Pertengahan 2019, satu tahun pascagempa Lombok. Perjalanan saya menuju Dusun Semokan Ruak, Kabupaten Lombok Utara, bersama tim kesukarelawanan dengan nama Kita Untuk Indonesia, harus terhenti dengan menginap semalam di rumah Pak Mus Mulyadi, guru honorer di SD Filial Semokan Ruak—nanti, tempat ini jadi sentral aktivitas kami. Ini tak lain karena hari terlalu larut untuk langsung ke sana, sementara jalan yang harus direngkuh adalah lembah dan sungai yang jelas tak bisa dilalui roda empat dan tidak ada penerangan jalan di daerah yang termasuk ke dalam 3T itu.
Di halaman rumah Pak Mus yang sering jadi titik kumpul warga, pada waktu itu masih cukup segar tertempel poster-poster imbauan dan mitigasi gempa. Di antaranya semuanya, “hindari penggunaan atap asbes” dan segenap informasi tentang bahaya debunya di kejadian gempa, menenggelamkan saya dalam lautan pikiran. Heran saya waktu itu, perlu, kah peringatan ini? Di benak saya, rumah mereka adalah sebagaimana penggambaran rumah adat Sasak di media selama ini: berbahan bambu, kayu, dan alang-alang. Di mana peran asbes? Batin saya.
Hari-hari pertama di Semokan Ruak, saya belum menemukan jawabannya. Sejauh mata memandang, semua rumah, setidaknya di sekitar SD, serempak memanfaatkan alang-alang sebagai atapnya. Satu-satunya bangunan beton adalah SD tempat kami berkegiatan. Itu, pun, dengan kondisi yang masih sebagian rusak.
Berbeda dengan rumah-rumah tinggal masyarakat yang sudah kembali tegak. Sebut Pak Mus, ini karena biaya pembangunan ulang amat mahal. Ketersediaan air yang minim, tentu diprioritaskan untuk kehidupan sehari-hari. Begitu pula harga semen persak yang bisa mencapai tiga kali lipat harga normal karena medan pengiriman yang tidak mudah.





















