“Saya percaya pada manusia, dan bahwa semua manusia harus dihormati seperti itu, terlepas dari warna mereka.” – Malcolm X.
Ia seorang Afro-Amerika kelahiran Omaha, Nebraska, Amerika Serikat pada 19 Mei 1925. Namanya Malcolm Little, yang kemudian seiring berjalannya waktu, Malcolm mengubah nama “Little” menjadi X. Karena kala itu kata “Little” disematkan oleh orang-orang kulit putih yang berarti Budak atau orang-orang kecil. Malcolm merupakan anak ke-11 dari Earl Little dan Louise Helen Norton Little, yang mana mereka juga termasuk pejuang dan aktivis UNIA atau Universal Negro Improvement Association. Waktu itu di Amerika tengah mengalami krisis finansial terkait ekonomi-sosial pada 1920-an. Nah, akibat dari krisis ini penduduk Amerika yang berkulit hitam sangat kesulitan. Mereka sering didiskriminasi dalam berbagai hal baik dalam hal Individual maupun sosial. Tempat-tempat umum seperti kamar mandi dan tempat makan disekatkan dan dikhususkan bagi ras kulit putih dan ras kulit hitam.
Malcolm dan kawan-kawannya sangat kesulitan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Seringkali dihujat dan bahkan dihujani kebencian yang sangat membabi buta. Kendati demikianlah yang membuat ayah Malcolm, Earl Little dan seluruh keluarganya sering berpindah-pindah tempat tinggal atau yang kita kenal dengan Nomaden. Kenapa sih kok keluarganya Malcolm berpindah-pindah? Penyebabnya adalah mereka acap kali diganggu oleh anggota K3 (Ku Klux Klan) dan bahkan membakar rumah milik Earl Little pada 1929. Itulah yang membuat Malcolm menjadi geram dengan kehidupan masa itu.
Namun, suatu ketika ayahnya Malcolm meninggal dunia akibat tewas dalam kecelakaan yang diduga merupakan skenario Black Legion yang berkaitan dengan Ku Klux Klan. Malcolm kecil masih berusia 6 tahun kala itu yang hidup dalam kemiskinan di sebuah daerah kumuh di Harlem, New York. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan seorang anak ketika kehilangan orang terdekat yang mana itu adalah ayah kandungnya sendiri. Kendati demikian, membuat ibunya Malcolm bersusah paya menafkahi mereka sampai-sampai mereka dititipkan ke panti asuhan ketika ibu mereka dirawat dirumah sakit hingga bertahun-tahun lamanya.
Malcolm dikenal sebagai siswa yang pintar dan cerdas ketika menginjak di bangku sekolah. Pada masa remajanya, dia sangat mencintai dunia pendidikan. Hingga pada suatu ketika berada dalam ruang kelas seorang guru bahasa Inggris bernama Mr. Otrowski, Malcolm mendapat pertanyaan; “Malcolm, apa cita-cita kamu?” kata guru itu. Sahut Malcolm dengan penuh percaya diri, ”saya ingin menjadi seorang Pengacara.” Kemudian guru itu berkata kepada Malcolm sembari mengejek, “kamu tidak pantas menjadi pengacara, kamu itu cocoknya menjadi tukang kayu”. Ini disebabkan Malcolm adalah kaum kulit hitam plus beragama Islam (minoritas) sehingga dianggap cita-citanya tidak realistis. Malcolm akhirnya resah dan pergi melepaskan diri dari bangku sekolah karena anggapan anak-anak orang kulit putih yang menyuruhnya melupakan cita-cita mulianya itu.
Lalu, pada 1941, Malcolm pindah ke Roxbury-Boston dan tinggal bersama dengan saudari kandungnya Ella Little-Collins. Di tempat inilah kemudian membuat Malcolm menjadi frustasi akibat diskriminasi yang menimpa mereka. Kemudian dia dijebloskan kedalam penjara selama 10 tahun karena dituduh melakukan perampokan pada 1946. Hal ini merupakan dampak dari lingkungan yang dipijakinya. Di situlah dia tenggelam dalam “dunia gelap”, ia kerap kali memakai narkoba, mabuk miras, berjudi, dan mencuri. Semua bentuk kriminal ini tentu tujuannya untuk memuaskan hasrat kebencian yang digeneralisasikannya untuk kelompok “white people”.
Karena tindakan kriminal yang dilakukannya, Malcom dipenjara. Waktu itu, Malcolm masih berusia 21 tahun ketika menjalani masa kurungan di Rumah Tahanan Charlestown. Karena kecerdasannya, penjara menjadi tempat rehabilitasi pikiran dan sikapnya. Dia menghabiskan setiap hari waktu di dalam rumah tahanan hanya untuk membaca buku di perpustakaan penjara bersama dengan seorang temannya bernama John Bembry. Di dalam Rumah Tahanan inilah Malcolm mulai mengenal dan mendengar tentang Nation Of Islam (NOI). Nah, organisasi ini memperjuangkan hak-hak sipil kaum “Black Muslim Peoples” di Amerika karena pemeluknya orang-orang Islam yang dipimpin oleh Elijah Muhammad.
Dia mendapatkan kehidupan yang sedikit bebas di dalam penjara itu dengan dorongan semangat belajar secara otodidak dari temannya John Bembry. Selain itu, ada dukungan dari adik kandungnya bernama Reginald yang mengajaknya untuk memeluk agama Islam agar Malcolm berhenti merokok dan tidak makan daging babi. Reginald adalah adik kandungnya yang sudah bergabung di organisasi “Black Muslims” yang sempat menjenguknya pada 1948. Ketika telah bergabung dengan organisasi ini, Malcolm pernah mengkritik beberapa ajaran Elijah Muhammad yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya seperti ajaran yang mengatakan bahwa “Orang kulit putih adalah Setan, dan orang kulit hitam lebih tinggi nilainya daripada orang kulit putih.” Ada juga yang mengatakan bahwa Elijah Muhammad adalah utusan dari Allah atau seorang Nabi. Inilah alasan dibalik kritikan Malcolm terhadap Nation Of Islam.
Alhasil pada 1952 Malcolm X dibebaskan dari penjara karena tingkahnya yang baik dan mendapat pembebasan bersyarat empat tahun lebih cepat dibanding hukuman yang seharusnya. Setelah menghirup udara bebas dia sepenuhnya memulai reputasinya sebagai aktivis kulit hitam di NOI. Dan resmi menganut agama Islam. Malcolm juga resmi mengubah nama “Little” menjadi “X” yang melambangkan nama leluhur Afrika yang tidak dia ketahui. Ini sama persis dengan tokoh kulit hitam yang dikenal sebagai seorang petinju legendaris dunia yang bernama asli Cassius Clay kemudian diganti ketika memeluk agama Islam yang diubah menjadi “ Muhammad Ali”.
Ketika keluar dari penjara Malcolm langsung menghubungi Elijah Muhammad yang berkantor di Chicago. Bersama Elijah Muhammad, Malcolm belajar banyak tentang ajaran-ajaran Islam dan meresapinya. Gemilang memancar ketika berada di Nation Of Muslims. Dia sangat dikenal oleh khalayak orang karena reputasinya dalam melawan rasionalisme dan superioritas dari kaum kulit putih. Sudah banyak orang yang mengaguminya kala itu karena kebaikan dan kepeduliannya dalam membela harkat dan martabat “ Black Muslim Peoples”. Seiring berjalannya waktu Malcolm menikahi seorang puan sesama aktivis di NOI, Betty Sanders, dan dikaruniai enam orang anak yang dua di antaranya anak kembar.
Karena kegemilangannya, pada era 1950-an, Malcolm dianggap sebagai komunis yang menentang dan dianggap berbahaya bagi keamanan negeri Paman Sam khususnya orang kulit putih. Waktu itu masih berdampingan dengan Perang Dingin dengan Rusia. Kontroversinya juga ketika Presiden John F Kennedy terbunuh pada 1 Desember 1963 membuatnya sangat senang. Di samping itu, karena kepintaran dan pikiran kritis-nya membuat Elijah Muhammad merasa tersaingi dan sudah agak redup atas dukungannya terhadap Malcolm. Karismatiknya ketika menjadi orator sangat memukau karena NOI menginginkan Muslim menjadi negara terpisah khususnya kaum kulit hitam.
Malcolm tidak menyetujui cara pandang Martin Luther King yang menganggap bahwa kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan. Sekitar dua tahun setelahnya, Malcolm keluar dari organisasi NOI. Kemudian, ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama OAAU (Organization of Afro-American Unity) pada 1964. Perhimpunan ini bertujuan untuk melawan dan berperang terhadap rasialisme. Dalam perenungan Malcolm berkeinginan untuk pergi ke Mekkah dan ingin mendalami agama Islam disana. Dibantu saudaranya Ella untuk biaya perjalanan menuju Mekkah menggunakan pesawat United Arab Airlines dari Eropa ke Mekkah. Ketika sampai di Mekkah, Malcolm sangat terkejut ketika melihat jutaan bahkan miliaran umat Islam sedang berada di Ka’bah itu. Dalam Autobiografinya Malcolm berkata, “banyak sekali muslim di sana, mereka saling merangkul dan berpelukan tanpa memandang warna kulit, saya sendiri melihat tidak ada masalah warna kulit disani, saya seolah-olah seperti baru saja keluar dari rumah penjara”.
Malcolm mendapat penghormatan sebagai tamu pribadi dari pangeran Faisal Bin Abdul Aziz. Di sana dia merasa menjadi seorang muslim sejati dan kemudian mengganti namanya menjadi El-Hajj Malik el-Shabazz. Di sana Malcolm merasakan keseimbangan kemanusiaan yang berbeda jauh dengan orang-orang non-muslim kulit putih di negara sebelumnya. Sembari mendalami kajian Islam dia tak lupa menulis surat untuk istrinya yang bertuliskan “Di tanah Muhammad dan anah Ibrahim, saya telah diberi berkah oleh Allah dengan kesadaran baru akan agama Islam yang sejati”.
Setelah mengembara di tanah suci, dia kemudian bertemu dengan petinggi-petinggi negara lain, seperti Mesir, Nigeria, Tanzania, Guinea. Inilah yang membuat Amerika memandang Malcolm sebagai orang yang tidak rasialis lagi seperti yang ditulis dalam sebuah tesis milik Yosep Devers tentang Malcolm X yang mengatakan bahwa, “Ketika kembali dari Mekkah, Malcolm menyatakan harapan timbulnya persaudaraan sejati antara Black People dan White People”.
Mekkah memberikan dampak yang luar biasa bagi pandangan-pandangan Malcolm yang dulunya menentang Separatisme dan perkawinan campur antar-ras. Dari sikap dan tingkahnya inilah yang membuat dia dibenci oleh Elijah dan organisasinya The Nation of Islam. Hingga tepat di hari kematian tragisnya pada Minggu, 21 Februari 1965. Hari itu juga Malcolm X ingin menyampaikan pidatonya di sebuah gedung di New York. Ketika itu dia berada di depan mimbar sembari mengucapkan salam Islam “ Assalamu’alaikum…..” tepat pada ucapan inilah terjadi penembakan terhadap Malcolm X diikuti kericuhan yang sangat menggempar. Siapakah yang membunuh Malcolm X? mereka ada tiga orang yang bernama Norman Butler, Thomas Johnson dan Talmadge Hayer yang dibayar untuk membunuh Malcolm X diringkas dari pengakuan salah seorang dari ketiganya yang tidak mau mengatakan dengan jujur siapa yang membayarnya sampai sekarang ini.
Inilah kisah dari seorang Aktivis Muslim Kulit Hitam yang telah menemui Tuhan-nya ketika bunga pikiran dan aksi-nya mekar setelah pulang menjuarai Mekkah.