Di dunia yang kian sibuk dengan data, perjanjian damai, dan konferensi diplomatik yang tak pernah sampai ke mana-mana, kadang kita lupa satu hal yang paling sederhana: bahwa Palestina bukan sekadar konflik. Ia adalah rumah. Ia adalah suara ibu yang menanak roti di pagi hari, anak-anak yang menggambar bintang di tembok-tembok berlubang peluru, dan lelaki tua yang terus menyiram tanah meski tahu zaitunnya akan ditebang lagi. Palestina adalah kehidupan itu sendiri—yang keras kepala terus hidup meski berkali-kali disangkal keberadaannya.

Membayangkan masa depan Palestina berarti mendengarkan suara-suara itu. Bukan hanya dari panggung PBB atau layar CNN, tetapi dari puisi, lagu, kain sulam, dan ingatan yang diturunkan dari nenek ke cucunya. Ketika solusi politik formal macet, dan perdamaian hanya tinggal kata dalam pidato, budaya justru mengambil alih peran sejarah: ia merawat yang nyaris padam, menyuarakan yang dibungkam, dan memeluk yang terusir.

Budaya yang Bertahan dalam Sunyi

Kita sering lupa bahwa yang paling gigih bertahan bukan senjata, tetapi cerita. Palestina telah menjadi tanah cerita yang tak pernah selesai ditulis. Di balik tembok pemisah, seni jalanan tumbuh: wajah anak-anak yang tertawa, simbol kunci rumah yang tak bisa dikembalikan, bahkan potret George Floyd disandingkan dengan remaja Palestina yang gugur karena peluru. Seni visual di Tepi Barat dan Gaza bukan untuk pajangan, tetapi untuk mengingatkan dunia bahwa hidup mereka nyata, bahwa rasa sakit mereka bukan statistik.

- Poster Iklan -
- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here