Membaca Naga dan Raksasa di Usia 50 (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)
Membaca Naga dan Raksasa di Usia 50 (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)

Di usia lima puluh (lebih sedikit), saya semakin meyakini dua hal: dunia anak-anak adalah laboratorium terbaik untuk memahami manusia dan cerita anak adalah piranti analisis yang tak kalah ampuh dari teori sastra manapun. 

Saya senantiasa memulai kelas dengan pertanyaan sederhana, “Mengapa kita, orang dewasa, perlu membaca cerita anak?” Jawaban mahasiswa beragam, dari “untuk hiburan” hingga “agar bisa mendekati dunia siswa.” Namun, saya menantang mereka untuk berpikir lebih dalam, seperti yang pernah ditulis Roald Dahl dalam Matilda:

“The books transported her into new worlds and introduced her to amazing people who lived exciting lives.” (Buku-buku itu membawanya ke dunia baru dan memperkenalkannya kepada orang-orang luar biasa, yang menjalani kehidupan yang menyenangkan). Pernyataan Matilda ini menyoroti kekuatan transformatif  membaca, bahwa buku-buku tidak sebatas membuka cakrawala imajinasi, tetapi juga memfasilitasi dirinya mengalami petualangan dan mengenal tokoh-tokoh inspiratif di luar batas kehidupannya sendiri. 

Setiap semester, saya punya aktivitas yang sudah dirutinkan: mengajak mahasiswa membaca cerita anak. Bukan sekadar membaca, tapi benar-benar menyelami, menuliskan pengalaman, dan menemukan kelindan cerita dengan masalah nyata yang dihadapi siswa SD, SMP, hingga SMA di sekolah mereka. Menggenggam buku cerita anak bukan sekadar bernostalgia, melainkan sarana mengolah strategi pedagogis dan refleksi sosial.

- Poster Iklan -

Pagi itu, saya masuk kelas dengan sekeranjang buku bergambar. Ada yang baru, ada yang sudah lusuh karena sering dibaca. Mahasiswa langsung heboh.

“Bu, ini beneran buat kami? Untuk kami baca?” tanya salah satu mahasiswa S1, matanya berbinar seperti anak kecil di toko buku atau toko mainan.

“Tentu saja!” jawab saya. “Hari ini, kita membaca, mengidentifikasi fakta-fakta yang terhubung dengan pengalaman Anda saat kecil dan atau dengan kenyataan yang Anda jalani hari ini, dan siapa tahu kita akan bersemuka naga atau raksasa di antara halaman-halaman buku yang kita nikmati.”

Sebelum itu, saya menuturkan kisah kecil pada mereka. Suatu kali saya menjemput putri sulung saya yang waktu itu masih berusia 4 tahun kurang lima bulan, dari Play Group. Kami naik angkutan umum. Tiba di sebuah jalan, naiklah pemuda bertubuh sedang, berambut keriting, tangannya berbulu, menggendong ransel di punggung. Putri saya, mengamati pria muda itu dengan intens. Bola matanya lekat menatap. Lalu ia melontarkan kalimat yang seumur hidup tak akan ia dan saya lupakan! “Ibu, apakah dia gorila?” telunjuk mungilnya mengarah ke pria itu, yang sontak terbahak. Dua penumpang lain tersenyum malu.

Buenas Noches, Gorilla! Teriaknya mengulang dengan tepat judul buku yang akhirnya saya dapatkan ketika Anya duduk di kelas 5. Astaga, rupanya beberapa hari sebelumnya saya menunjukkan gambar sampul buku berjudul Buenas Noches, Gorilla karya Peggy Rathmann di sebuah situs. Kami membahas sampul itu dengan Ayahnya. Ia banyak bertanya, apa hewan yang sekujur tubuhnya penuh bulu hitam, yang berdiri di samping penjaga kebun binatang dengan menenteng senter di tangan. Kosa kata Gorila ia ulang terus sejak hari itu. Layaknya penjual bakso keliling meneriakkan dagangannya.

Saya? Tentu saja segera meminta maaf pada lelaki muda yang tak bisa lagi menyembunyikan tawanya sejak mendengar kata gorila terlontar untuknya. Saat turun, ia berpamitan pada Anya dan berkata: “Adik, om gorila turun dulu ya?’ suaranya lembut. Saya dan seluruh penumpang tentu saja terkekeh tanpa sungkan lagi. Tangan Anya melambai, mulut mungilnya menimpali,”om gorila, dadaaaaa.” Hingga kini cerita itu kekal dalam ensiklopedia kelakar keluarga kami.

Deraian tawa di kelas tak terbendung. Saya katakan begitu dahsyat pengaruh gambar di sampul buku bagi seorang bocah, yang bahkan baru mengenal aksara dan belum bisa membaca. Buku membawa anak, juga orang dewasa melintasi teks dalam bacaan maupun dunia di luar bacaan. Perjalanan bolak balik itulah yang justru dikhidmati pembaca ketika membuka lembar demi lembar halaman Anak Rembulan Djokolelono.

Petualangan Nono yang terlempar ke masa kolonial membawa kita pada refleksi yang lebih dalam tentang kekuasaan dan hegemoni. Dalam dunia di balik pohon kenari yang ia masuki, seorang anak bisa dihukum gantung hanya karena mengenakan kaus sepak bola. Kita melihat paralelisme yang menggetirkan dengan Indonesia. Akhir-akhir ini kita menyaksikan remaja yang terkategorikan nakal dikirim ke barak militer untuk ditertibkan, jika berhasil, konon program ini akan dilanjutkan.

Bukankah kita masih menyaksikan bagaimana anak-anak menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang justru mengerdilkan kreativitas? Jika Nono, tokoh sentral dalam novel itu berkubang dalam perjuangannya melawan ketidakadilan kolonial, maka anak-anak kita saat ini menghadapi kebisingan dan bertubinya beragam kebijakan pendidikan yang masih belum mampu menjangkau kebutuhan dan kepentingan anak-anak. 

Saya membagikan buku-buku yang saya bawa, satu per satu, meminta mereka membaca dengan suara pelan, membiarkan imajinasi mereka berkelana, bekerja. Setelah itu, mereka harus menulis catatan pengalaman membaca: apa yang mereka rasakan, karakter mana yang paling berkesan, dan ini bagian favorit saya: jika mereka bisa masuk ke dalam cerita, mereka ingin menjadi siapa? Apa alasannya? Dan bagaimana mereka akan mengakhiri cerita jika menjadi penulisnya? 

Sementara mereka tenggelam dalam dunia cerita, saya duduk di sudut kelas, mengamati bagaimana cerita anak menggugah kesadaran mereka. Saya tersenyum melihat ekspresi mereka: ada yang tertawa, ada yang termenung, ada juga yang matanya berkaca-kaca.

Setelah membaca, satu per satu mahasiswa membagikan catatan mereka. Ada yang menulis tentang naga yang ternyata mirip sifat dengan ayahnya—keras di luar, tapi lembut di dalam. Ada yang merasa seperti raksasa yang tersayat gelap, karena sejak kecil diproteksi sedemikian rupa oleh orang tua, hingga tak pernah berani berhadapan dengan menghadapi masalah. Beberapa memilih tak mengungkapkan perasaannya setelah mendapati cerita yang nyaris persis seperti dunia yang dijalani: orang tua dan kakak kandung otoriter, tak pernah memberi ruang untuk mendialogkan perbedaan pendapat, juga menabukan kritik.

Mereka memilih menyampaikan pada saya secara empat mata. Ada juga yang ingin menjadi anak kecil pemberani, karena mulai kanak-kanak dibuli tanpa bisa melawan sebab tak cukup punya keberanian. Saya terharu membaca catatan mereka. Ternyata, cerita anak bisa menjadi cermin, tempat mereka melihat diri sendiri, mengingat masa kecil, dan—kadang-kadang—menemukan keberanian yang selama ini tersembunyi.

Di kelas pascasarjana, suasananya sedikit berbeda. Mahasiswa di kelas ini rata-rata guru Bahasa Indonesia, sudah cukup kenyang pengalaman mengampu di kelas, tapi tetap saja, ketika saya mengeluarkan buku bergambar, mereka tertawa geli.

“Bu, masa kita disuruh baca buku anak-anak?” protes salah satu guru SMA.

Saya tersenyum, “Justru karena kalian guru, kalian harus tahu kekuatan cerita anak. Coba baca, lalu eksplorasi: karakter mana yang paling relevan dengan masalah siswa Anda di sekolah, akhir-akhir ini?”

Mereka mulai membaca, awalnya terlihat segan dan enggan, tapi lama-lama menikmati juga. Setelah selesai, diskusi pun dimulai. Ada yang menemukan karakter anak pemalu yang mirip dengan siswanya yang selalu duduk di pojok kelas. Ada yang melihat raksasa pemarah sebagai cerminan siswa yang suka merundung, meremehkan, dan sok jagoan. Ada juga yang menemukan naga penyendiri, seperti siswa yang sering merasa terasing dan terabaikan karena merasa dirinya berbeda.

Diskusi semakin seru ketika mereka mulai mengaitkan cerita dengan pengalaman nyata di sekolah. Seorang guru SD bercerita tentang siswanya yang tak pernah mau bicara di depan kelas, lalu terinspirasi oleh karakter anak pemberani di buku yang dibaca. Guru SMP lain menemukan cara baru mengajak siswanya berdiskusi tentang perbedaan ciri fisik, setelah membaca kisah Panggil Aku Namaku karya Barbara Eni. Saya lega. Inilah tujuan utama saya: membuat cerita anak menjadi bala konektor antara dunia imajinasi dan dunia nyata, antara guru dan siswa, antara masa kecil dan masa dewasa.

Di hari lain, saya mengajak mahasiswa membuat proyek kecil: menulis ulang cerita anak yang mereka baca, tapi dengan latar Indonesia. Ada yang menulis tentang naga yang tinggal di Gunung Bromo, raksasa yang suka makan klepon, atau anak kecil yang berteman dengan burung cenderawasih di Papua.

Kami membacakan cerita-cerita itu bergantian, sesekali diselingi tawa, kadang diselingi air mata. Saya selalu mengulang pernyataan, “Terus saja berimajinasi, bisa jadi, solusi untuk masalah nyata yang tengah diakrabi justru datang dari ruang imajinasi.”

Mahasiswa pun mulai terbuka. Mereka bercerita tentang pengalaman masa kecil, tentang guru yang menginspirasi, tentang buku pertama yang membuat mereka jatuh cinta pada sastra, dan buku idaman yang dibeli setelah menyisihkan uang saku berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Ada yang menunggu buku lungsuran dari saudara yang punya banyak koleksi buku anak-anak hingga tinggi raknya hendak menembus langit-langit rumah. Saya merasa, kelas ini bukan sekadar tempat belajar, tapi juga tempat pulang—tempat mereka bisa menjadi diri sendiri, merdeka dari penghakiman.

Kejutan dan Keganjilan: Ruang Refleksi

Di kelas, saya membagikan buku-buku bergambar—dari buku folklor Masarasenani dan Matahari karya Murti Bunanta, yang diilustrasikan dengan bagus oleh Hardiyono hingga cerita-cerita mini milik Gianni Rodari yang penuh kejutan sekaligus keganjilan. Mahasiswa membaca dalam kelompok kecil, lalu menulis catatan pengalaman membaca. Saya meminta mereka menuliskan perasaan, kejutan, dan refleksi pribadi, serta mengaitkan karakter cerita dengan pengalaman masa kecil.

Mahasiswa di kelas Pascasarjana, yang mayoritas adalah guru Bahasa Indonesia, mengeksplorasi cerita anak yang dibaca, lalu menganalisis keterkaitan karakter dan konflik dalam cerita dengan masalah nyata yang dihadapi siswa SD, SMP, atau SMA di sekolah mereka. Selanjutnya mereka membuat rencana dan skenario pembelajaran menggunakan buku-buku bacaan terpilih yang sudah mereka kurasi. 

Rodari menekankan pentingnya imajinasi sebagai alat berpikir kritis dan kreatif, bukan sekadar pelarian. Dalam diskusi kelas, saya mendorong mahasiswa untuk terus mempertanyakan bagaimana buku cerita bisa berdampak pada siswa, mengajak mereka berlatih memformulasikan, bahkan menyimulasikan solusi konflik yang dihadapi tokoh, hingga menuliskan antisipasi agar konflik tidak terjadi. Pendeknya membuat sebanyak mungkin skenario pembelajaran yang berpotensi dipajankan pada siswa. 

Roald Dahl, misalnya, kerap menyisipkan kritik sosial berbalut humor sekaligus keganjilan. Dalam Matilda, Dahl menyoroti pentingnya literasi dan keberanian melawan otoritas yang tidak adil. Mahasiswa yang membaca cerita Matilda sering mengaitkan karakter Miss Trunchbull dengan figur otoriter di sekolah, sementara tokoh Matilda menjadi simbol harapan dan kecerdasan anak-anak yang sering terabaikan.

Gianni Rodari, melalui karakter Cipollino (yang berarti bawang dalam bahasa Italia), mengajarkan tentang perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Cipollino teman-temannya Zucchini, Pir, Blueberry, Peterseli, Stroberi, dan lainnya yang berjuang melawan sang tiran Lemon, para bangsawan Cherry, dan pengurus istana Tomat yang keji. Seperti kebanyakan dongeng, seluruh cerita ini adalah sebuah kiasan yang sesungguhnya berbincang tentang manusia.

Kisah ini mengangkat relasi antara si kaya dan si miskin, hubungan tak setara antara penguasa dan yang dikuasai, tentang rezim tiran, kebebasan, dan keadilan. Cerita dituturkan dengan nada riang sehingga tokoh-tokoh kejamnya lebih terkesan lucu daripada menakutkan. Melalui tokoh Cipollino, Rodari mencoba melukiskan terenggutnya demokrasi dan bagaimana kita harus menghargai kebebasan berpendapat karena rentan hilang cepat dalam satu kedipan mata.

Cipollino, protagonis ikonik dalam karya Gianni Rodari Petualangan Cipollino (Le Avventure di Cipollino) (1951), merepresentasikan sebuah alegori sosial-politik yang kompleks namun tetap dapat diakses pembaca muda. Karakter antropomorfik berupa bawang kecil ini, bersama dengan karakter-karakter lainnya—termasuk Pangeran Lemon yang otoritarian, Labu yang tertindas, Profesor Pir yang intelektual, Nyonya Cherry yang aristokratik, dan Kacang Polong yang oportunistik—menciptakan mikrokosmos alegoris yang merepresentasikan struktur sosial masyarakat. Narasi yang mengisahkan perjuangan Cipollino membebaskan ayahnya, Cipolone, dari pemenjaraan yang tidak adil, berkembang menjadi kritik sosial yang lebih luas tentang terpelantingnya kebebasan bersuara, ketidaksetaraan, dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Keberhasilan narasi Cipollino di Uni Soviet tercermin melalui serangkaian adaptasi lintas medium—mulai dari animasi (1961), musikal (1973), hingga balet (1974)— menegaskan kapasitas cerita anak sebagai wahana artikulasi kritik sosial yang efektif. Melalui figur Cipollino, kisah itu merepresentasikan dinamika perjuangan kolektif dalam membangun solidaritas lintas kelas sosial serta upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih egaliter, melalui strategi non-kekerasan dan kecerdikan sebagai instrumen utama.

Cipollino melampaui fungsi hiburan semata dan berperan menjadi perangkat pedagogis yang menanamkan nilai-nilai keadilan sosial, solidaritas, dan transformasi masyarakat. Kepiawaian Rodari meramu kritik sosial yang kompleks ke dalam narasi komunikatif dan memikat menjadikan karyanya tidak hanya bertahan dalam kanon sastra anak, tetapi juga terus kontekstual bagi pembaca lintas generasi dan budaya.

Mahasiswa menemukan relevansi cerita ini dengan kasus-kasus perundungan, diskriminasi, atau ketidakadilan di sekolah maupun, juga timpangnya relasi kuasa rakyat dan pemerintah. Mereka berdiskusi bagaimana cerita anak bisa menjadi alat untuk membangun kesadaran kritis siswa, sekaligus menumbuhkan empati. Mahasiswa tidak hanya berhenti membaca, tapi juga menulis ulang cerita anak dalam konteks Indonesia.

Misalnya, Big Friendly Giant (BFG) dalam cerita Dahl diadaptasi menjadi raksasa penggila rempah dari Malang, atau Cipollino menjadi anak petani bawang di lereng Gunung Semeru. Proses ini, selain melatih kreativitas, juga memperkuat identitas lokal dan relevansi cerita dengan kehidupan siswa. Atau apa kira-kira yang akan dilakukan Na Willa, cerita yang dirajut Reda Gaudiamo, jika gadis kecil itu tinggal di desa pesisir dan hidup sebagai anak nelayan? 

Sebagai dosen, saya merasa selalu muda ketika membaca dan mendiskusikan cerita anak bersama mahasiswa. Seperti kata Dahl, yang dituturkan Willy Wonka dalam Charlie and the Chocolate Factory: “A little nonsense now and then, is relished by the wisest men” (Sedikit omong kosong sesekali, dinikmati oleh orang-orang yang paling bijaksana).

Sejumput kegilaan, secubit imajinasi, justru membuat pembelajaran di kelas lebih hidup dan bermakna (atau malah berdampak). Saya percaya, cerita anak adalah bahan baku untuk merentangkan jembatan antara generasi, antara guru dan siswa, antara teori dan praktik. Setiap kali mahasiswa menemukan solusi kreatif dari cerita anak untuk masalah nyata yang dihadapi di sekolah, saya terperangkap dalam perasaan senang: misi akademik dan kemanusiaan saya, setidaknya terlampaui.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here