Tahu enggak? Ada satu kebiasaan sederhana yang diam-diam membentuk begitu banyak sosok besar di dunia yakni membaca buku. Kedengarannya sepele, tapi coba amati lebih dekat dan dalam. Setiap pemikir, setiap pemimpin, setiap orang yang ide-idenya mengubah dunia, semua hampir pasti berangkat dari satu titik yang sama. Apa itu? Halaman buku.

Anda punya smartphone? Ia seolah membuat hidup kita lebih cepat. Segalanya serba kilat. Notifikasi berdentang tiap beberapa menit. Informasi datang bertubi-tubi. Tapi justru di tengah keramaian digital dan banjir informasi inilah membaca menjadi lebih penting. Membaca bukan cuma soal menambah pengetahuan, tapi soal menata ulang cara kita berpikir. Membaca memberi ruang untuk bernapas. Ruang untuk merenungkan sesuatu dengan pelan. Ruang untuk menyalakan kepala.

Tahun 1989 saya pelanggan setia Perpustakaan Hatta di jalan Laksda Adisutjipto Yogyakarta. Waktu itu saya masih kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga (sekarang UIN). Di perpustakaan itu suasana tenang, literatur lengkap, apalagi saat sore hari. Sumber pustaka untuk mengerjakan tugas mahasiswa juga ada. Itu yang saya suka.

Setelah banyak membaca di perpustakaan itu saya mendalami pemikiran Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI pertama). Berbagai literatur tentang Hatta saya baca di sana. Satu hal penting yang saya dapatkan. Kecintaan Bung Hatta pada buku. Tak heran jika berdiri perpustakaan yang mengabadikan namanya. Membaca membuat ide-ide Hatta juga brilian dan dikenang sampai sekarang.

- Poster Iklan -

Hatta melihat bahwa masa depan bangsa tidak bisa bergantung hanya pada pidato politik. Baginya,  semangat perjuangan saja. Bangsa harus maju dengan ilmu. Perpustakaan lahir bukan sekadar tempat menyimpan buku. Tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap kebodohan, simbol akses pengetahuan yang sebelumnya hanya dimiliki segelintir orang terpelajar.

Bapak Koperasi Indonesia itu percaya bahwa negara yang kuat lahir dari rakyat yang melek literasi. Bukan hanya dari teknologi atau kekuasaan politik. Perpustakaan menjadi bukti bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Apa? Membuka sebuah buku. Hari ini, ketika informasi mengalir begitu cepat melalui layar ponsel, Perpustakaan Hatta yang pernah saya kunjungi itu mengingatkan bahwa membaca tetap punya nilai yang tidak tergantikan. Ia membentuk pola pikir, melatih kedalaman refleksi, dan menciptakan generasi yang tidak hanya tahu, tetapi juga bijak. Seolah Hatta ingin berkata, “Baca. Karena dari situlah bangsa besar dibangun.”

Ambil contoh lain tentang Soekarno. Sang proklamator yang gagasannya begitu besar itu tumbuh bersama buku. Sejak remaja, ia sudah akrab dengan rak-rak penuh bacaan. Ia membaca biografi tokoh, filsafat, politik, sejarah. Ia menelan semuanya. Dari buku-buku itulah ia merangkai pemahaman tentang bangsa, kemerdekaan, dan keberanian bermimpi. Soekarno pernah menceritakan bahwa banyak gagasannya lahir dari pertemuannya dengan pikiran orang lain yang ia temui di halaman buku. Ini diungkapkan Cindy Adams dalam bukunya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Tanpa buku, bisa jadi Indonesia tidak akan memiliki pemimpin dengan imajinasi sebesar itu.

Lalu ada Habibie. Kita tahu ia jenius. Tapi kejeniusannya tidak muncul tiba-tiba. Sejak kecil, Habibie dikenal sangat gemar membaca. Ia betah berjam-jam tenggelam dalam buku sains dan teknologi. Ia membaca bukan karena disuruh, tapi karena penasaran. Dari rasa penasaran itu ia berkembang menjadi salah satu insinyur terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Orang yang membuat dunia menoleh karena kecerdasan dan inovasinya. Ingat pesawat N-250 Gatotkaca, kan? Kisah Habibie bisa dibaca dalam buku BJ Habibie  Si Jenius: Sehimpun Cerita, Cita dan Karya karangan Jonar T.H. Situmorang.

Di tingkat global, contoh yang sama tidak kalah banyak. Barack Obama, misalnya. Mantan Presiden Amerika Serikat itu sudah lama mengaku bahwa membaca adalah salah satu sumber terpenting dalam hidupnya. Ketika kecil, ia menjadikan buku sebagai pelarian. Ketika dewasa, ia menjadikan membaca sebagai latihan berpikir. Obama sering mengatakan bahwa membaca membantunya memahami orang lain. Membantu ia mengerti dunia. Membantu ia mengambil keputusan. Bagi Obama, membaca adalah cara memperpanjang pengalaman hidup di luar batas umur manusia.

Atau lihat Elon Musk. Terlepas dari pro dan kontra tentang dirinya, ia terkenal sebagai sosok yang “membaca seperti mesin.” Sewaktu kecil, ia bisa membaca sampai dua buku sehari. Ia belajar roket bukan dari kuliah formal, tetapi dari membaca buku teknik luar angkasa. Dan meski ia tidak selalu menjadi contoh ideal dalam segala hal, satu hal jelas kebiasaan membacanya membentuk cara ia memandang solusi. Bahwa sesuatu yang dianggap mustahil, bisa didekati dengan pengetahuan.

Apa persamaan mereka? Bukan kecerdasan bawaan. Bukan bakat alami. Tapi kemauan untuk membuka buku. Kemauan untuk belajar dari pikiran orang lain. Dunia bergerak maju ketika seseorang membaca, memikirkannya, lalu melahirkan gagasan baru.

Banyak anak muda hari ini merasa membaca adalah tugas sekolah. Sesuatu yang berat. Sesuatu yang wajib. Padahal membaca justru paling seru ketika tidak dipaksa. Misalnya, saat kamu memilih buku yang kamu suka. Ketika kamu membaca karena ingin tahu, bukan karena harus mengisi rangkuman. Membaca bukan hanya soal isi buku, tapi soal membuka pintu ke dimensi lain, ke hidup orang lain, ke pengalaman yang belum pernah kita alami.

Membaca tidak harus selalu buku rumit. Bisa novel. Bisa biografi. Bisa kumpulan esai. Bisa apa saja. Yang penting, kamu memberi waktu untuk duduk, membuka halaman, dan membiarkan pikiranmu berjalan tanpa terburu-buru.

Membaca membuatmu lebih kritis. Lebih tenang. Lebih tahan terhadap arus informasi cepat yang sering kali menyesatkan. Membaca melatihmu memilah mana yang penting dan mana yang hanya kebisingan. Dan pada akhirnya, membaca membuatmu lebih “berisi.”

Dalam dunia yang semakin bising, orang yang membaca adalah orang yang punya kualitas berpikir lebih jernih.

Apa pelajarannya? Pemikir dan pemimpin besar tidak lahir dari ruang hampa. Mereka dibentuk oleh buku. Oleh ide yang mereka serap, olah, dan jadikan pijakan untuk melangkah lebih jauh. Generasi muda hari ini pun punya kesempatan yang sama. Membacalah, bukan untuk terlihat pintar, tapi untuk memperkaya diri. Untuk memperluas rasa ingin tahu. Untuk menyalakan kepala. Karena setiap halaman yang kamu baca, selalu ada kemungkinan bahwa suatu hari, itu akan menjadi titik awal dari hal besar yang kamu ciptakan.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here