Membaca Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu seperti menelusuri koridor sunyi rumah sakit jiwa—penuh suara lirih, bau luka lama, dan wajah-wajah tanpa nama yang menyimpan trauma. Buku ini bukan sekadar kumpulan cerpen biasa. Ia adalah perjamuan dosa manusia yang dikemas dengan keindahan bahasa yang merobek dari dalam. Dalam 20 cerita yang terkandung di dalamnya, Sasti Gotama tidak hanya menulis cerita, ia melakukan autopsi terhadap tubuh sosial kita: tubuh yang sakit oleh kekuasaan, cinta, kolonialisme, patriarki, agama, dan ketakutan.

Cerpen-cerpen dalam buku ini bukan jenis kisah yang dibaca sambil lalu. Ia menuntut konsentrasi, penghayatan, bahkan kesabaran. Cerita-cerita ini seolah dibangun untuk dibaca lebih dari sekali. Ada makna yang tertanam dalam, tersembunyi di balik struktur kalimat, diksi tak biasa, dan narasi yang kadang tidak linear. Sasti menulis bukan dengan niat menjelaskan, tapi menyiratkan, serta membiarkan makna tumbuh perlahan dalam benak pembaca. 

Keunggulan utama antologi ini terletak pada teknik naratifnya yang kaya dan tak konvensional. Di tangan penulis lain, gaya bisa menjadi gimmick, tetapi pada Sasti Gotama, gaya adalah substansi. Ia tidak menggunakan teknik untuk memamerkan kepiawaian, tetapi untuk menyampaikan hal yang tak bisa diungkap secara biasa.

Lihat saja “Saksi Glori”, sebuah cerita di mana narator bukan manusia, melainkan organ-organ tubuh: kulit ari, akar rambut, medula oblongata. Ini bukan sekadar eksperimen bentuk; ini adalah strategi naratif untuk memperlihatkan betapa tubuh manusia menyimpan trauma dan sejarahnya sendiri. Glori, tokoh dalam cerita ini, bukan hanya korban kekerasan, ia adalah simbol perempuan yang tubuhnya menjadi arena kuasa. Ketika manusia tak lagi mampu bersaksi, tubuhnya yang akan bicara.

- Poster Iklan -

Cerpen “Sima” menggabungkan mitos lokal dengan sejarah kolonial secara cermat. Di balik kisah tentang perempuan yang dijadikan gundik oleh bangsawan Belanda, tersembunyi kritik tajam terhadap ketundukan perempuan dalam struktur kekuasaan yang berlapis—baik dari luar (penjajahan) maupun dari dalam (budaya patriarkal). 

Kemampuan Sasti untuk bermain dengan sudut pandang dan struktur cerita juga terlihat dalam “Tam Tak Ingin Terbang”. Perpindahan dari satu tokoh ke tokoh lain dilakukan sehalus potongan film art house. Ia seperti kamerawan cerita yang tahu kapan harus menyorot luka, kapan membiarkan bayangan bicara. Cerita ini, pada intinya, mempertanyakan siapa yang paling sial, siapa yang berhak menilai hidup siapa. Sebuah refleksi eksistensial yang dijahit dalam bentuk cerita pendek.

Dari awal hingga akhir, kumpulan cerpen ini memuat luka-luka struktural yang membentuk hidup manusia Indonesia hari ini. Ada tema besar yang terus bergema: perempuan dan tubuhnya, kesehatan mental, hubungan toksik, feodalisme, fanatisme agama, hingga kolonialisme dan mitos lokal.

Cerpen “Kotoran di Tubuh Nin” dan “Mungkin yang Ia Simpan Adalah Petasan” adalah dua cerita yang menggali wilayah psikologi dan kesehatan mental dengan kedalaman yang langka. Cerita pertama berbicara tentang perempuan dengan gangguan OCD. Sasti tidak meromantisasi gangguan ini, melainkan memotret bagaimana dunia memperlakukan seseorang yang mengalami kecemasan ekstrem sebagai makhluk yang tak masuk akal. Cerita kedua memperlihatkan bagaimana dialog bisa menjadi senjata paling tajam dalam membongkar psikologi karakter. Bahkan peralihan penggunaan kata ganti ‘saya’ ke ‘aku’ lalu kembali ke ‘saya’ tak dilakukan sembarangan. Semuanya menyampaikan lapisan emosional yang kompleks.

Dalam cerpen “Lingkaran”, kita bertemu kisah cinta dan pengkhianatan yang berlangsung dalam siklus tak berujung. Tema samsara (lingkaran reinkarnasi dalam ajaran Buddha) dipakai sebagai kerangka untuk membicarakan penderitaan yang diwariskan dan cinta yang tak kunjung selesai. Ini adalah metafora besar tentang bagaimana luka psikologis dan relasi toksik bisa melintasi generasi, bahkan kehidupan.

Salah satu hal yang membuat karya ini begitu mencolok adalah kekayaan perbendaharaan katanya. Sasti Gotama menulis dengan diksi yang tak biasa, metafora yang segar, dan irama kalimat yang mengalir namun padat. Tak jarang, satu cerpen memaksa pembaca membuka KBBI beberapa kali. Namun bukan berarti gaya bahasanya elitis. Justru sebaliknya, inilah bahasa perlawanan. Ia membongkar kelaziman. Ia menolak cara bercerita yang datar dan mudah dicerna.

Sasti bisa menyebut musuh tokoh sebagai “berotak lemur,” atau memuja seseorang dengan ungkapan seperti “sehangat musim semi yang menumbuhkan pucuk-pucuk stroberi.” 

Ia juga tak ragu menyisipkan bahasa daerah di beberapa cerita. Dalam “Sesudu Senyum-Senyum”, misalnya, ia memasukkan kata-kata dari bahasa Maluku. Bahasa daerah di sini bukan hanya latar, tapi juga alat ekspresi kultural yang memperkaya lapisan cerita.

Ada penulis yang jago secara teknis tapi dingin dalam rasa. Ada pula yang puitis tapi lemah dalam struktur. Sasti Gotama berhasil menyeimbangkan keduanya. Ia menulis dengan akal setajam pisau bedah dan hati yang telah kenyang luka. Buku ini—yang merupakan antologi cerpen keempatnya—menunjukkan konsistensinya dalam menyajikan cerita-cerita pendek yang tak pendek dalam makna.

Tak banyak antologi cerpen Indonesia yang kuat secara merata dari awal hingga akhir. Sering kali, hanya dua-tiga cerpen yang menonjol, sisanya terasa pengisi. Tapi di buku ini, standar kualitasnya nyaris stabil. Setiap cerita punya nyawanya sendiri. Jika ada yang terasa kurang cocok, mungkin coba baca lagi untuk kedua kalinya.

Dalam peta sastra Indonesia kontemporer, Sasti Gotama adalah nama yang tak bisa diabaikan. Ia mewakili generasi penulis yang tidak hanya peka, tapi juga teknikal, eksperimental, dan politis dalam satu napas. “Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu” bukan hanya cerita-cerita pendek. Ia adalah kitab luka. Ia adalah testimoni sunyi manusia yang hidup dalam sistem yang membuat mereka tak sempat bertanya: apa artinya menjadi manusia?

Judul buku : Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu

Penulis : Sasti Gotama

Penerbit : Penerbit Mizan

Cetakan : Pertama, Maret 2024

Tebal : 156 halaman

ISBN : 978-602-441-340-8

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here