Indonesia memiliki kekayaan tambang yang luar biasa, mulai dari batu bara, emas, nikel, hingga bauksit. Komoditas tambang ini selama puluhan tahun menjadi tulang punggung perekonomian nasional, menyumbang devisa, lapangan kerja, hingga mendukung industri dalam negeri. Sayangnya, di balik manfaat besar sektor tambang, kerusakan lingkungan semakin mengkhawatirkan. Tanah longsor di area tambang, lahan adat yang tergusur, hingga lubang-lubang bekas tambang yang dibiarkan begitu saja menghantui banyak daerah di Indonesia.

Lebih parah lagi, praktik pertambangan diwarnai dengan maraknya tambang ilegal dan dugaan pejabat yang ikut bermain dalam bisnis tambang, sehingga pengawasan dan penerapan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) pun kerap hanya formalitas. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia tampak masih terlalu jauh untuk serius berbicara tentang energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.

Manfaat Tambang: Penopang Ekonomi Nasional

Tidak bisa dipungkiri, sektor tambang memberi manfaat nyata bagi Indonesia:
Sumber devisa negara: Ekspor tambang memberi pemasukan besar bagi APBN.
Lapangan kerja: Ratusan ribu orang menggantungkan hidup di sektor tambang dan turunannya.
Pembangunan daerah: Infrastruktur seperti jalan, listrik, dan air bersih sering muncul di sekitar tambang.
Bahan baku industri: Nikel untuk baterai, bauksit untuk aluminium, dan batu bara untuk pembangkit listrik.

Namun, semua manfaat ini tak sebanding jika kerusakan yang ditinggalkan jauh lebih besar dan sulit diperbaiki.

- Poster Iklan -

AMDAL: Sekadar Formalitas?

Secara regulasi, setiap proyek tambang wajib menyusun AMDAL sebagai syarat untuk memperoleh izin operasi. AMDAL bertujuan memastikan bahwa dampak lingkungan dari tambang dapat dikendalikan, mulai dari reklamasi lahan, pemulihan ekosistem, hingga perlindungan sosial bagi masyarakat sekitar.

Sayangnya, penerapan AMDAL sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak perusahaan tambang, termasuk yang legal sekalipun, hanya menjadikan AMDAL sebagai syarat administrasi. Belum lagi keberadaan tambang ilegal yang sama sekali tidak punya AMDAL dan beroperasi di luar pengawasan pemerintah.

Dampak nyata di lapangan pun mencengangkan:

  • Tanah longsor di area tambang karena penyangga tanah rusak.
  • Lahan adat masyarakat tergusur, kadang tanpa ganti rugi yang layak.
  • Lubang bekas tambang dibiarkan terbuka, mengancam keselamatan warga dan ekosistem.

Ironisnya, praktik tambang ilegal bahkan diduga mendapat “perlindungan” dari oknum-oknum pejabat. Situasi ini jelas memperumit penegakan hukum, membuat AMDAL dan aturan lingkungan lainnya menjadi tidak bergigi.

Energi Baru Terbarukan: Masih Sekadar Wacana

Di tengah kondisi lingkungan yang rusak akibat tambang, idealnya Indonesia sudah mulai beralih ke energi baru terbarukan seperti surya, angin, air, hingga bioenergi. Sayangnya, bauran energi nasional masih didominasi batu bara dan energi fosil.

Investasi EBT kalah jauh dibanding sektor tambang, regulasi yang lemah, serta visi politik yang belum jelas membuat Indonesia tertinggal jauh dalam transisi energi hijau. Sementara negara lain sudah mulai mengurangi ketergantungan pada tambang demi masa depan berkelanjutan, Indonesia justru masih memanjakan sektor tambang tanpa pembenahan serius.

Perlu Langkah Nyata, Bukan Wacana

Manfaat ekonomi tambang memang besar, tapi kerusakan lingkungan yang diciptakan juga nyata. Jika terus dibiarkan, masa depan lingkungan dan generasi mendatang akan terancam.

  • Penegakan hukum pada tambang ilegal dan pejabat yang bermain harus diperketat.
  • Penerapan AMDAL harus diawasi ketat, bukan sekadar formalitas.
  • Reklamasi lubang bekas tambang wajib dilakukan.
  • Investasi dan regulasi energi baru terbarukan harus diprioritaskan.

Sudah saatnya Indonesia berhenti memandang tambang sebagai jalan pintas ekonomi tanpa memperhitungkan biaya ekologis yang mahal. Masa depan yang hijau dan berkelanjutan hanya mungkin jika kita berani melakukan perubahan dari sekarang.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here