Kadang, yang paling menyakitkan bukanlah dimusuhi orang jauh, tapi ditantang di pengadilan oleh orang yang rumahnya hanya tiga langkah dari pagar kita. Di situlah hukum terasa dingin—bukan karena tak adil, tapi karena kehilangan kehangatan kemanusiaan. Kasus viral yang melibatkan Yai MIM dan Sahara ―dua tetangga dempet rumah― menjadi cermin rapuhnya relasi sosial di tengah masyarakat yang kian sensitif dan mudah terbakar emosi.
Padahal hukum sejatinya adalah instrumen bermartabat. Ia menjaga ketertiban dan mencegah manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Namun terkadang hukum justru menjadi alat; bahkan -dan seharusnya- ia bukan satu-satunya jalan keluar mengatasi problem sosial. Tak semua gesekan harus berakhir di ruang sidang. Ada ruang luas bernama komunikasi, empati, dan tabayyun yang sering kita abaikan di era ketika “lapor polisi” terasa lebih mudah daripada “mari bicara dengan hati.”

Kita lupa, bahwa siapa pun yang menang di pengadilan, bisa jadi justru kalah dalam kemanusiaan. Sebab tidak ada kemenangan sejati bila yang kalah adalah orang sebelah rumah sendiri. Siapapun dia, bisa menang dalam berperkara hukum, tapi belum tentu mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Setiap kali melewati pagar rumah orang yang dulu kita laporkan, kita menunduk, bukan karena kalah, tapi karena malu pada hati sendiri.
Belum lagi biayanya—bukan hanya uang, tapi juga waktu, tenaga, pikiran, bahkan rasa dan jiwa. Proses hukum mampu menguras martabat sosial kita. Dan di tengah semua itu, masyarakat sekitar ikut membayar ongkosnya: retaknya kepercayaan, pudarnya gotong royong, dan munculnya budaya saling curiga. Di titik ini, hukum yang mestinya menjadi ‘juru damai’ justru berpotensi melahirkan jarak antarmanusia.
Hukum yang Bermartabat
Namun tentu, hukum tetap lebih bermartabat daripada konflik horizontal yang tak terkendali. Apalagi ketika riuh warganet ikut menyulut api dengan komentar yang menyerempet isu SARA. Tetapi sebelum sampai ke ruang sidang, masih banyak jalan damai yang bisa ditempuh. Kadang, satu kalimat maaf yang tulus dari hati jauh lebih dahsyat daripada puluhan pasal. Kadang, secangkir kopi di beranda depan rumah lebih efektif menyelesaikan masalah daripada panggilan polisi.
Konflik semacam ini hanyalah satu percikan dari bara sosial yang diam-diam menyala di sekitar kita. Api dalam sekam kehidupan bertetangga kini makin nyata: dari parkir yang menutup garasi, salah faham atas candaan seksis yang dinormalisasi, hingga sindiran di status WhatsApp yang terasa lebih tajam daripada pisau. Grup WA RT yang seharusnya jadi sarana komunikasi dan koordinasi malah sering menjadi ladang sindiran, tempat meluapkan emosi serta mencari panggung pembenaran.
Begitu sebuah konflik mencuat ke media sosial, netizen pun beramai-ramai menjadi hakim. Komentar deras tanpa konteks bahkan sampai penghakiman tanpa empati. Dalam euforia itu, tragedi sosial berubah menjadi tontonan massal. Padahal di baliknya ada luka yang nyata, ada hubungan bertetangga yang terputus, dan ada generasi muda yang belajar bahwa solusi masalah adalah saling menjatuhkan, bukan saling berdamai dan menahan diri.
Idealnya, hukum yang beradab bukan hanya menghukum, tapi juga memulihkan. Ia tak sekadar menegakkan pasal, tapi juga mengembalikan martabat sosial. Di sinilah pentingnya restorative justice — pendekatan yang menempatkan pemulihan hubungan di atas pembalasan. Sebab yang paling penting dari sebuah perkara bukan siapa yang salah, melainkan bagaimana semua bisa kembali damai.
Menutup Luka, Menjaga Asa
Para pendahulu kita sudah lama menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bertetangga. Guyub, rukun, tepo seliro, andhap asor — semua itu bukan sekadar istilah, tapi filosofi hidup yang membentuk jati diri bangsa. Dalam pandangan yang bijaksana, tetangga adalah keluarga tanpa jalur darah: jika ia lapar, kita ikut gelisah; jika ia sakit, kita patut mendoakan; jika ia berduka, kita turut bersimpati. Hakikatnya, hidup rukun adalah perpanjangan dari rasa syukur kepada Tuhan.
Islam pun menegaskan hal itu dengan sangat indah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.” Artinya, kualitas iman seseorang diukur dari bagaimana ia memperlakukan orang yang paling dekat dengannya setiap hari. Bertetangga bukan sekadar urusan sosial, tapi bagian dari laku spiritual. Ia menguji kesabaran dan melatih keikhlasan.
Kini, mungkin kita hanya perlu kembali ke akar kearifan itu. Menata hati sebelum menata sikap. Menyapa sebelum menuduh. Mendengar sebelum menjawab. Mengelola kehidupan bertetangga dengan baik berarti membangun ekosistem kecil yang dipenuhi kejujuran, penghormatan, dan niat baik. Setiap RT, setiap gang, bahkan komplek perumahan, idealnya menjadi ruang belajar kebijaksanaan—tempat orang tak lagi berlomba untuk menang, tapi berlomba untuk memahami.
Sebab pada akhirnya, tetangga adalah cermin kecil dari diri kita sendiri. Bila ia damai, maka kita pun tenteram. Bila ia tersenyum, dunia terasa lebih ringan dijalani. Semestinya sebelum memanggil instrumen hukum, panggillah nurani. Sebelum membuka meja hijau, bukalah hati. Karena damai bukan tanda kalah—melainkan bukti bahwa kita masih menang sebagai manusia.