Pernah tidak, Anda lagi menulis sesuatu, tapi ujung-ujungnya berhenti karena sibuk memikir “ini udah bener belum, ya?”? Atau sebaliknya, Anda menulis panjang lebar tanpa memikir tanda baca, lalu sadar kalau kalimatnya malah seperti curhatan tengah malam? Nah, dua gaya itu punya nama yakni memenulis formal dan free writing alias menulis bebas.

Keduanya sama-sama penting, tapi fungsinya berbeda. Gaya formal biasa dipakai untuk membuat tulisan serius. Ada artikel ilmiah, esai akademik, laporan penelitian, atau tulisan jurnalistik yang membutuhkan data kuat. Sementara free writing itu lebih santai. Tidak peduli ejaan, struktur, atau logika kalimat, yang penting ide mengalir dulu. Ibarat perbedaan antara bermain bola di lapangan resmi dan bermain bola di halaman rumah bersama teman-teman. Tujuannya sama yakni bermain bola, tetapi suasananya berbeda sekali.

Saya pernah mengisi pelatihan memenulis di almamater kampus UNS Inn, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (18 Oktober 2025). Saat itu saya menyampaikan materi soal memenulis artikel dan esai. Dua jenis tulisan itu saya beri payung dengan nama menulis bebas.  Ada dua jenis tulisan yakni formal dan bebas. Saya membedakan keduanya meskipun fokus utamanya pada menulis bebas.

Kalau Anda suka menulis tapi sering kejebak overthinking, memahami perbedaan dua gaya ini bisa sangat membantu. Kadang, kita terlalu fokus biar tulisannya rapi dan “benar”, sampai lupa menikmati proses. Padahal, tulisan yang hidup justru lahir dari kombinasi dua hal yakni struktur dan spontanitas.

- Poster Iklan -

Gaya formal itu rapi, terukur dan penuh data. Gaya formal biasanya digunakan untuk tulisan yang harus terlihat objektif dan profesional. Bahasa yang dipakai lebih netral, kalimatnya panjang, dan pilihan katanya hati-hati. Penulisnya harus menjaga jarak dengan pembaca, supaya tulisannya terlihat rasional dan bisa dipercaya.

Nah, misalnya kita mau menulis formal dengan tema soal K-Pop. Contohnya sebagai berikut;

“Fenomena K-Pop merupakan bagian dari gelombang budaya populer Korea Selatan yang dikenal sebagai Hallyu. Musik K-Pop tidak hanya memengaruhi industri hiburan global, tetapi juga membentuk tren mode, gaya hidup, dan bahkan bahasa di kalangan generasi muda. Grup-grup seperti BTS dan BLACKPINK menjadi contoh nyata bagaimana industri musik Korea mampu menembus pasar internasional melalui strategi digital, pelatihan intensif, serta kolaborasi lintas budaya.”

Rapi, kan? Kalimatnya terstruktur, isinya informatif, dan terlihat “pintar.” Tapi di sisi lain, gaya ini bisa terasa kaku. Tidak ada emosi atau spontanitas yang membikin pembaca merasa dekat. Cocok kalau Anda menulis untuk tugas kuliah, artikel majalah budaya, atau laporan riset. Tapi kalau dibaca di waktu santai? Bisa-bisa Anda malah ingin ngopi dulu sebelum lanjut.

Sementara itu, menulis bebas itu kuncinya adalah lepas, jujur, dan kadang berantakan (tapi seru). Sekarang coba lihat gaya free writing. Di sini, Anda tidak perlu takut salah. Tidak usah memikirkan ejaan, struktur, atau siapa yang akan membaca. Tulis apa saja yang Anda pikirkan, bahkan kalau itu cuma reaksi spontan.

Contohnya, masih dengan tema K-Pop:

“Serius deh, tidak tahu kenapa setiap kali dengar lagu-lagunya BTS, mood langsung naik. Padahal liriknya kadang tidak ngerti-ngerti amat, tapi beat-nya tuh loh, nempel di kepala. BLACKPINK juga gitu, seperti mereka punya magnet yang bikin kamu pengin ngikutin gayanya. Kadang aku mikir, kok bisa ya satu lagu bikin orang di berbagai negara nangis, senyum, dan teriak bareng? Mungkin karena K-Pop tidak cuma musik, tapi perasaan yang dikemas dalam warna-warni energi muda.”

Nah, terasa banget berbedanya, kan? Di atas itu gaya free writing. Memanga lebih ngepop, cair, personal, dan emosional. Pembaca merasa seolah diajak ngobrol, bukan digurui. Gaya ini cocok sekali  untuk  platform media online, blog pribadi, atau caption media sosial. Ya contoh di atas gaya bebas untuk generasi muda.

Apakah menulis sebebas itu seperti orang berbicara? Tentu saja tetap disesuaikan dengan media yang dituju. Media cetak (surat kabar, majalah, tabloid) biasanya tidak senang dengan tulisan free writing sebagaimana contoh di atas. Media cetak bahasanya ilmiah populer. Semua tergantung media yang dituju, bukan? Membaca, mempelajari, melihat, mencamkan contoh tulisan media yang dituju penting biar tidak salah sasaran.

Tapi tentu aja, free writing bukan berarti asal menulis tanpa arah. Justru dari tulisan bebas inilah ide-ide segar sering muncul. Anda bisa menemukan kalimat yang jujur, spontan, dan punya karakter. Setelah itu, baru  Anda rapikan sedikit kalau mau dijadikan artikel utuh. Kapan harus formal dan kapan harus bebas? Nah, ini pertanyaan penting. Keduanya tidak saling bertentangan. Ibarat dua sisi mata uang, Anda bisa pakai sesuai kebutuhan.

Kalau Anda menulis untuk media resmi, tugas kampus, atau konten profesional, gaya formal wajib jadi dasar. Di sini, kejelasan dan kredibilitas penting sekali. Tetapi kalau Anda lagi cari ide, eksplorasi topik, atau cuma pengin menulis untuk melatih aliran pikiran, pakai free writing dulu. Nah, di sinilah menyesuaikan dengan media yang dituju itu bermanfaat. Intinya menulis bebas dulu untuk mengalirkan ide. Soal diedit menjadi tulisan seperti gaya apa, soal nanti saja.

Bahkan, banyak penulis besar yang memulai karyanya dari free writing. Setelah itu baru disunting ke bentuk formal. Prosesnya seperti latihan.  Anda menulis bebas dulu biar ide mengalir, baru setelah itu pakai logika dan struktur buat merapikannya.

Free writing juga bisa jadi terapi kecil buat Anda yang sering “perfeksionis”. Kadang kita ingin tulisannya langsung bagus, padahal semua tulisan hebat pasti melewati fase “berantakan dulu.” Dengan menulis bebas, Anda belajar berdamai dengan proses.

Bagaimana cara menggabungkan keduanya? Trik terbaik? Gunakan dua gaya ini bergantian. Anda boleh juga mulai dari free writing untuk membuka ide, lalu ubah jadi versi formal kalau mau diterbitkan atau dikirim ke editor. Jadi dibuat sederhana saja. Daripada ingin menulis formal tetapi ide malah macet?

Kita lihat contoh saja. Misalnya, Anda ingin menulis artikel soal pengaruh K-Pop terhadap budaya anak muda Indonesia. Mulailah dari tulisan bebas. Curahkan semua hal yang Anda rasakan. Kenapa K-Pop bisa membikin ketagihan, bagaimana penggemar saling dukung, sampai bagaimana fandom bisa jadi ruang ekspresi. Setelah itu, pilih kalimat yang paling kuat, tambahkan data, dan ubah strukturnya supaya lebih teratur. Hasil akhirnya? Tulisanmu tetap punya nyawa, tapi juga punya bobot.

Menulis formal dan free writing itu ibarat dua cara berbeda untuk mengungkapkan pikiran. Yang satu rapi dan penuh aturan, yang satu spontan dan apa adanya. Tapi keduanya saling melengkapi. Gaya formal bikin tulisan Anda kokoh dan kredibel, sementara free writing bikin tulisan hidup dan jujur.

Jadi, kalau Anda ingin jadi penulis yang fleksibel, kuasai dua-duanya. Kadang Anda membutuhkan menulis dengan kepala, tapi di waktu lain, Anda harus berani menulis dengan hati. Karena tulisan terbaik bukan cuma yang benar secara tata bahasa, tapi yang bisa membuat pembaca ikut merasa, berpikir, dan mungkin berubah sedikit setelah membacanya.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here