Hari-hari kita disuguhkan pemandangan yang mengiris hati, di mana beberapa buku dijadikan barang bukti dalam kasus demonstrasi. Pemandangan ini bukan hanya ironis, tapi juga menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman kita terhadap peran buku dalam masyarakat demokratis.

Buku, yang seharusnya menjadi jendela pengetahuan dan alat pembebasan, justru dianggap sebagai senjata yang mengancam ketertiban. Fenomena ini perlu kita cermati lebih dalam, karena di baliknya tersimpan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk berpikir kritis.

Buku adalah medium untuk gagasan. Ia mewakili dialog panjang peradaban, dari pemikiran para filsuf Yunani kuno hingga kritik sosial para intelektual modern. Dengan membaca buku, kita tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga dilatih untuk berpikir, membandingkan, dan membentuk opini sendiri. 

Sebuah buku, betapapun kontroversialnya, adalah representasi dari sebuah gagasan, bukan tindakan. Gagasan, dalam bentuk apa pun, tidak bisa dipidana. Yang bisa dipidana adalah tindakan kriminal, seperti kekerasan atau perusakan, yang mungkin dilakukan oleh individu atau kelompok. Menggunakan buku sebagai bukti tindak pidana sama saja dengan mempidanakan gagasan itu sendiri, sebuah langkah mundur yang berbahaya bagi nilai-nilai demokrasi.

- Poster Iklan -

Di Indonesia, kita punya sejarah panjang nan kelams dalam pembatasan buku. Dari masa Orde Lama hingga Orde Baru, buku-buku yang dianggap “subversif” atau “berbau komunis” dilarang dan dibakar. 

Sejarah telah membuktikan bahwa upaya-upaya semacam itu tidak pernah berhasil memadamkan semangat kritis masyarakat. Buku-buku yang dilarang justru menjadi semakin dicari, dan gagasan yang terkandung di dalamnya terus hidup di benak para pembacanya. Melarang buku atau menjadikannya barang bukti hanya akan membuat kita kembali ke masa-masa suram di mana kebebasan berpikir terkekang.

Penyitaan buku dalam kasus demonstrasi juga menunjukkan kegagalan aparat penegak hukum dalam memahami esensi hak asasi manusia, terutama hak untuk berekspresi dan berpendapat. Konstitusi kita menjamin hak tersebut, dan buku adalah salah satu bentuk paling murni dari ekspresi itu. 

Aparat seharusnya fokus pada tindakan yang dilakukan, bukan pada bacaan yang dimiliki. Menyita buku dan menjadikannya bukti menunjukkan bahwa mereka menganggap buku sebagai pemicu kekerasan. Anggapan ini sangatlah keliru. 

Mereka mungkin lupa, bahwa kekerasan dalam demonstrasi dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, ketidakadilan, atau frustrasi terhadap sistem. Buku hanyalah cermin dari keresahan-keresahan tersebut, bukan penyebabnya.

Lebih dari itu, fenomena ini juga mencerminkan lemahnya budaya literasi di kalangan kita. Ketika buku diperlakukan sebagai objek yang menakutkan, itu menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya menghargai kekuatan buku dalam membangun peradaban. 

Buku seharusnya menjadi teman diskusi, bukan musuh yang harus dijauhi. Kita harus mendorong masyarakat untuk lebih banyak membaca, bukan malah membuat mereka takut untuk memegang buku-buku tertentu. Ketakutan terhadap buku akan melahirkan masyarakat yang apatis, mudah diprovokasi, dan sulit berpikir kritis.

Lantas, bagaimana kita menyikapi fenomena ini? 

Pertama, kita harus terus menyuarakan bahwa buku adalah hak, bukan ancaman. Kita harus menuntut agar aparat penegak hukum menghentikan praktik penyitaan buku yang tidak relevan dengan tindak pidana. 

Kedua, kita harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan peran buku dalam menjaga demokrasi. Kita harus meyakinkan bahwa buku-buku yang kontroversial sekalipun layak untuk dibaca dan didiskusikan, bukan untuk dihakimi atau dilarang.

Kita harus menolak pandangan reduktif yang melihat buku sebagai alat propaganda. Buku adalah alat untuk memahami dunia, untuk membuka cakrawala, dan untuk membangkitkan kesadaran. Ia adalah pilar utama dalam membangun peradaban yang beradab dan demokratis. 

Memperlakukan buku sebagai barang bukti kriminal sama saja dengan mencabut pilar itu. Jika ini terus terjadi, bukan hanya demonstrasi yang terancam mati, tapi juga akal sehat dan kebebasan itu sendiri.

- Cetak Buku dan PDF-
Previous articleTikusruk
Adzin Aris Aniq Adani
Adzin Aris Aniq Adani, lahir di Sragen pada 02 September 2001. Ia merupakan Mahasiswa di UIN Raden Mas Said, Surakarta, program studi aqidah dan filsafat islam. Sebelum kuliah, ia merupakan santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Hobinya membaca, menulis, dan merefleksikan isu-isu sosial, agama, dan filsafat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here