
Pagi yang tidak begitu cerah, memberikan suasana dan perasaan yang juga kurang begitu sumringah karena ada rasa kekhawatiran akan turunnya air hujan. Memang di paruh tahun ini hujan tak pernah berhenti, seolah terus membaca karya Sapardi Djoko Damono Hujan di Bulan Juni.
Namun, meskipun tidak selalu cerah di pagi hari semangat berkarya tetaplah harus dipompa agar terus bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk peradaban kehidupan umat manusia. Tahun dua ribu dua puluh lima ini seolah memang tak ada kemarau yang menyengat, sebagaimana dimaklumatkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang dinyatakan sebagai kemarau basah.
Sambil menikmati pagi yang mendung membaca buku karya seorang aktivis sosial yang telah banyak malang melintang dalam pendampingan masyarakat, advokasi kebijakan politik dan hukum, dan bahkan banyak terlibat dalam gerakan politik nasional, rupanya sebagai waktu jedanya bisa dibaca dalam buku yang berjudul Biasa Saja, Tak Berlebih. Buku ini memuat beragam respon atas perilaku kehidupan manusia mulai dari yang serius maupun yang bisa saja, yang dianggap remeh temeh, namun karena dikemas dengan sajian tulisan yang sederhana dan mendeskripsikan keseharian maka tulisan ini menjadi menarik.
Seperti biasa, tidak sedikit orang yang lebih suka menilai daripada turut memikirkan sesuatu. Karena lebih berat berpikir daripada sekadar menilai.
Setiap respon-reflektif dalam keseharian hidup selalu memberikan kejutan-kejutan yang sebenarnya tidak perlu terjadi namun tetap terjadi. Kadang kita terkaget-kaget melihat realitas keadaan yang nyata. Tak jarang keadaan yang nyata tidak sebangun dengan konsep pemikiran yang sebenarnya. Misalnya, yang dipikirkan berbentuk kotak…eh… ternyata keadaan yang sebenarnya berbentuk bulat. Itulah gaibnya kehidupan.
Buku Biasa Saja, Tak Berlebih seolah ingin menjelaskan tentang kesahajaan seseorang dalam kehidupannya, tak perlu banyak polah dan bahkan tak perlu hidup berlebih-lebihan. Memang dalam buku ini sarat pesan yang dapat menjadi refleksi dari perilaku keseharian manusia. Memang sejatinya manusia itu, bertindaklah apa adanya tidak perlu melampaui batas, karena jika melampaui batas dikhawatirkan akan menabrak norma-norma yang telah hidup-subur dalam masyarakat.
Beberapa judul tulisan yang diawali dengan judul Kerinduan Akan Kesederhanaan, kemudian ditengah-tengah tulisan yang banyak merefleksikan tentang kenormalan hidup yang tidak melanggar kebiasaan masyarakat. Sedangkan pada bab tengah menyajikan perilaku hidup yang apa adanya, yang biasa saja tak perlu melampaui batas. Dan bada bab terakhir penulis rupanya ingin menggambarkan tentang keserasian hidup.
Memang meskipun rasanya sama namun belum tentu serasi, maka dalam buku ini pada bab terakhir ditutup dengan judul tulisan monokrom yang juga menukil lagunya Tulus yang berjudul sama yaitu Monokrom dengan potongan baitnya yaitu …lembar monokrom hitam-putih # aku coba ingat warna demi warna di hidupku # tak akan ku mengenal cinta # bila bukan karna hati baikmu.