Sebagai manusia yang hidup di zaman modern seperti sekarang, kita pastinya sudah akrab dengan narasi-narasi feminis yang memperjuangkan kesetaraan gender pada perempuan. Isu kesetaraan gender memang masih sering kita jumpai dalam tulisan berbentuk petuah, teks eksposisi, atau kisah-kisah melankolis yang reflektif.
Isu perempuan yang biasanya dibawakan dalam bentuk petuah atau teks eksposisi seperti yang kebanyakan ditampilkan media tidak akan kalian temukan dalam buku Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha. Buku ini mengemas feminis dalam bungkus cerpen-cerpen mistis, sebuah metode yang menurut saya bisa menjerumuskan orang ke lubang pencerahan.
Sihir Perempuan pertama kali saya jumpai ketika menjelajah di Perpustakaan Kabupaten Kediri yang terletak tak jauh dari Kampung Inggris Pare. Kala itu, mata saya tersilaukan oleh satu buku yang terselip di antara rak fiksi. Buku bersampul merah dengan gambar perempuan bertubuh jerangkong ini berhasil membujuk tangan saya untuk mendaratkannya ke meja lobi demi bisa saya pinjam.
Jujur, tiap kali membaca narasi-narasi tentang feminin, saya dibuat bosan dengan tulisan yang begitu-begitu saja. Tidak ada variasi, yang ada hanya menegaskan posisi perempuan, permasalahan yang dialami perempuan, sampai yang paling ekstrem ada yang merendahkan gender lain demi berkuasanya paham feminin.
Namun, setelah saya baca buku ini, narasi feminin yang tadinya membahas hal itu-itu saja, kini berubah jadi hal yang menarik untuk saya dalami. Intan Paramaditha berhasil menyelipkan isu perempuan ke sela-sela bulu kuduk setiap pembacanya.
Cerita-cerita yang dibawakan dalam buku ini terkesan horor, kadang penuh darah, tragedi, dan ironi. Meski begitu, penulis tidak lupa menyertakan bumbu refleksi di setiap ceritanya, baik secara gamblang maupun sembunyi-sembunyi. Ini yang menjadikan buku Sihir Perempuan tidak terkesan menggurui, tetapi mengajak pembacanya memandang feminis seolah mengalami kisahnya langsung.
Mula-mula, pembaca disambut dengan cerita horor yang berkisah tentang ikhtiar perempuan dalam menanti kekasihnya yang tak kunjung pulang. Bukan karena tanggung jawab atau pekerjaan, melainkan karena mengetahui si perempuan yang ternyata hantu buruk rupa. Lalu, pembaca diajak menjelajahi kehidupan dari sudut pandang perempuan lain dengan peran yang berbeda. Penulis memang sengaja menempatkan peran perempuan menjadi apa saja: pekerja, ibu, anak, istri, saudara, hantu, ratu, bahkan boneka porselen yang kita anggap tak bernyawa sekalipun.
Hampir semua tokoh utama dalam buku ini adalah perempuan. Seolah menyiratkan, bahwa perempuan mampu menjadi apapun yang ia mau. Namun, ada satu cerita yang menurut saya si penulis sengaja menempatkan laki-laki sebagai tokoh utama. Cerita terakhir yang menyeret pembaca keluar dari buku ini dengan kisah yang ujung-ujungnya menunjukkan superioritas perempuan.
Dari sebelas cerpen yang ditampilkan di buku ini, saya tertarik pada dua cerpen, yakni Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah dan Darah. Cerpen pertama berkisah tentang boneka porselen cantik yang dinamai Yin Yin. Boneka itu sudah lama menjadi kesayangan si pemilik rumah. Dia menjadi ikon utama di antara semua hiasan rak lainnya. Paling tidak sebelum boneka itu jatuh, memecahkan dirinya sekaligus hati si pemilik rumah. Sisi menarik yang saya kagumi selain epilog yang menohok adalah keunikan Intan dalam memasukkan peran perempuan ke dalam boneka porselen. Ternyata, perempuan tidak hanya digambarkan dalam sosok yang umum, ia juga bisa dirasukkan ke dalam benda mati yang entah benar-benar mati atau punya jiwa tersembunyi.
Sedangkan cerpen Darah berkisah tentang darah menstruasi. Itu saja, tapi mampu membuat saya tidak berani melanjutkan membaca di malam hari karena saking merindingnya—bukan karena penakut, ceritanya saja yang benar-benar seram. Kalau kalian penasaran dengan ceritanya, sebaiknya baca langsung bukunya.
Untuk kekurangannya, saya pikir ada beberapa kisah yang perlu dibaca lebih dari satu kali bagi pembaca sastra pemula karena saking absurdnya. Namun, sisi baiknya adalah, pembaca dapat lebih bebas bereksplorasi dalam memaknai kisahnya. Tinggal bagaimana kalian memandangnya saja, sih.
Secara keseluruhan, saya salut dengan cara Intan membungkus feminis dalam kacamata mistis. Ia tidak mengingatkan pembaca untuk menghargai kesetaraan gender dengan metode konvensional. Tidak ada kalimat persuasif atau imperatif seperti “hargailah perempuan, hidup perempuan yang melawan, ayo perjuangkan kesetaraan gender!”
Sebaliknya, Intan mengajak pembaca memahami feminis dari metode bercerita. Alih-alih cerita melankolis dan sinis, Intan membawakan cerita dalam bentuk mistis hingga sadis. Cara Intan ini mengingatkan saya tentang salah satu kutipan tulisan dari Ivan Lanin di Medium, “barangkali inilah kekuatan sebuah cerita: Ia tidak memaksa kita berubah, tetapi menggerakkan hati tanpa suara.”
Identitas Buku
Judul : Sihir Perempuan
Penulis : Intan Paramaditha
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Cetakan kedua, 2023
Jumlah halaman : 159 halaman
ISBN : 978-602-03-4630-4