Pernahkah kamu tiba-tiba menurunkan nada suaramu ketika sedang berbicara dengan seseorang yang lemah lembut? Atau mungkin tiba-tiba saja ngikut logatnya saat kita berbicara dengan kawan yang berbeda suku? Bisa jadi kita juga ikut tersenyum tanpa sadar ketika lawan bicara berbicara sambil tersenyum. Tanpa kita sadari, tubuh, ekspresi dan gaya bicara kita akan cenderung “meniru” orang lain. Hal ini bukan karena kita tidak punya pendirian atau berkepribadian ganda, hal itu disebabkan karena ada dorongan alami dalam diri untuk menyesuaikan diri.

Penyesuaian Bukan Tindakan Tiba-Tiba

Menurut tokoh komunikasi Judee Burgoon, dalam teorinya yang bernama Teori Adaptasi Interaksi atau Interaction Adaptation Theory, kecenderungan kita untuk menyesuaikan diri itu bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Burgoon menjelaskan bahwa setiap orang memiliki tiga esensi dalam setiap percakapan yang dia lakukan, yakni kebutuhan (requirements), harapan (expectations) dan keinginan (desire). Burgoon menyingkatnya menjadi tiga konsep RED.

Dalam komunikasi dengan lawan bicara, orang memiliki kebutuhan tertentu. Misalnya kebutuhan akan rasa dihargai atau diterima oleh komunikan. Harapan bisa muncul dari norma sosial, misal kita berharap orang tidak berbicara terlalu dekat dengan kita. Sedangkan keinginan berkaitan dengan pribadi, misal kita ingin percakapan terjadi secara hangat dan penuh humor. Akibatnya ketika ketiga konsep RED itu berjalan dengan baik, komunikasi terjadi secara nyaman dan lancar. Namun ketika ada satu bagian yang berjalan tidak pas, maka akan terjadi penyesuaian, kita menarik diri, menjaga jarak, menurunkan nada suara, agar tercapai penyesuaian dan keseimbangan.

Adaptasi Bisa Terjadi di Mana Saja

Fenomena ini terjadi dimana-mana. Di kantor, saat kita berbicara dengan atasan yang tegas, kita cenderung untuk berkomunikasi secara berhati-hati. Saat kita berbicara dengan teman atau sahabat yang akrab maka gaya komunikasi kita akan santai, ceria dan penuh ekspresi. Bahkan tak segan kita akan mengirimkan emoji lucu-lucu jika berkomunikasi di ruang digital.  Adaptasi sederhana ini merupakan cara efektif untuk membangun jembatan empati, agar komunikasi bisa berjalan lebih cair dan manusiawi.

- Poster Iklan -

Di ranah keluarga, kita akan berbicara dengan nada lembut dengan anak yang lebih kecil, namun bisa berbicara dengan tegas dan mungkin lebih keras dengan saudara yang usianya seumuran. Dengan sanak saudara yang tidak terlalu kenal atau terlalu akrab, kita juga akan cenderung menggunakan bahasa yang lebih formal. Adaptasi ini juga umum kita lakukan ketika kita berkomunikasi di ranah publik. Kita umumnya akan menyesuaikan volume bicara saat berbicara di depan orang banyak. Bahkan saat bertemu dengan orang baru, bisa jadi secara otomatis diri kita akan membaca bahasa tubuh kenalan kita untuk kemudian membuat penilaian bagaimana seharusnya kita bersikap, harus akrab atau perlu untuk menjaga jarak.

Semua penyesuaian tersebut dilakukan untuk membangun jembatan empati antara komunikator dan komunikan. Kita meniru bahasa tubuh orang lain, menyesuaikan dengan nada bicara atau menyesuaikan volume bicara. Hal itu dilakukan agar komunikasi berjalan tidak kaku. Pertukaran pesan yang terjadi bisa berjalan dengan cair, hangat dan berempati.

Kemampuan Beradaptasi adalah Seni

Kemampuan beradaptasi adalah seni berkomunikasi yang penting dimiliki baik ketika menjadi komunikator atau ketika menjadi komunikan. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lawan bicara terjadi secara alami dan tidak sadar, namun efeknya besar. Dengan mampu mengolah skill beradaptasi ini, komunikasi yang terjadi bisa menghasilkan hubungan harmonis, percakapan lebih nyaman dan rasa saling percaya bisa terwujud. Dengan memahami proses ini, maka komunikasi efektif bisa terjalin dan kita bisa menjadi komunikator yang handal dan lebih peka terhadap orang lain. (wnd)

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here