Saat membuka halaman Mataraisa, pembaca akan langsung merasa dekat dengan Raisa Fairuza, seorang perempuan muda yang cerdas, kritis, dan penuh rasa ingin tahu. Raisa bukan sekadar tokoh utama; dia adalah representasi perempuan modern yang menolak diam menghadapi ketidakadilan. Dari cara ia menulis hingga caranya memandang dunia, Raisa menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki suara yang layak didengar—bahkan di ruang-ruang yang selama ini dikuasai tafsir patriarkal.

Keberanian Raisa untuk mempertanyakan norma lama menjadi daya tarik utama novel ini. Ia menantang tradisi yang mengekang perempuan sambil tetap menjaga integritas dirinya sebagai Muslimah. Pembaca akan merasakan bahwa perjuangan untuk kesetaraan bukan sekadar teori, melainkan kehidupan nyata yang membutuhkan keberanian, ketekunan, dan konsistensi. Raisa menjadi contoh nyata bagaimana perempuan bisa menulis ulang narasi lama dan menegaskan posisi mereka dalam masyarakat dengan elegan.

Selain itu, cara Abidah El Khalieqy menulis karakter Raisa membuat pembaca merasa seolah ikut berada di dalam dunianya. Kita bisa melihat Raisa menulis, membaca, berdiskusi, hingga merenung tentang tafsir-tafsir lama yang selama ini mengekang perempuan. Proses-proses ini membuat novel terasa hidup, tidak hanya sebagai cerita fiksi, tapi juga sebagai refleksi bagi pembaca tentang peran perempuan di masyarakat modern.

Salah satu aspek paling menarik dari Mataraisa adalah bagaimana Raisa menghadapi tafsir lama yang menempatkan perempuan di posisi subordinat. Abidah El Khalieqy membingkai kritik ini secara elegan melalui perjalanan Raisa. Ia menelaah teks-teks lama, mempertanyakan tafsir yang bias, dan menafsirkan kembali nilai-nilai agama secara adil.

- Poster Iklan -

Raisa menghadapi konflik internal dan penolakan dari orang-orang di sekitarnya. Ada momen ketika ia merasa bimbang, takut salah, atau dicap melawan tradisi. Namun, konflik-konflik ini justru membuat perjalanan Raisa terasa manusiawi dan menginspirasi. Novel ini menekankan bahwa menantang tafsir lama bukan berarti menentang agama, melainkan menunjukkan bahwa agama dan kesetaraan bisa berjalan beriringan jika dipahami secara kritis.

Melalui Raisa, novel ini menghadirkan perspektif feminisme Islam yang jarang muncul dalam sastra Indonesia: kritis, tapi tetap menghormati iman. Pembaca diajak berpikir bahwa tafsir agama bukan sesuatu yang statis; tafsir bisa dipahami dengan keadilan dan kesadaran terhadap konteks sosial yang lebih luas.

Di tengah perjuangan sosial, Mataraisa juga menampilkan kisah cinta Raisa dengan Fozan Ibadi, seorang dosen muda di Yogyakarta. Namun, romansa ini bukan tipe klise yang mendominasi cerita. Hubungan mereka menjadi medium bagi Raisa untuk menegaskan prinsip hidupnya. Cinta dan keadilan berjalan seiring, saling melengkapi, bukan mengekang.

Ada momen manis saat mereka berbagi tawa, secangkir kopi, atau cerita ringan di tengah malam. Tapi juga ada perdebatan serius yang menguji pemahaman masing-masing. Konflik ini membuat karakter Raisa terasa nyata—idealistis, tapi tetap manusiawi. Kisah cinta ini menambah warna tanpa mengurangi fokus utama pada perjuangan kesetaraan gender.

Hubungan mereka menunjukkan bahwa perempuan bisa menyeimbangkan kehidupan pribadi dan prinsip hidup. Cinta tidak membuat lemah, justru bisa memperkuat keberanian dan keyakinan pada nilai-nilai yang diyakini. Ini menjadi pelajaran bahwa kehidupan ideal perempuan bukan sekadar memilih antara cinta atau prinsip, tetapi mampu menyatukan keduanya dengan cara yang elegan.

Baca Mataraisa, dan pembaca akan menyadari bahwa ini bukan sekadar novel biasa, tapi semacam manifesto feminisme yang diselipkan dalam kisah sehari-hari. Novel ini mengajarkan keberanian, pemikiran kritis, dan pentingnya menyuarakan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.

Nilai unik dari novel ini adalah keseimbangan antara feminisme dan agama. Raisa membuktikan bahwa memperjuangkan hak perempuan bukan berarti menentang iman, melainkan menafsirkan nilai-nilai agama secara adil dan setara. Novel ini memberi perspektif baru bagi pembaca Muslim yang ingin melihat isu gender dari sudut pandang segar—bahwa feminisme dan keyakinan bisa sejalan.

Selain itu, novel ini mendidik pembaca tentang pentingnya literasi kritis. Raisa menggunakan tulisan dan argumen rasional untuk menyuarakan perubahan. Novel ini menjadi pengingat bahwa pengetahuan dan keberanian berpikir kritis adalah senjata ampuh dalam menantang ketidakadilan. Ia mengajarkan bahwa perempuan bisa menjadi agen perubahan tanpa menanggalkan iman atau identitas diri.

Membaca Mataraisa membuat pembaca merasa ikut berjalan bersama Raisa—merasakan kegelisahan, perjuangan, dan kemenangan kecilnya. Abidah El Khalieqy berhasil menyajikan kisah yang kompleks tapi tetap mengalir dengan ringan. Dari perjuangan menantang tafsir lama, kritik terhadap patriarki, hingga kisah cinta yang humanis, novel ini memberikan pengalaman membaca yang kaya, inspiratif, dan menghibur.

Raisa Fairuza bukan hanya tokoh fiksi; dia simbol bahwa perubahan bisa dimulai dari satu suara yang berani berbicara, menulis, dan bertindak. Novel ini meninggalkan kesan mendalam: perjuangan kesetaraan gender bukan hal yang mustahil, asalkan ada keberanian, ketekunan, dan pemikiran kritis. Mataraisa memberi harapan dan inspirasi, bukan hanya bagi perempuan, tapi juga bagi siapa saja yang ingin melihat dunia lebih adil dan setara.

Membaca Mataraisa adalah perjalanan—bukan sekadar menutup buku, tapi menelusuri gagasan besar tentang kesetaraan, keberanian, dan keadilan yang bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Dunia bisa berubah ketika kita berani menulis ulang cerita lama dengan integritas, keberanian, dan keyakinan pada prinsip yang benar.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here