“Di tempat kau lama bersila, di situ bertunas tata susila.” (Fragmen No. 59 dari buku Friedrich Nietzsche Syahwat Keabadian).

22 Agustus 2025 nanti, dunia arwah barangkali meletus. Filsuf porak-poranda asal Jerman dengan kumis kekar berhaul ke-125. Nietzsche mati pada 22 Agustus 1900. Ia dijemput malaikat maut yang berdandan dalam wujud depresi akut. Kepadanya Nietzsche menyerahkan segala kenihilan yang ia khotbahkan.

Toh, apalah artinya ia? Ia bukan gus, kyai, habib, konglomerat, apalagi sultan. Ia cuma penyair. “Hanya seorang pandir,” katanya tawadhu. Nietzsche sekadar manusia yang mesti selalu ber-amor fati: narima ing pandum.  Saat di Turin, dengan terisak ia memeluk seekor kuda. Peluh matanya jatuh, seolah kekasihnya tengah disiksa.

Padahal, itu (hanya) seekor kuda, hewan penarik gerobak berisi barang dan manusia. Tak cerdas, tak bijak. Kalau ia malas, dicambuk tentu pantas. Tapi, Profesor Friedrich Wilhelm Nietzsche yang kesohor tapi memilih menepi nggeloyor itu tak kuwawa menahan pilu. Kuda itu seakan meminta pertolongannya.

- Poster Iklan -

Ah, Nietzsche yang membunuh tuhan itu malah menjadi rasul di sana!

Welas asihnya ketahuan oleh Carlo Alberto, tuan kontrakannya. Sementara yang lain menganggapnya gila, Alberto tertegun haru. Lantas, andai Nietzsche pernah ke Malioboro, berapa kali ia akan menangis begitu? Jamak adanya, kuda-kuda pengangkut turis kena seblak Pak Kusir.

Akankah dipeluknya semua kuda-kuda tercambuk itu? Sanggupkah ia menerima sentakan menghentak, “Eee…katepe-mu dudu Yogya, ta?” ?

Di Yogya, Nietzsche tak mungkin berumur panjang. Kekasihnya, kesendirian, tak beroleh ruang di kota (ter)pelajar ini. Tak ada “gagak-gagak yang berteriak resah”! Tak ada cinta untuk domba solitude sepertinya! Semuanya serba romantis, manis, serta merindu di bawah terpal plastik angkringan. Nietzsche barangkali tak sungkan sesekali diajak ngopi.

Tapi, ia mesti langsung muak dengan obrolan-obrolan dombawi: gosip komunal, guyonan seksis, juga selipan ceramah-ceramah religi. Sesekali pula, ia pasti mampir ke sarkem. Di sana ia bertransaksi. Mani filsafatnya dicecerkan. Mungkin melahirkan bayi-bayi tukang protes, atau setidaknya janin ateis.

Tentu tak buruk. Apalagi, hari-hari ini, para pekerja di sana dieksploitasi segelintir dai. Alih-alih tubuh yang dikangkangi, vagina martabatnya lah yang kena gasak monetisasi. Lucunya, justru itu yang lebih laku keras. Kesannya Nyunan Kalijaga banget, berpihak pada wong cilik lan wong papa. Tapi, kalau mau agak jujur, apasih yang murni dari dunia hari ini? Semuanya semu, berkelindan motif branding di balik kata dan ayat-ayat suci.

Ah, memang kita telanjur lalai soal ini!

Nietzsche pun tentu bisa sangat tak dihargai. Ia seorang Antasena, sama seperti orang Samin yang anti unggah-ungguh. Tak dimaunya bahasa bertangga-tangga dan berpuncak di ngarsa dalem itu. Pasti dibongkarnya segala bobrok dalam kelindan santun dan sopan. Padahal, dwi kata ini sedemikian agung di mata masyarakat. Kurang sopan apa para kawula kepada sultannya itu?

Tapi Nietzsche, ia emoh dengan mono-intepretasi kesopansantunan. Alih-alih melihat sebuah fenomena dengan tafsir tunggal mayoritas, Nietzsche acap datang dengan bendera berbeda. Ia serupa dengan sebatang oncor yang berkilauan di dalam pekat gulita gua bawah tanah.

Suatu kali, profesor filsafat yang hidupnya berakhir kelam ini pernah berpesan: “Kamu punya caramu. Aku punya caraku. Soal mana yang paling tepat, itu tidak ada.”

Pesan ringkas Nietzsche tersebut hendak mencambuk sekalangan moralis yang acap masuk jerembab monointerpretasi. Nietzsche menyanggah, enggan rebah, dengan gilang-gemilang. Tak pernah ada, bagi Nietzsche, standar tunggal kebenaran. Ia bahkan banyak mengkritik dualisme kontras nan absolut antara kebenaran dan keburukan (lihat: Thus Spoke Zarathustra).

Dan Nietzsche, telah sedemikian berani mengobrak-abrik bahasa Jerman. Direstorasinya lagi bahasa para penyair itu menjadi lebih menyala benderang. Mungkin Goethe telah memulai duluan. Tapi, Nietzsche memang tidak diutus untuk menjadi pebalap. Ia tak butuh gesa, tak perlu menjadi yang terdepan seperti merk motor. Apalagi, yang tergenggam di tangannya adalah misi menuju ubermensch, seorang manusia paripurna alias insan kamil dalam interpretasi Mohammad Iqbal.

Lalu, jikalau dengan keprofesorannya, Nietzsche mengajar filsafat di Gadjah Mada, mungkin ia hanya akan tertawa menyimak obrolan mahasiswanya. Mereka memuja ide-ide kreasinya, sedang Nietzsche sendiri benci ditunggangi ide-ide. Dan Nietzsche, dengan Ferry Irwandi, sangat mungkin bakal bermufakat: hapus saja jurusan filsafat! Lagi pula, anak-anak kampus kini lebih hobi bergulat dengan birahi; pendidikan sekadar tambal atas bocornya nalar intelektual.

Tak ada ide, kecuali kalau ada uang DP! Lumayan, buat modal kencan bareng pacar.

Terakhir, bila tinggal di Yogya, Nietzsche  bisa dipastikan tak bakal berani menjadi pewarta tewasnya tuhan. Sekadar mengatakan “tuhan” pun bisa jadi ia gemetaran. Di sini, di negeri religius nan bertakwa ini, tuhan unggul atas segalanya. Ia menjadi yang pertama dalam ideologi negara. Tunggal, imanen, transenden, lagi kuasa. Tuhan ada di mana-mana, siap menggebuk kalau ada yang main-main.

Darah murah, kalau pengikut tuhan telah dibikin marah. Tulang kena patah, sekali nama tuhan tak diagung-sembah. Bunuh-membunuh perkara mudah. Beruntung, Nietzsche hidup di Eropa: dingin, sepi, senyap, pucat, namun merdeka. Sementara, di Yogya yang memesona, yang ramah, juga ‘yang rumah’, Nietzsche bisa segera tak bernyawa.

Mungkin, sedari ia lulus kuliah filologi, nyawanya tak lagi dikandung diri! Padanya Yogya memutilasi. Kecuali dia mau naik ke bukit Turgo. Bermukim di sana bersama tubuh Jumadil Kubro yang tertidur pulas. Kalau-kalau dia bangun, Nietzsche bisa memintanya memberi pengantar untuk Those Spoke Zarathustra-nya. 

Akhirnya, kepada Nietzsche dan setiap penyepi yang berjoget riang dalam sunyi, lahumul fatihah…

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here