasa, akan terlalu arogan jika mengatakan sudah.

Peniti adalah salah satu ikhtibar yang bernas dalam mengungkap imbas tersebut. Hingga hari ini, tak sedikit orang maupun pemain gamelan sekalipun yang memandang sebelah mata eksistensi peniti. Ia hanya dianggap sebagai pelengkap, remeh, bahkan lebih banalnya tak dihiraukan sama sekali. 

Anggapan tersebut tentu tak sebanding dengan laku hidup seorang peniti. Tanpa jasanya, kumandang gamelan tak mungkin memesona. Pemain gamelan (yang di atas panggung) tak mungkin bermain, beraksi, bergaya, maupun beradu kebolehan dengan nyaman, tenang, dan jauh dari kecemasan. Tanpa jasanya juga, nilai tentang kesakralan dan kekeramatan gamelan mungkin saja telah lama bangkrut.

Laku peniti memang dalam lorong yang sunyi tetapi semestinya tidak dengan penghargaannya. Peniti harus tetap dihargai eksistensinya. Ironisnya, untuk sekedar mengapresiasi eksistensi peniti saja kita masih jauh dari kata sudah. Lantas, bagaimana dengan kehidupan para peniti?

Hingga hari ini, tak sedikit peniti yang hidupnya masih terlunta-lunta. Upah dari profesi peniti tak sebanding dengan keharuman dan kesohoran gamelan. Lebih pedih lagi, upah yang diterima terkadang tak berwujud materi melainkan hanya kata-kata: matur nuwun! Tak heran jika banyak peniti yang harus menyambung hidup dengan profesi lainnya.

Peniti tak mengeluh atas kekurangan-kekurangan itu sebab motivasinya adalah untuk menjaga denyut gamelan agar terus lestari. Selain itu, mereka tidak tahu harus mengadu ke mana dan siapa. Apakah ke dalang atau ke komposer gamelan? 

Sayangnya, percakapan tentang kelayakan upah masih saja dianggap tabu dalam budaya musik gamelan. Padahal, sejatinya, itu adalah hal yang fundamental. Alih-alih memikirkan upah yang layak, kita saja sesungguhnya belum tuntas dalam menyadari eksistensi dari peniti. Padahal, kesadaran atas hal tersebut adalah penghargaan paling mendasar.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here