Lemari Narnia, Tongkat Harry Potter, dan Biola Henki: Bagaimana Mereka Menyihir dan Menyelamatkan Orang Dewasa?
Lemari Narnia, Tongkat Harry Potter, dan Biola Henki: Bagaimana Mereka Menyihir dan Menyelamatkan Orang Dewasa?

Siapa bilang cerita anak cuma untuk anak-anak? Anggapan ini sudah terlalu lama menghantui rak-rak buku di toko buku dan perpustakaan kita. Padahal, kalau mau jujur, berapa kali kita—yang sudah mengaku dewasa ini—diam-diam tersenyum, bahkan meneteskan air mata saat membaca buku yang katanya “untuk anak-anak”?

Dalam perdebatan panjang mengenai ruang gerak bacaan anak, terdapat pandangan yang selama ini cenderung menyimpulkan bahwa cerita anak hanyalah wadah konsumsi semata untuk kalangan bocah. Namun, ketika kita mengkritisi dan menelusuri kedalaman dari setiap narasi yang terkandung di dalamnya, secara inheren kita menemukan bahwa cerita anak adalah medium yang menyimpan lapisan dimensi, simbolisme, dan pesan kemanusiaan yang tidak hanya relevan bagi anak-anak, tetapi juga orang dewasa.

Peter Pan dan Neverland acapkali digambarkan sebagai kisah petualangan epik seorang bocah, namun ironisnya, novel Peter Pan (2020) karya J.M. Barrie menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah kisah ini sebenarnya diciptakan untuk anak-anak, atau lebih tepatnya untuk menyentak pikiran orang dewasa? Demikian catatan Setyaningsih dalam Peter Pan: Paradoks Kedewasaan dan Masa Kanak di majalah Basis, Juni 2020. Tulisan Setyaningsih tentang Peter Pan menggali paradoks masa kanak-kanak yang diciptakan dan dipertahankan oleh orang dewasa, mengeksplorasi ketegangan antara kebebasan imajinasi anak dan tuntutan moralitas serta kedewasaan yang dipaksakan oleh dunia sosial.

Dalam Neverland, Setyaningsih menunjukkan bagaimana anak-anak mencari ruang untuk melarikan diri dari norma-norma yang membatasi, sementara orang dewasa sering kali kehilangan kemampuan untuk mempertahankan keajaiban dan imajinasi masa kecil. Peter Pan, yang menolak tumbuh dewasa, menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan sosial untuk menjadi “dewasa,” sementara Wendy dan generasi setelahnya terpaksa meninggalkan dunia khayalan demi tuntutan kehidupan nyata, menciptakan dilema antara mempertahankan kebocahan dan menerima tanggung jawab kedewasaan.

- Poster Iklan -

Cerita anak, dengan bahasa yang sederhana dan imaji yang kadang tak terduga, justru mampu menyentuh sisi-sisi terdalam kita yang sering kali terkubur di bawah tumpukan tagihan bulanan dan tubian jadwal rapat. Mereka mengajak kita bertanya: apakah kedewasaan berarti meninggalkan imajinasi? Apakah menjadi rasional berarti kehilangan kemampuan untuk takjub?

Cara pandang Setyaningsih rupanya ditesiskan Maria Nikolajeva, seorang pakar sastra anak, penulis buku Children’s Literature Comes of Age: Toward a New Aesthetic” (1996). Nikolajeva mengapungkan opini kalau sastra anak selalu mencerminkan ketegangan antara keinginan untuk melindungi anak-anak dan kebutuhan untuk mempersiapkan mereka menghadapi realitas dunia. Sastra anak berevolusi sebagai genre yang semakin matang dan kompleks, serta bagaimana sastra anak ditantang menangani tema-tema yang lebih serius.

Argumentasi ini mengandung implikasi mendalam, sesungguhnya cerita anak tidak hanya berfungsi sebagai pelarian dari realitas, tetapi berfungsi sebagai jembatan untuk memahami kompleksitas dunia. Bagi orang dewasa, membaca cerita anak memfasilitasi, menyegarkan pengalaman, dan membuka mata, karena cerita-cerita tersebut sering kali menyajikan perspektif yang berbeda dari narasi dominan yang telah terinternalisasi dalam pikiran orang dewasa.

Di balik bahasa yang tampak sederhana—kadang terasa ganjil dan penuh imaji tak terduga—tersimpan sebuah cerita yang diam-diam mengajak kita bercermin. Lucu juga, bagaimana buku anak-anak bisa begitu jujur menampilkan pertarungan antara mimpi-mimpi masa kecil dan kenyataan hidup yang kadang terlalu pahit untuk ditelan bulat-bulat.

Peter Hunt, dengan kacamata kritisnya, pernah bilang bahwa sastra anak sebenarnya adalah arena orang dewasa memproyeksikan harapan, ketakutan, dan kerinduan mereka akan masa lalu. Mungkin itulah sebabnya kita, yang sudah terlanjur dewasa ini, masih saja terpesona oleh cerita-cerita yang katanya “untuk anak-anak”. Seolah-olah, di antara petualangan sederhana dan karakter-karakter yang gamblang, tersembunyi undangan halus untuk melihat kembali kompleksitas hidup kita sendiri. Bukankah menarik?

Lalu siapa sangka, kisah tentang bocah berkacamata dengan bekas luka berbentuk petir di dahinya bisa begitu menyihir dunia? Harry Potter telah menjelma menjadi fenomena yang melampaui “sekadar cerita anak-anak”. Seru juga, bagaimana kita semua, entah berusia 15 atau 50 tahun, bisa sama-sama terpesona oleh dunia yang penuh mantra dan sapu terbang melayang.

Coba bayangkan: ketika kita sedang kesal dengan BBM kendaraan kita yang ternyata dioplos, berita pemutusan hubungan kerja yang berseliweran di FYP, timbunan berita korupsi sana sini, tiba-tiba ada pintu ajaib yang membawa kita ke Hogwarts. Ah, siapa yang tidak tergoda? Di sana–di antara koridor-koridor kastil tua dan kelas-kelas sihir yang kacau, kita menemukan kembali rasa takjub yang mungkin sudah lama hilang tertelan rutinitas.

Tengoklah tiras penjualan buku Harry Potter. 500 juta eksemplar! Serial itu diterjemahkan dalam 80 bahasa, bukan main-main lho. Itu artinya, di sudut-sudut dunia yang bahkan mungkin tak pernah kita kunjungi selama hidup, ada orang-orang yang juga menangis ketika Dumbledore pergi, atau tertawa saat Fred dan George Weasley membuat ulah. Ada sesuatu yang mengharukan dalam kebersamaan tak terlihat ini.

Atau coba saja baca kumpulan cerita Soesilo Toer dalam Nasib Seorang Penebang Kayu dan Kisah Lainnya (2019). Buku tersebut merupakan kumpulan ceritan bersambung yang dipublikasikan di beragam majalah anak-anak seperti Putra-Putri, Kuncung, dan Kunang-kunang (yang kemudian bersalin nama menjadi Remaja). Dikisahkan seorang anak laki-laki bernama Henki bersahabat dengan Meneer Kleber, seorang pemain biola dan pencipta lagu. Henki yang anak kampung akhirnya mengenal kisah Taman Hijau (Green Park) di London, tempat Sarah Flower Adams dan Ayahnya memperjuangkan dan aktif membela hak asasi manusia.

Henki kecil diasuh dengan kisah gerilyawan cum penebang kayu, yang disiksa tentara dalam penjara, tapi berhasil memenangkan sayembara roman. Karya-karya penebang kayu dialihbahasakan ke berbagai bahasa asing. Ia jadi pengarang hebat. Nasibnya mujur, meski harus lebih dulu babak belur. Henki diganjar banyak kisah orang-orang istimewa. Lha cerita untuk anak bisa seserius itu. Seserius persoalan pelik yang hari-hari ini menimpa Republik ini. Nanti buku ini akan saya ulas khusus dalam artikel terpisah.

Hemat penulis, sastra anak jelas menantang dikotomi antara dunia anak dan dewasa, sekaligus mengakui bahwa batas-batas tersebut sering kali buatan dan mengungkung. Dalam kisah-kisah yang tersaji, terdapat cermin bagi orang dewasa untuk mengintrospeksi kondisi emosional dan spiritual mereka, memungkinkan mereka kembali ke dalam ruang imajinatif yang pernah lama hilang.

Sekali lagi, cerita anak bukanlah sekedar cerita dongeng untuk menidurkan anak-anak. Melainkan, cerita tersebut merupakan medium yang mendorong dialog lintas generasi dalam memaknai nilai-nilai hidup, mempertanyakan keberadaan realitas sosial yang kompleks dan dinamis. Cerita anak mengundang orang dewasa untuk kembali merasakan kepekaan dan imajinasi yang seringkali terkikis oleh logika rasional kehidupan dewasa.

Kita dapat memandang kritis bahwa, dalam era di mana dunia yang sedang tak baik-baik saja membaca cerita anak berpotensi menjadi bentuk perlawanan terhadap narasi dominan yang mengekang kreativitas dan empati. Ini adalah panggilan untuk menghidupkan kembali semangat humanisme melalui teks-teks yang memancarkan keajaiban masa kecil—sebuah panggilan yang tidak boleh diabaikan oleh siapapun yang peduli dengan masa depan literasi dan kemanusiaan.

C.S. Lewis—penulis Narnia yang jenius itu—pernah menulis bahwa cerita anak yang baik haruslah menarik bagi orang dewasa juga. Kenapa? Karena cerita tersebut berbicara tentang pengalaman manusia yang universal. Tentang ketakutan, harapan, cinta, dan keberanian—hal-hal yang tak pernah berubah entah kita berusia 7 atau 70 tahun.

Di era yang serba terfragmentasi ini, membaca cerita anak adalah bentuk perlawanan kecil-kecilan. Perlawanan terhadap dunia yang terlalu serius, terlalu sibuk, dan kadang terlalu takut untuk bermimpi. Setiap kali kita membuka buku cerita anak, kita membuka kembali pintu menuju ruang di mana keajaiban masih mungkin terjadi. Siapa tahu juga para penguasa di atas singgasana tergerak mengubah kebijakannya lebih prorakyat, setelah baca cerita anak.

- Cetak Buku dan PDF-

2 COMMENTS

  1. Bagi orang yang gak pernah terjun di dunia kepenulisan anak, kebanyakan mereka memandang remah. Padahal, saya merasakan sendiri, ternyata membuat cerita anak jauh lebih susah dari pada novel untuk orang dewasa yang mau dibuat gimana pun bebas saja.

  2. […] dalam The Lorax, atau bebek yang berhasil melarikan diri tapi terkepung kaki manusia, cerita-cerita ini mungkin terlihat kecil dan tidak signifikan di hadapan bisingnya mesin politik dan ekonomi yang […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here