Menjadi mahasiswa adalah fase paling menentukan dalam hidup. Di bangku kuliah, bukan hanya gelar yang dipersiapkan, tetapi juga cara berpikir, sikap, dan karakter. Di tengah arus digital yang cepat dan bising, membaca buku sering kali dianggap tidak relevan. Padahal, banyak pemimpin besar justru lahir dari kebiasaan yang terlihat sunyi yakni membaca.
Berbagai studi kepemimpinan menunjukkan bahwa kebiasaan membaca memiliki korelasi kuat dengan kualitas kepemimpinan. Bukankah mahasiswa seharusnya diciptakan untuk menjadi pemimpin? Pernah ada sebuah survei yang mencatat bahwa sebagian besar pemimpin sukses dunia mengalokasikan waktu khusus untuk membaca setiap hari, rata-rata 30 menit hingga satu jam. Mereka membaca bukan hanya buku teknis, tetapi juga sejarah, filsafat, biografi, dan sastra. Dari sanalah mereka membentuk kedalaman berpikir dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Membaca melatih mahasiswa untuk berpikir jangka panjang. Buku tidak menawarkan kepuasan instan seperti media sosial. Ia menuntut kesabaran, ketekunan, dan fokus. Karakter ini sangat penting bagi calon pemimpin. Pemimpin yang dikenang bukanlah mereka yang reaktif, tetapi mereka yang mampu melihat persoalan secara utuh dan mengambil keputusan dengan pertimbangan matang. Kebiasaan membaca menumbuhkan kemampuan tersebut secara perlahan namun konsisten.
Kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah kompleks, dan literasi tinggi adalah tiga kompetensi utama pemimpin masa depan. Ketiganya sangat berkaitan dengan kebiasaan membaca. Mahasiswa yang rutin membaca lebih terlatih memilah informasi, tidak mudah terprovokasi, dan mampu memahami perbedaan sudut pandang. Ini menjadi modal sosial yang penting dalam memimpin masyarakat yang majemuk.
Membaca juga membentuk empati. Buku seperti sejarah dan biografi mengajak pembacanya memahami kegagalan, penderitaan, dan perjuangan orang lain. Banyak pemimpin besar dikenang bukan karena kekuasaan, tetapi karena empatinya. Mereka mampu hadir sebagai manusia, bukan sekadar otoritas. Kebiasaan membaca membuat seseorang lebih peka terhadap realitas sosial dan lebih bijak dalam menggunakan kekuasaan.
Sebaliknya, data tentang kebiasaan digital mahasiswa menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Beberapa survei nasional memperlihatkan bahwa rata-rata mahasiswa menghabiskan lebih dari empat jam per hari untuk media sosial dan hiburan digital. Waktu membaca buku nonakademik berada jauh di bawah satu jam per hari. Ketimpangan ini berdampak pada menurunnya daya konsentrasi dan meningkatnya kecenderungan berpikir dangkal. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko melahirkan generasi yang reaktif, mudah terpengaruh, dan miskin refleksi.
Game online dan media sosial sebenarnya bukan musuh. Keduanya bisa menjadi sarana hiburan dan relaksasi. Namun, ketika dikonsumsi tanpa batas, keduanya dapat menggerus kualitas kepemimpinan. Kecanduan gawai berhubungan dengan rendahnya kemampuan pengambilan keputusan dan kontrol emosi. Padahal, pemimpin yang dikenang masyarakat justru dikenal karena ketenangan dan kebijaksanaannya, bukan karena reaksi emosional sesaat.
Membaca buku menjadi penyeimbang yang penting. Mahasiswa hari ini memiliki akses luas ke e-book, jurnal online, dan perpustakaan digital. Artinya, hambatan membaca bukan lagi soal fasilitas. Sebenarnya. Melainkan kemauan dan kebiasaan. Membaca 10–20 halaman per hari mungkin terlihat kecil, tetapi dalam setahun dapat menghasilkan puluhan buku dan perubahan cara berpikir yang signifikan.
Sejarah juga memberi bukti kuat. Banyak pemimpin yang dikenang masyarakat adalah pembaca setia. Mereka dikenal bukan hanya karena keputusan besar, tetapi karena gagasan yang bertahan lintas generasi. Gagasan itu lahir dari proses membaca, merenung, dan memahami dunia secara lebih dalam. Membaca membuat pemimpin tidak hanya populer sesaat, tetapi relevan dalam ingatan kolektif masyarakat.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan perlu menyadari hal ini sejak dini. Kepemimpinan bukan soal jabatan, tetapi pengaruh. Pengaruh yang kuat lahir dari pikiran yang matang. Membaca adalah jalan sunyi menuju kematangan itu. Tidak selalu terlihat. Tidak selalu diapresiasi langsung. Namun dampaknya nyata dan berjangka panjang.
Kebiasaan membaca memberi mahasiswa lebih dari sekadar pengetahuan. Data dan pengalaman menunjukkan bahwa membaca membentuk cara berpikir kritis, empati, dan visi jangka panjang. Tiga kualitas utama pemimpin yang dikenang masyarakat. Di tengah dominasi media sosial dan game online yang berpotensi mengikis fokus dan kedalaman berpikir, membaca menjadi penyeimbang yang krusial. Mahasiswa yang memilih membaca hari ini sedang menyiapkan dirinya bukan hanya untuk sukses, tetapi untuk menjadi pemimpin yang berarti dan diingat oleh zamannya.





















